The History of Dayak (5)
Migrasi suku bangsa Iban dan Lun Dayeh membuktikan: mereka yang keluar wilayah klan, bukan orang luar yang masuk tanah mereka.
Asumsi semacam itu, berlaku juga untuk penghuni Borneo di masa lampau. Sehingga bukan orang Yunan yang datang ke Borneo, melainkan orang Borneo yang bermigrasi ke Yunan dan ke pulau Formosa!
Studi dan menulis sejarah: tidak ubahnya main puzzle. Menyusun kepingan peristiwa lepas-lepas, itulah "fraksi" dalam makna harfiah. Fraksi yang terserak di mana mana itu belum berstruktur, bersusun. Kitalah, sebagai peneliti dan penulis, menyusunnya di atas "meja penelitian" sebagai sebuah proses fusi horison.
Kita menaruh faktum yang terserak di atas meja penelitian. Kumpulan faktum itu disebut fakta. Fakta laalu dilihat, diklasifikasikan, ditempatkan, sesuai tidak pada posisinya. Dibandingkan dengan faktum lain, yang terkait. Di dalam proses menyusun faktum menjadi narasi sejarah, tidak dapat untuk dihindari bias dari si penulis, yaitu PENAFSIRAN.
Hal yang demikian itu, tidak bisa dihindari. Pengalaman saya menulis sejarah asal mula subsuku Dayak di Wikipedia demikian. Saya kemudian menyadari cara kerjanya. Saya gabungkan keterangan lisan orang-orang tua atau pelaku dibandingkan dengan teks/ realitas yang terpotong. Tidak semua keterangan kita tulis. Di dalam teks/ narasi yang disajikan, itulah hasil "menyendok" fakta oleh peneliti dan penulis yang dalam studi media disebut: to spoon.
Kemudian, ada yang namanya "vorurteil". Yakni apa yang menjadi asumsi/ pengetahuan dari sang penulis. Semakin ia kaya informasi, dan makin ia menguasai subjek, maka makin terjadi "fussion of horizon" (bersatunya realitas dalam satu narasi). Di sanalah seorang peneliti/ penulis mengemban tugas Hermes: menjadi jembatan antara dunia dewa (yang tidak diketahui) dan dunia manusia (yang diketahui).
Baca Juga: Kearifan Lokal Dayak dalam Perlindungan Flora dan Fauna Endemik
Membangun sebuah narasi dengan bahan-bahan yang sudah ada. Tidak boleh ditambah ataupun dikurangi. Si peneliti/ penulis hanya membersihkan debu-debu saja agar sejarah itu: bersih dari tempelan yang tidak perlu.
Pada akhirnya, yang disebut SEJARAH adalah teks / realitas tertulis, yang pertama dan cukup lengkap di topiknya. Imaginasi/ fiksi pun bisa dianggap sebagai peristiwa benar, manakala dipercaya demikian. Yang penting adalah ada pesan/ nilai dari masa lampau yang dirajut di dalam peristiwa itu.
Demikianlah makna "historia nuntia vetustatis" satu dari 5 fungsi sejarah menurut pakar sejarah dan penulis Cicero (106-43 S.M.). Tentang fiksi yang dianggap sejarah sungguhan ini, akan saya ulas kemudian.
Peristiwa yang tidak ditulis, bukan tidak ada (terjadi), tapi itu bias, pilihan-sadar, ketika to spoon (menyendok) mengambil potongan peristiwa tadi, ada KEBERPIHAKAN si peneliti/ penulisnya.
Oleh karena itu, idealnya sejarah ditulis tidak terlampau jauh antara kejadian dan penulisannya. Hal itu agar tidak terlampau lebar kesenjangan (gap) atau istilah dalam dunia akademik "hermeneutic cycle" antara apa yang diketahui dan belum diketahui. Selain itu, supaya tidak terjadi miss/ gap yang terlampau jauh untuk menyatunya peristiwa (berfusinya horison).
Borneo – Kalimantan
Pustaka dan publikasi mengenai pulau dengan luas 743.330 km² ini di masa lampau menyebutnya: Borneo. Misalnya, Schwaner, (1853), Mallinckrodt (1928), dan Brill (1946).
Borneo ditengarai berasal dari kata Sansekerta váruṇa (वरुण), yang berarti: "air" atau Varuna yaitu dewa hujan dalam tradisi dan kepercayaan Hindu. Ini adalah bahasa Hindi dan kemungkinan besar dari bahasa Sanskerta, bhumi yang berarti: tanah, atau wilayah. Jadi, tepat penulis dan Gubernur Kalimantan Tengah ( 1958 – 1967), Tjilik Riwut menggunakan istilah "tanah" yang mengacu ke bumi ini dalam tulisan-tulisan serta ucapannya. "Luas tanah Kalteng dua kali pulau Jawa," katanya, sehingga nancap di kepala Bung Karno dan pendengarnya. Luasan tanah ke luar wilayah Borneo, disebut "Dayak Besar", Dayak Raya, Borneo Raya.
Etimologi dan etiologi ini mengindikasikan bahwa Borneo dipengaruhi oleh Hindu cukup lama. Setting pengaruh Hindu atas Borneo ini, menurut hasil penyelidikan inter-teks berlangsung sirka abad VII - XIV. Terbukti dari artefak bercorak Hindu yang ditemukan di Nanga Balang, Sepauk, Sintang, Ketapang, dan di Tenggarong (Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1976).
Ada pula yang berpendapat bahwa Borneo dari alterasi Portugis yang mengacu ke Brunei, suatu wilayah kesultanan di Borneo yang ditengarai asal mula moyangnya orang Lun Dayeh yaitu Yuvai dan Semaring dari Dataran Tinggi Borneo (Krayan). Nama moyang suku bangsa Lundayeh ini diabadikan sebagai nama bandara Long Bawan, Kalimantan Utara.
