The History of Dayak (4)
Setiap etnis di dunia ini punya julukannya sendiri-sendiri. Etnis Tionghoa misalnya, dijuluki sebagai “dragon.” Negeri Australia, kanguru.
Akan halnya etnis Dayak, penduduk asli bumi Borneo, apakah yang menjadi julukannya?
Hampir semua subsuku Dayak sepakat bahwa enggang simbol Dayak. Hanya subsuku Lundayeh Idi Lunbawang yang bermukim di Kalimantan Utara, Brunei, dan Sabah yang selain enggang, menjadikan buaya sebagai simbol. Akan tetapi, lepas dari ini, semua Dayak menyepakati enggang adalah simbol etnis. Termasuk juga Lundayeh, meski ada hewan lain selain burung yang nama ilmiahnya adalah bucerotidae.
Enggang adalah burung omnivora. Bertahan hidup dengan memakan buah, serangga, dan binatang kecil. Hewan ini tidak bisa menelan makanan yang ditangkap di ujung paruh karena lidah mereka terlalu pendek untuk menjangkaunya, sehingga mereka melemparkannya kembali ke tenggorokan dengan sentakan kepala. Spesies enggang yang hidup di hutan, dipandang sebagai penyebar benih yang penting.
Baca Juga: Nilai Pancasila dalam Kehidupan Budaya Naik Dango Suku Dayak Kanayatn
Di kalangan suku bangsa Iban, termasuk di Malaysia, burung ini disebut ruai. Orang barat menyebutnya: hornbill. Sehingga menjadi ikon, atau lambang dari suku bangsa Dayak pada umumnya.
Akan tetapi, hanya subsuku Lundayeh yang menyimbolkan diri dengan buaya. Tentang simbol buaya di kalangan Lundayeh Idi Lunbawang, Yansen TP (2018, hlmn. 157-163) mencatat, antara lain demikian:
Buaya merupakan satu binatang reptil dengan memiliki tubuh besar. Buaya ada di berbagai tempat di dunia dengan jenisnya di masing-masing. Buaya biasanya tinggal di daerah perairan dataran rendah yang ada komunitas manusianya. Buaya merupakan jenis binatang yang bisa hidup pada dua dunia, dalam air dan di darat. Tetapi pada umumnya habitat buaya menghuni daerah perairan; sungai, rawa, danau dan daerah muara laut. Keunggulan buaya disebut dalam berbagai perbincangan dalam dongeng, meliputi:
Pertama: Buaya memiliki sikap yang sigap dan karakter pemberani.
Kedua: Buaya dapat hidup pada dua dunia.
Ketiga: Mulut, kulit, kaki dan ekor buaya bisa menjadi senjata dalam menghadapi musuhnya.
Keempat: Memiliki kesetiaan sejati.
Kelima: Buaya memiliki sifat yang tenang.
Jika Pembaca ingin tahu lebih lanjut bagaimana buaya menjadi simbol Lundayeh Idi Lun Bawang, dapat memamah-biak hasil penelitian akademik seorang Lun Bawang, yang pernah menjadi Kepala Museum Sarawak, Ipoi Datan, Ph.D. Bersama Stephen Chia dan Nicholas Daby, Ipoi mempublikasikan hasil penelitian mengenai asal usul, filosofi, serta makna ekistensi buaya bagi orang Lundayeh Idi Lun Bawang. Publikasi itu selengkapnya dimuat dalam The Sarawak Museum Journal (Vol. LXIX, No 90, 2011).
Simbol buaya yang paling dikenal dalam budaya komunitas Dayak Lundayeh adalah simbol Ulong Bayeh. Terbuat dari tanah yang dibentuk seperti buaya dan didirikan satu tiang di sampingnya, menjulang tinggi untuk menggantung kepala dari musuh mereka, yang diperoleh dari hasil mengayau.
Ada clue menarik, dan telah kami teliti, mengenai simbol buaya ini. Situsnya sendiri terdapat di Dataran Tinggi Borneo, Krayan Tengah. Bukti peradaban manusia Dayak yang terpatri dalam bukti-sejarah tak-terbantah, bahwa “orang asli” Borneo telah ada di sini dan di tempat ini sejak baheula.
***
ULONG BAYEH adalah istilah setempat menyebut artefak itu.
Kisah penemuan situs-situs bersejarah di Dataran Tinggi Borneo cukup menarik. Ada seorang tua bernama Benung Adun (usia 110 tahun). Menurut penduduk setempat, ia kerap bercerita mengenai teknologi pertanian nenek moyang di masa lampau. Namun, penduduk baru benar-benar tertarik dan ingin tahu kebenarannya setelah diberitahu oleh tetua bernama Parsi (86) warga Lon Mutan (kini tinggal di Malinau). Katanya, di lokus sekitar bagian atas Sungai Krayan, desa Long Mutan, terdapat beberapa situs batu yang bernilai historis.
