Politik

Kaltara Rumah Kita (5) Pembangunan Berbasis Komunitas, Dana RT Rp100 Juta Pertahun

Minggu, 24 November 2024, 10:37 WIB
Dibaca 113
Kaltara Rumah Kita (5) Pembangunan Berbasis Komunitas, Dana RT Rp100 Juta Pertahun
Yansen TP (Foto Pepih Nugraha)

Pepih Nugraha

Penulis senior

Inilah salah satu produk visi-misi yang disampaikan Yansen TP selaku calon gubernur Kalimantan Utara: pembangunan berbasis komunitas!

Komunitas di sini adalah basis terendah dari hierarkis pemerintahan, yaitu rukun tetangga atau RT. What, RT? Ya, RT.

Tidak main-main, dalam kampanye yang membuat lawan-lawannya "kelimpungan" adalah pemberian anggaran Rp100 juta pertahun untuk setiap RT. Jelas kampanye Yansen pada setiap blusukan yang saya ikuti, yakni rencana pemberian dana bagi RT, disambut antusias warga.

Di sisi lain, setiap sambutan rakyat Kaltara yang antusias berarti ancaman tergerusnya potensi suara bagi lawan meski di wilayah itu didominasi etnis yang sama dengan cagub lawan.

Tidak dapat disangkal, etnis dan agama masih merupakan isu krusial pada Pilkada di pelosok manapun negeri ini. Persoalannya, cagub yang beretnis Bugis-Makassar yang cukup dominan di Kaltara, misalnya, menganggap komunitas besar itu sudah tidak perlu didekati, disapa dan disalami, karena dianggap sudah otomatis akan memilihnya. Demikian pula komunitas dengan agama tertentu.

Yansen mendobrak anggapan lama ini. Ia tetap blusukan ke warga lintas SARA. "Baru kali ini ada calon gubernur yang mau menemui, datang dan menyapa kami di sini," kata Haji Cepi, warga kampung nelayan kelurahan Selimut Pantai, Kota Tarakan, saat Yansen blusukan di sana.

Mungkin Yansen perkecualian. Ia menyapa warga Kaltara lintas suku dan agama. Meski berasal dari etnis Dayak Lundayeh dan Kristen Protestan, baginya dua "identitas sosio-kultural" itu sudah selesai. Wawasannya sebagaimana tertabal dalam buku-buku yang ditulisnya adalah kebangsaan, keindonesiaan dan kenusantaraan. 

Bagi Yansen, Burung Garuda yang di kakinya tersemat Bhinneka Tunggal Ika bukan benda mati, tetapi hidup dalam hati dan pikirannya. Ia tidak mau "E pluribus unum"-nya Indonesia ini menjadi ambyar hanya gara-gara "keukeuh" merasa diri berbeda dan lebih baik dari yang lain. Padahal Gusti Allah saja berfirman bahwa kedudukan setiap umat manusia itu sama.

Maka tidak aneh ketika selintas saya mengikuti prosesi kampanyenya sebagai upaya konstitusional kontestasi Pilkada, ia blusukan ke komunitas etnis Toraja, ke kampung nelayan Bugis-Makassar, ke komunitas etnis besar Kaltara seperti Tidung, Bulungan, Dayak, atau menjadi pembicara di Istighosah Nahdlatul Ulama. 

Setiap bertemu komunitas berbeda, Yansen memaparkan visi-misinya membangun Kaltara. Salah satu unggulan kampanyenya adalah Dana RT sebesar Rp100 juta itu tadi.

Mengapa Yansen demikian yakin Dana RT bisa direalisasikan di Kaltara yang sedikitnya memiliki 3.000 RT ini

Pertama, dana RT bukanlah hal baru karena pada penggal kepemimpinannya selaku Bupati Malinau Yansen telah menerapkan program dana RT yang besarnya Rp260 juta pertahun untuk setiap RT yang ada di Malinau.

Dan, program yang benar-benar mensejahterakan rakyat Malinau itu sudah berjalan, jadi bukan lagi "omon-omon" atau janji utopia belaka.

Kedua, dengan 3.000 RT di Kaltara, itu artinya Pemerintah Provinsi Kaltara nantinya akan mengeluarkan APBD sebesar Rp300 miliar. Yansen menghitung, dengan APBD sebesar Rp3,3 triliun pertahun, serapan anggaran untuk RT "hanya" 10 persen dari APBD. 

"Dana itu langsung dinikmati komunitas RT untuk berbagai program, bukankah komunitas RT adalah rakyat juga yang berhak menikmati dana pembangunan APBD?" kata Yansen pada acara Istighotsah warga Nahdliyin Kaltara.

Tentu saja kampanye ini menjadi "seksi" di mata rakyat Kaltara karena warga di kabupatén Bulungan, Nunukan, Tanatidung, dan Kota Tarakan ingin menikmati dana RT seperti yang bertahun-tahun telah dinikmati warga Kabupaten Malinau di bawah kepemimpinan Yansen selama dua periode menjabat bupati.

Tidak aneh cagub lawan alih-alih memaparkan program unggulannya malah "menyinyiri" proggam dana RT sebagai sesuatu yang tidak mungkin terjadi dengan argumen peraturan menteri dalam negeri itu hanya berlaku untuk RT di kabupaten, bukan RT di tingkat provinsi yang lebih luas.

Padahal, apa susahnya pemerintah pusat membuat aturan baru dengan melihat kenyataan bahwa Dana RT akan dinikmati langsung oleh rakyat. Bukankah lebih baik APBD dikembalikan lagi kepada rakyat melalui dana RT daripada untuk pos belanja pegawai yang hanya dinikmati segelintir aparat, birokrat dan pegawai negeri itu? 

Saya sesungguhnya ingin melanjutkan pemaparan tindakan serta pemikiran Yansen yang tertuang dalam buku-buku yang ditulisnya. Tetapi saya harus mengakhirinya sampai di sini, sampai saya berkesempatan blusukan kembali ke pelosok Kaltara.

(Selesai)