Budaya

Nilai Pancasila dalam Kehidupan Budaya Naik Dango Suku Dayak Kanayatn

Minggu, 17 Januari 2021, 06:31 WIB
Dibaca 1.637
Nilai Pancasila dalam Kehidupan Budaya Naik Dango Suku Dayak Kanayatn
Dayak Kanaytn (Foto: Kumparan.com)

Dayak adalah nama suku-suku asli asal Kalimantan dalam Kamus Indonesia-Inggris “native ethnic group of Kalimantan”. Penulisan “Dayak” secara resmi dibukukan untuk menyebut penduduk asli Kalimantan tahun 1947, dalam kongres kesatu Dayak di Sanggau, sebelumnya ada ditulis “daya”,’daya dan “Dayak”.

Menurut Duman CH, Dayak Kanayatn dikelompokkan ke dalam salah satu suku kecil Dayak Ot Danum, yang ditulis dengan istilah “kendayan”, nama ini kemudian dipakai JU Lontaan untuk menujuk suku Dayak yang berbahasa “ ahe” atau “banana”, di sekitar ambawang yang berasal dari Mempawah Hulu.

Nama kandayan mulai dimusyawarahkan kembali supaya sesuai dengan istilah aslinya “kanayatn” pertama kali dalam musyawarah adat Dayak Kanayatn sekecamatan Sengah Temila tanggal 23-25 mei 1978, disusul dengan musyawarah adat 1 sekabupaten pontianak (10 kecamatan), tanggal 23-25 Mei 1985 di Anjungan, mulai saat itu publikasi dan penulisan istilah “kendayan” dikembali ke istilah aslinya “kanayatn”, kemudian menjadi sebutan paling umum untuk menyebut suku Dayak yang berbahasa Kanayatn dialek banana, bamade, bangape, atau bahasa ahe.

• Populasi Dayak Kanayatn Pada tahun 1970, Wilayah pemukiman suku Dayak Kanayatn hanya terkonsentrasi di tiga daerah saja diKalimantan barat, yakni: (a) kabupaten Pontianak (masih termasuk landak dan kubu raya), (b) kabupaten Sambas (termasuk Bengkayang dan pemkob Singkawang), (c) Sanggau. Namun, setelah tahun 1970, peta penyebaran mengalami perubahan (Evigo Jeremia,2015:26). Hal tersebut diakibatkan, sejalan dengan perkembangan pemerintahan Kalimantan barat yang diatur menurut UU-RI nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah (Evigo Jeremia, 2015:27) dengan urutan kawasan konsentrasi Dayak Kanayatn sebagai berikut:

• Kabupaten Landak merata di 11 kecamatan, yakni: kecamatan Air Besar, Kuala Behe, Ngabang, Menyuke, Meranti, Banyuke Hulu, Sangah Tumila, Sambih, Mandor, Menjalin, dan Karangan.

• Kubu Raya (kecamatan Sui Ambawang, Kubu, dan Sui Raya).

• Kabupaten mempawah (Toho, Sui pinyuh, Anjungan, Sadaniang, dan Sui Kunyit).

• Kabupaten Bengkayang (Menterado, Samalantantn, Sungai Raya, dan Capkala).

• Pemkot Singkawang (sebagian kecil kecamatan tujuh belas).

• Kabupaten Sambas (sekurangnya kecamatan Selakau, Aruk, dan Sajingan).

• Kabupaten Sanggau (sekurangnya sebagian kecil kecamatan Sosok,Tayan, dan Batang Tarang). Suku Dayak kaya akan keberagaman seni dan budaya yang dimilikinya, seperti dalam seni tari, seni pahat, seni lukis, budaya panen padi, dan lain-lain.

Baca Juga: The History of Dayak (2)

Salah satunya adalah setiap tahunnya, hampir di setiap subsuku Dayak merayakan sebuah acara ucapan syukur panen padi (Naik Dango / gawai). Acara ini merupakan suatu upacara adat ucapan syukur atas hasil panen padi yang diterima oleh masyarakat suku Dayak.

Naik Dango merupakan kebudayaan daerah Dayak Kanayatn, Kalimantan Barat. Kebudayaan daerah adalah kebudayaan dalam wilayah atau daerah yang diwariskan secara turun temurun oleh generasi terdahulu kepada generasi berikutnya pada ruang lingkup daerah.

Naik Dango merupakan acara puncak yang dilaksanakan setelah acara menanam padi. Menurut Nico Andasputra dan Vincentius Julipin (2011:59) mengatakan bahwa: “Naik Dango adalah kegiatan ritual di seputar kegiatan panen yang diselenggarakan setahun sekali oleh masyarakat Dayak Kanayatn. Dango dalam bahasa Dayak Kanayatn berarti dangau atau pondok untuk berteduh yang biasanya dibuat di ladang atau di sawah.

Dalam penyelengaraan Naik Dango merupakan melihat kenyataan serta membentuk nilai, norma dan adat istiadat yang ada di dalam masyarakat Dayak Kanayatn Tujuan upacara Naik Dango selain sebagai kegiatan rutinitas masyarakat agraris Dayak Kanayatn adalah sebagai ucapan syukur kepada Tuhan (nek Jubata) atas hasil panen yang telah diterima dalam bentuk padi dan jenis usaha pertanian lainnya.

