Punahnya Keteladanan dalam Politik Indonesia

Politik Indonesia hari ini ibarat pasar malam yang riuh. Terang benderang oleh janji-janji, tapi begitu pagi datang, hanya sampah janji yang tersisa di pelataran. Di tengah hiruk-pikuk drama kekuasaan, rakyat diam-diam merindukan satu hal yang semakin langka: keteladanan. Dulu, politik adalah medan juang, bukan panggung hiburan. Para politisi adalah kesatria, bukan selebritas. Kini, yang tampak justru wajah-wajah penuh bedak pencitraan, bukan peluh kejujuran. Keteladanan telah jadi mata air yang mengering. Barangkali karena terlalu banyak disedot oleh mulut-mulut haus kekuasaan, tapi enggan menanam kembali benih integritas.
Keteladanan dalam politik seharusnya menjadi kompas moral. Tapi entah sejak kapan, kompas itu dibuang ke laut, diganti dengan GPS yang disetel menuju “tujuan pribadi”. Rakyat? Hanya penumpang gelap dalam kapal kekuasaan. Kalau perlu, diturunkan di tengah badai demi mengurangi beban. Padahal, bangsa ini lahir dari tangan para teladan. Para pejuang yang memeredakan negeri ini dari cengkeraman penjajah. Mari kita tengok sejenak lembar sejarah yang mulai berdebu.
Soekarno: Sang Orator yang Menolak Gaji
Soekarno, sang proklamator, bukan manusia sempurna. Tapi di awal kemerdekaan, ia menolak menerima gaji sebagai presiden. "Negara ini belum punya apa-apa," katanya. Kala istana belum bertiang emas, ia tinggal di paviliun sederhana. Ia makan apa yang dimakan rakyat, bukan menyantap anggaran sambil melahap etika. Keteladanan itu bukan soal bersih tanpa cela, tapi tentang keberanian menahan diri ketika godaan datang mengetuk.
Mohammad Hatta: Pemimpin yang Tak Sudi Punya Mobil Pribadi
Hatta punya prinsip keras seperti baja, tapi hatinya lembut seperti kapas. Ia menolak hadiah mobil dari pengusaha karena tak ingin berutang budi. Ia memilih naik sepeda ontel. Dalam dunia politik sekarang, ketika pemimpin sering berlomba pamer harta, Hatta justru menulis buku "Mendayung di Antara Dua Karang", bukan “Mengapung di Atas Dua Jet Pribadi”.
Sutan Sjahrir: Sang Intelektual yang Tak Tergoda Kursi
Sjahrir mungkin satu dari sedikit politisi yang tak tergila-gila jabatan. Ketika menjadi perdana menteri termuda, ia menyadari bahwa kekuasaan bukan puncak gunung emas, melainkan beban yang harus dipanggul dengan hati-hati. Ia lebih suka debat ide ketimbang debat angka survei. Andai Sjahrir hidup di era TikTok, mungkin ia akan dianggap “kurang viral”, tapi ia justru viral di hati sejarah.
Politik Kini: Panggung Boneka yang Kehilangan Pemain Asli
Keteladanan hari ini sering dijadikan properti kampanye, bukan prinsip hidup. Ia dimasukkan dalam slide PowerPoint visi-misi, tapi jarang dihayati dalam tindakan sehari-hari. Politisi berteriak soal integritas, lalu menandatangani kontrak politik di balik layar gelap. Mereka berjanji setia pada rakyat, tapi begitu pemilu usai, rakyat ditinggalkan seperti mantan yang tak sempat diberi penjelasan. Keteladanan menjadi kata indah yang dipajang di baliho, bukan dibuktikan di lapangan. Seolah-olah, politik hanya tentang bagaimana tampil baik, bukan menjadi baik. Rakyat disuguhi parade senyum dan safari religi, tapi tak pernah disapa setelah kertas suara dilipat.
Apakah kita harus putus asa karena keteladanan tak juga hadir saat ini? Tentu tidak. Di tengah padang pasir pun, mata air bisa muncul. Keteladanan baru bisa tumbuh jika ada keberanian untuk tidak ikut arus. Mulai dari level paling bawah: lurah yang menolak gratifikasi, anggota dewan daerah yang menolak plesiran ke luar negeri saat rakyat dilanda bencana, gubernur yang lebih senang menyapa pasar ketimbang berdiskusi dengan investor kelabu. Dan tentu, keteladanan politik tidak lahir dari seminar atau workshop etika. Ia lahir dari kesadaran bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan anugerah. Dari kesediaan untuk hidup secukupnya, bukan semewah-mewahnya. Dari keberanian untuk jujur, meskipun itu berarti kehilangan suara.
Keteladanan tak selalu berbaju jas. Ia kadang muncul dari tukang sayur yang tak pernah mengurangi timbangan. Mungkin para politisi perlu sesekali belajar dari mereka tentang kejujuran, tentang melayani, tentang kerja keras tanpa kamera. Karena ketika keteladanan hilang dari politik, negara bukan lagi rumah bersama, melainkan hotel berbintang, hanya yang punya uang yang bisa masuk.
Indonesia tak kekurangan pemimpin, tapi sedang defisit teladan. Kita tak butuh politisi yang pandai bicara, tapi mereka yang bisa diam saat waktunya, dan bekerja manakala dibutuhkan. Mungkin, sudah waktunya kita berhenti mencari pemimpin di atas panggung. Cobalah tengok ke warung kopi, ke ladang, ke kelas sekolah, ke barisan relawan. Barangkali, keteladanan sedang menyamar di sana. Diam-diam menunggu panggilan sejarah.