Atas informasi awal tersebut, beberapa pemuda melakukan pencarian pada tahun 2008. Salah satu pemuda yang turut di dalam pencarian itu adalah Dino Daud. Menurutnya, atas informasi orang-orang tua, mereka mulai upaya menemukan situs seperti yang dikisahkan. Sesampainya di tempat yang ditengarai sebagai lokus peninggalan bersejarah, mereka mengorek-ngorek permukaan tanah.
Setelah sekian lama mencoba, akhirnya ditemukan sebuah gundukan. Waktu ditemukan tidak kelihatan, hanya ada bagian permukaan saja. Banyak terdapat lumut dan humus menutupinya, lalu secara perlahan-lahan dibersihkan. Baru tampaklah seluruh penampakan situs itu, sebagaimana yang saat ini terekam dalam gambar.
Panjang jalan penemuan situs-situs ini. Tidak tiba-tiba, melainkan setelah mengalami proses cukup rumit dan berliku. Semula, sikap skeptis di dalam menanggapi informasi dari orang tua. Dikira mengada-ada, atau hanya menceritakan apa yang dibayangkan, bukan fakta sejarah. Ternyata, setelah dicari dan digali, benar adanya seperti yang dikisahkan.
Informasi lokus situs ulong bayeh ini didapatkan kisahnya secara turun-temurun. Dataran Tinggi Borneo, jangankan dahulu kala, kini pun --di era industri 4.0-- masih wilayah cukup terisolasi. Jalan lingkar Krayan memang telah dibuka, namun kondisinya belum ideal. Masih tanah basah dan di waktu hujan sangat licin, sulit untuk dilalui. Jalan yang menghubungkan Krayan Tengah hingga Tawau, Sarawak Malaysia ini setidaknya telah membuka isolasi.
Demikian pula, jalan tembus Malinau - Ba' Binuang - Long Bawan telah terhubung. Kondisinya masih belum ideal. Namun, cukup untuk memberi gambaran bahwa pembangunan telah menyentuh wilayah penuh dengan peradaban nenek moyang zaman dahulu kala. Transportasi udara hanya dengan pesawat misi, Mission Aviation Fellowship (MAF), yang penerbangannya semakin dipersulit. Sementara Susy Air seperti berjalan dengan enggan, lantaran trauma seusai insiden tergelincir di landasan Ba Binuang beberapa waktu lalu.
Pusat peradaban manusia Dayak terbanyak di Dataran Tinggi Borneo ini. Selain artefaknya yang masih ada hingga hari ini, tersebutlah nenek moyang suku bangsa Lundayeh dan Lun Bawang, yang juga menjadi cikal bakal orang Brunei Daruussalam. Yakni Yupai dan Semaring. Tokoh yang melegenda, sehingga diabadikan menjadi nama lapangan terbang di Long Bawan.
Pada bagian ini, kita akan membahas mengenai Ulong Bayeh.
***
Locus-nya masih berada di wilayah Desa Long Mutan, Kecamatan Krayan Tengah. Untuk mencapai situs ini dari Ba’ Binuang, harus naik perahu motor ke hulu sekitar 30 menit lamanya baru tiba di lokasi. Persisnya di sebelah kiri sungai Krayan, naik sekitar 30 meter, di bagian atas munggu (gundukan tanah berupa bukit kecil) dibangun sebuah monumen buaya. Pada saat itu, belum dikenal semen untuk membuat sebuah monumen, akan tetapi nenek moyang manusia penghuni Sungai Krayan ini telah menemukan teknik sendiri bagaimana mengabadikan sesuatu yang dianggap bernilai sejarah.
Manusia penghuni Sungai Krayan sejak dahulu kala sudah memiliki kebudayaan yang tinggi. Salah satu buktinya adalah ulong bayeh (monumen buaya) yang hingga kini peninggalannya masih ditemukan pada ketinggian tanah tepi Sungai Krayan di desa Long Mutan yang menjadi simbol etnis.
Setidaknya, terdapat tiga hal yang cukup membuat kita mengagumi karya monumental ini.
Pertama, dari manakah nenek moyang dahulu kala mengenali binatang reptil bertubuh besar yang hidup di air dan dapat pula di darat ini? Di Sepanjang sungai Krayan, tidak ditemukan adanya buaya.