Selain itu, tujuan dari upacara adat adalah untuk melestarikan warisan budaya nenek moyang dan mengingatkan generasi muda agar berusaha untuk mempertahankan sistem nilai yang ada, sehingga mampu menjadi alat yang berguna untuk menjaga ketahanan budaya.

Dalam kehidupan dan budaya Naik Dango, masyarakat adat selalu berpegang teguh kepada pancasila.

Pancasila adalah dasar kita hidup berbangsa dan negara, yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Dayak. hal ini terlihat pada filosipis Dayak “Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata , artinya adil kepada manusia, bercermin kepada surga dan bernapas kepada Tuhan, (Evigo Jeremia 2015:23). Sehingga Tri-filosopis Dayak Kanayatn adalah: Basengat Ka’ Jubata Bacuramin Ka’ Saruga Adil Ka’ Talino Hal ini juga selaras dengan nilai Pancasila, nilai KeTuhanan Yang Maha Esa nilai kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, nilai Persatuan Indonesia, nilai Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyarahan/Perwakilan dan nilai Keadilan Sosial bagi Seluruh Indonesia (Munir dkk. 2015:149).

• Makna Nilai Pancasila

• Nilai keTuhanan Nilai keTuhanan Yang Maha Esa mengandung arti artinya adanya pengakuan dan keyakinan bangsa terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta alam semesta

• Nilai Kemanusiaan Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung artinya kesadaran sikap dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai moral dalam hidup bersama atas dasar tuntutan hati nurani dengan memperlakukan sesuatu sebagaimana mestinya.

• Nilai Persatuan Nilai persatuan indonesia mengandung makna usaha kearah bersatu dan membina rasa nasionalisme dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

• Nilai Kerakyatan Nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawarahan/perwakilan mengandung makna suatu pemerintahan dalam masyarakat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dengan cara musyawarah mufakat melalui lembaga-lembaga perwakilan.

• Nilai keadilan Nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia mengandung makna sebagai dasar sekaligus tujuan, yaitu tercapainya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur secara lahiriah ataupun batiniah.

Bicara soal manusia sebagai makhluk budaya senantiasa menarik. Mengapa? Sebab hanya manusia satu-satunya produk sekaligus kreator budaya yang jika dipikir-pikir sungguh luar biasa! Di mana letak luar biasanya? Perhatikan dengan saksama definisi budaya dan 7 wujudnya menurut Kluckhohn (1953).

Terdapat pembeda antara manusia dan makhluk hidup yang lain. Sebagai ciptaan Tuhan paling tinggi dan paling sempurna, manusia dikaruniai akal budi dan hati nurani. Dengan itulah ia mengolah sumber daya alam dan sumber daya lainnya untuk menciptakan sebuah peradaban yang bergerak semakin maju dan semakin baik.

Manusia yang hebat luar biasa bukan pertama-tama diukur dari kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang diciptakannya, melainkan manusia yang hebat luar biasa adalah yang beradab dan berbudaya tinggi sekaligus luhur.

Dalam konteks itulah, Penulis merasa terpanggil untuk meneliti sekaligus mempublikasikan hasil penelitian mengenai salah satu unsur budaya dalam masyarakat Dayak, dalam hal ini Dayak Kanayant.

Baca Juga: Kearifan Lokal Dayak dalam Perlindungan Flora dan Fauna Endemik

Penelitian dilakukan Penulis di Desa Saham Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak. Desa Saham merupakan sebuah desa yang terkenal dengan sebutan cagar budaya yaitu dengan adanya rumah betang Saham, rumah betang Saham merupakan salah satu rumah panjang yang dibangun pada beberapa puluh tahun yang lalu.

Desa Saham adalah salah satu suku yang melaksanakan Naik Dango pada setiap tahun. Desa tersebut setiap tahun pesta Naik Dango pengunjung sangat ramai berkunjung ke desa Saham dikarenakan masyarakat yang antusias menikmati prosesi acara adat di rumah betang Saham dan menikmati hiburan-hiburan yang dilaksanakan untuk memeriahkan acara Naik Dango.

Desa Saham boleh dikatakan adalah bagian kecil dari kecamatan Sengah Temila, desa Saham sendiri memiliki luas lahan 17,581. Luas lahan desa Saham tersebut ditempati 791 keluarga dengan jumlah penduduk 3971 jiwa, penduduk tersebut tersebar di 8 dusun yang ada di Saham.

Seluruh penduduk yang menempati desa Saham memiliki suatu tradisi yaitu hidup dengan damai dan harmonis. Dengan memperkenalkan tradisi upacara adat Naik Dango, diharapkan sidang Pembaca dapat memahami –kemudian mencintai dan turut melestarikan—salah satu kekayataan budaya bangsa Indonesia.

Jika kita kerap mendengar slogan, “Budaya adalah identitas bangsa”, maka semoga dengan memahami secuil narasi Naik Dango dalam seri tulisan pertama ini, Pembaca semakin cinta bangsa dan budayanya!

***