Adapun “Kalimantan” yang sering dilafalkan Klemantan, berasal dari bahasa Sansekerta Kalamanthana, yang berarti: pulau yang panas cuacanya, atau pulau dengan suhu yang sangat panas. Suatu istilah untuk menggambarkan iklim tropisnya yang panas dan lembab. Kalimantan terdiri atas dua kata kal (waktu, musim, periode) dan manthan (mendidih, mengaduk, membakar).
Penduduk asli di wilayah timur Kalimantan menyebut pulau mereka dengan istilah Pulu K'lemantan atau "Kalimantan" pada saat penjelajah Portugis Jorge de Menezes melakukan kontak dengan penduduknya. Penamaan pulau dan masyarakatnya juga dikaitkan dengan ilmuwan Inggris dan administrator kolonial Charles Hose dari awal abad ke-20. Namun, penggunaan istilah ini untuk merujuk pada orang yang dianggap sebagai penduduk asli Klemantan pernah dihentikan. Hal ini karena ada "kekurangkenyamanan" yang mengacu ke pemilahan bernuansa ras; dianggap kurang mewakili seluruh kelompok grup etnik, selain Dayak, penghuni pulau itu.
Luas Borneo 743.330 km². Beberapa publikasi menyebut bahwa Borneo adalah istilah kolonial, sedangkan Kalimantan nama pulau terbesar ketiga dunia itu setelah masa penjajahan. Ada citarasa bahwa Kalimantan mengacu ke Indonesia. Sedemikian rupa, sehingga di Malaysia dan Brunei, nama Borneo favorit digunakan.
Baca Juga: Kenapa Suku Dayak Kanayatn Memelihara Babi?
Tidak tebal, “hanya” 125 halaman saja. Namun, dalam buku berjudul Borneo: Oerwoud in ondergang culturen op drift (Rijksmuseum voor Volkenkunde, 1986) karya Jan B. Ave dan Victor T. King telah memberi clue mengenai “Dayak”, selain oleh kontrolur Banjarmasin, J.A. Von Hogendorff (1757).
Kedua penjelalah lintas-Borneo menyebut “Land Dayak” bagi penduduk asli yang bermukim dari Pontianak hingga ke perbatasan dengan Sarawak, Malaysia. Dikemukakan bahwa kelompok Iban, Maloh, Kantuk, Taman dan Mendalam-Kayan yang bermukim di sekitar Sungai Kapuas, Tebidah, Sintang, Limbai, Melawi, Ot Danum disebut sebagai “Land Dayak” –mengacu ke istilah Belanda, binnenland. Jadi, Land Dayak berarti: Tanah Dayak. Tutur bahasa Belanda "binnenland" berarti: asli, di sini dan di tempat ini. Sedemikian rupa, sehingga Dayak disebut sebagai: binnenlander. Jadi, berbeda citarasa dan pengertiannya dengan: inlander di tanah Jawa.
Iban dan Lundayeh: Contoh Migrasi dari Jantung Borneo ke Luar
Baiklah, kita mulai dengan mencermati bagaimana migrasi kaum Iban yang kini populasinya terbanyak di dunia, yakni sekitar 1,2 juta manusia.
Kita gunakan pola migrasi Ibanik dan Lun Dayeh ke Malaysia dan Brunei, sebagai model untuk membandingkan migrasi di masa lampau. Pola migrasi suku bangsa Iban dan Lundayeh menunjukkan bahwa: Bukan dari luar ke Borneo, melainkan dari Borneo ke luar!
Asumsi semacam itu, berlaku juga untuk penghuni Borneo di masa lampau. Sedemikian rupa, sehingga patut diduga bahwa bukan orang Yunan bermigrasi ke Borneo, melainkan sebaliknya: penduduk asli Borneo yang bermigrasi ke Yunan dan ke pulau Formosa!
Baca Juga: The History of Dayak (1)
Dalam novel-sejarah, Keling Kumang (2015) dikisahkan migrasi kaum Ibanik. Asal muasalnya dari Tampun Juah, sebuah "tanah semula jadi" yang dipercaya sebagai tempat awal mula semua suku di Kalimantan Barat (kini terdapat 151 subsuku Dayak). Tampun Juah terletak di wilayah Segumon, Sekayam Hulu (Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat) berbatasan dengan Mongkos yang menjadi wilayah teritori Sarawak, Malaysia.
Kesesuaian antara fictum dan factum mengenai migrasi kaum Ibanik juga terekam dalam jerita tua suku bangsa Ibanik. Bahwa suku bangsa Iban saat ini berasal dari "tanah semula jadi" Tampun Juah, seperti dapat dibaca dalam karya Ballai, Tembawai Bejuah (1967). Keling Kumang diyakini berasal dari Tampun Juah ini. Migrasinya ke kiba' ai' Kepuas (kiri Sungai Kapuas) --ke Sekadau-Sintang-Ketungau-Batang Lupar - Semanggang (Sri Aman).
Dihikayatkan dalam nats Ballai, dalam teks bahasa Iban kuno, bahwa asal muasal Suku bangsa Iban di Malaysia dan Brunei dari Kalimantan Barat. Mereka menyebut Tampun Juah (asal mula nenek moyang) dengan Tembawai Bejuah. Jika orang Iban Malaysia dan Brunei ke wilayah Indonesia, bertemu kaban (saudara dan handai tolan) dikatakan, "Pulae ke menoa diri empu" (pulang kembali ke tanah asal, tempat dahulu bersemayam temuni (tali pusat). Jadi, istilah itu mengacu ke tanah tumpah darah, warisan nenek moyang.
***
Tulisan sebelumnya: The Hisrory of Dayak (4)