Dari penelusuran dongeng, mitos, dan fabel masyarakat setempat juga tidak ditemukan tokoh buaya. Sementara dongeng Kancil dan Buaya baru dikenal sesudah masuknya peradaban baca-tulis lewat buku pelajaran. Situasi kondisi masyarakat tempo dulu yang terisolasi, saling kayau antar-klan, tidak memungkinkan suatu kelompok masyarakat untuk berinteraksi jauh dengan dunia luar, lalu kembali lagi ke habitatnya untuk membawa peradaban/ pengetahuan baru. Lalu dari mana mereka memperoleh imaginasi buaya sebagai simbol?
Baca Juga: Baru Bian: Menteri Dayak Lundayeh di Malaysia
Kedua, di dalam ilmu tentang simbol, dikenal dua hal yakni penanda (signifier) dan signified (petanda). Buaya adalah penanda yang merupakan aspek material dari sebuah tanda, atau aspek citranya. Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu bukan merupakan tanda. Sedangkan sifat-sifat atau watak adalah konsep mental yang diambil dari sang penanda (buaya), di mana seseorang/ etnis menyimbolkan atau menyatakan dirinya mirip atau seperti demikian.
Di sinilah kita merasa kagum akan daya imaginasi dan olah cipta karsa nenek moyang yang sudah mampu berpikir tentang konsep abstrak, yang di dalam ranah ilmu pengetahuan disebut sebagai “berpikir tingkat tinggi”. Membumikan sesuatu yang abstrak ke dalam hal yang konkret sudah dikenal manusia penghuni Sungai Krayan sejak dulu. Tidak semua suku bangsa di dunia ini punya situs peninggalan seperti ini. Sedemikian rupa, sehingga dapat disimpulkan bahwa peradaban manusia pada zaman itu sudah cukup tinggi.
Ketiga, menyangkut materi dan lokasi. Materi pembuatan monumen ulong bayeh ini bukan dari bahan tanah liat, melainkan tanah biasa. Melihat bahannya, mungkin tidak dibawa dari mana pun, tetapi merupakan bentukan yang ditimbun dari tanah sekitarnya.
Akan tetapi, para desainer dan pekerja paham betul bagaimana monumen ini dapat bertahan lama. Mereka membangun penanda ini di atas bagian paling puncak munggu, seluruh yang menjadi anatomi buaya dipadatkan, timbul di mana posisi dada rata dengan tanah sehingga membentuk seekor buaya raksasa berukuran 1,5 x 4 m. Semua organ tubuh buaya tampak, kecuali bagian perutnya saja karena rata dengan tanah.
Ketika berada di situs, kita dapat menyelami alam pikiran betapa para perancang dan pembuat ulong bayeh ini berpikir strategis ke depan: jika monumen dibuat pada punggung atau kaki munggu, pasti secara perlahan-lahan akan hilang bentuknya digerus oleh tanah dan humus yang dibawa oleh mengalirnya air hujan dari atas.
Di sepanjang Sungai Krayan dari hulu hingga hilirnya, bukanlah habitat buaya. Oleh sebab itu, kuat dugaan bahwa gagasan menjadikan buaya sebagai simbol ini merupakan hasil kompromi. Mula-mula pasti ada orang berpengaruh yang menggulirkan gagasan. Setelah diskusi dan ditimbang-timbang bahwa gagasan itu baik, maka diterima sebagai kesekapatan bersama.
Seturut wiracarita (kisah pahlawan) yang berkembang di masyarakat, orang kuat yang punya gagasan mendirikan ulong bayeh itu bernama Padan Liyu Burung. Ia termasuk pemuda yang menonjol di klannya lagi sakti mandraguna.
Suatu hari, Padan memutuskan ngayau sebuah negeri bernama Prabudung. Sebelum berangkat ke medan laga, ia mengumpulkan manik-manik. Lalu memberi tahu semua penduduk di kerajaannya agar turun ngayau.
Maka berangkatlah Panglima Padan beserta para prajurit dan pasukannya. Begitu masuk batas negeri musuh, ia memerintahkan pasukan untuk berhenti. Segera peti-peti yang dibawa dibuka. Isinya adalah pelepet (parang panjang). Setelah masing-masing prajurit memilikinya, maka Padan mengumandangkan pekik perang. Ia memeritah pasukannya untuk menyerang musuh.
Terjadilah serang menyerang. Bunyi “ting ting” parang saling beradu, ditingkah suara rebah serta jatuhnya korban dari pihak musuh. Dalam peperangan yang cukup sengit itu, Liyu Burung tampil sebagai pemenang.
Ketika yang tersisa di negeri itu tinggal wanita dan anak-anak, pulanglah mereka. Lalu membangun ulong bayeh sebagai tanda kemenangan. Sekaligus simbol bahwa mereka kuat lagi perkasa seperti halnya buaya. Yang seluruh organnya berfungsi ketika melumpuhkan musuh.
Di samping ulong bayeh, mereka juga mendirikan di atas tanah bambu-bambu tinggi. Pada ujungnya, digantungkan kepala musuh yang baru dikayau. Agar semua warga dapat melihat dan menyaksikan bahwa mereka pemenang, bukan pecundang.
***
Masih terkait dengan topik Ulong Bayeh ini adalah Ulong Da’a. Pada tiap-tiap desa di Krayan saat ini kita dapat menyaksikan berdirinya Ulong Da’a. Ia adalah sebuah tanda atau tugu dari tiang tinggi yang digantungkan di sana aneka rahang binatang buruan, seperti: kijang, rusa, pelanduk, monyet, dan sebagainya. Sedemikian rupa, sehingga dari atas ke bawah menjadi sebuah pajangan yang mengesankan bahwa warga kampung memiliki keterampilan tinggi di dalam berburu.
Tanda-tanda adalah simbol budaya suatu suku bangsa. Kiranya perlu kita perdalam lebih lanjut buaya sebagai simbol. Berbeda dengan Dayak pada umumnya, manusia penghuni sungai Krayan menjadikan buaya sebagai simbol. Dalam ilmu Semiotika, kita mengenal apa yang disebut dengan tanda (signifier) dan penanda (signified). Demikianlah, kita kini masuk ke dalam alam pikiran nenek moyang manusia penghuni Sungai Krayan: mengapa mereka memilih buaya sebagai simbol?
Dengan berkaca kepada bangun dari Pygmalion Effect (Robert Merton), kita memahami bahwa keyakinan serta konsep-diri manusia penghuni Sungai Krayan yang menyerupai sifat-sifat buaya; sungguh positif. Keyakinan atau konsep diri ini kemudian berpengaruh kepada tindakan kepada orang lain (luar). Tindakan ini berdampak kepada kepercayaan yang menyebabkan tindakan lain, lalu kembali: memperkuat keyakinan diri. Sedemikian rupa, sehingga konsep-diri yang dibangun (akan) terjadi sebagaimana yang disimbolkan.
Dalam konteks ini, kita kerap mendengar istilah “you are what you think about.” Pada galibnya seorang, atau suatu kaum, punya apa yang dalam dunia psikologi dikenal dengan istilah “Self-fulfilling Prophecy”. Yakni suatu ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya secara langsung atau tidak langsung karena di alam bawah sadarnya masih hidup, atau dipengaruhi, oleh pemikiran tertentu, atau dihantui suatu obsesi tertentu.
Hal itu sebagai akibat antara keyakinan dan perilaku. Nubuat positif atau negatif dapat menjadi suatu kepercayaan yang dipegang teguh, kemudian benar terjadi padahal sebenarnya dapat untuk dicegah. Namun, cukup mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang, sehingga tingkah laku mereka pada akhirnya terjadi seperti apa yang dinubuatkan.
Ini, antara lain, penjelasan ilmiah yang menjadi prakondisi mengapa suku bangsa Lundayeh Idi Lunbawang bersatu padu. Mereka bersekutu sebagai suku-bangsa di tiga negara dalam sebuah perkumpulan Persekutuan Dayak Lundayeh (PDL). Dengan populasi sekitar 300.000, komunitas PDL tersebar di mana-mana. Kaum terdidik dan cerdik cendikianya banyak. Yang bergelar "Doktor" tidak kurang dari 50 orang.
Dalam hal ini, genaplah apa yang dikemukakan psikolog sosial, David McClleland. Bahwa suatu suku bangsa yang narasi, legenda, dan mitosnya baik dan positif; maka hebat pula suku bangsa itu. Narasi baik dan positif secara cumulative impact, jika dinarasikan terus-menerus, akan membentuk watak dan budaya. Itulah ciri narasi suatu suku bangsa yang positif. Yang memacu sikap dan tindak untuk berprestasi yang dikenal dengan the need for achievement (N-Ach) --kebutuhan/ kecenderungan untuk berprestasi.
Pada gilirannya, narasi hebat suatu suku kaum akan membangun apa yang disebut "kesadaran sosial". Masih banyak wiracerita nenek moyang suku bangsa Dayak yang tacit (diam) yang belum digali, ditulis, dan dipublikasi menjadi explicit knowledge.
Serial tulisan The History of Dayak ini salah satu upaya literasi. Menjadikan tacit knowedge dalam wujud explicit knowledge.
***
Tulisan sebelumnya: The History of Dayak (3)