Politik

Antara Munarman, Ba'asyir, dan Kepemimpinan

Rabu, 28 April 2021, 12:47 WIB
Dibaca 488
Antara Munarman, Ba'asyir, dan Kepemimpinan
KONSISTEN adalah salah satu karakter kepemimpinan. Tanpa konsistensi, kepemimpinan tak ubahnya balon kosong.

Saya menemukan sepenggal pengakuan Munarwan, mengapa dia akhirnya memutuskan "beralih" ideologi. Seperti telah saya ceritakan, Munarman pasti orang cerdas. Saya kira banyak orang terpesona dengannya ketika dia menjadi aktivis YLBHI. Ada yang terlewat saya sebut dalam postingan saya sebelumnya: jangan lupa, Munarman juga pernah menjadi koordinator Kontras, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan.


Menyebut Kontras, kita tidak mungkin memisahkannya dengan pribadi (alm.) Munir--nama lengkapnya: Munir Said Thalib--yang tidak punya urat takut itu. Maka, kalau Munarman dalam postingan sebelumnya saya sebut tidak punya rasa takut, sangat mungkin dia "mewarisi" kepribadian Munir tersebut.

Munarman yang cerdas, (dulunya) antikekerasan, pejuang hukum dan keadilan dan hak azazi manusia tak kenal takut itu bagaimana bisa kemudian "beralih ideologi"?

Benarkah hanya karena pengajian-pengajian yang ia ikuti sebagaimana disebutkan oleh (Alm.) Bang Buyung? Orang secerdas dia, seindependen dia, seberani dia hampir tidak mungkin berubah pendirian hanya karena pengajian. Setidak-tidaknya, sulit diterima akal sehat.


Dan, benar! Bukan pengajian yang mula-mula mengubahnya. Dia mengaku sangat terkesan dengan Abu Bakar Ba'asyir. "Orangnya konsisten. Apa yang dia ucapkan sama persis dengan apa yang dia lakukan, terlepas dari motif perjuangannya!" Begitu saya menemukan sepenggal pengakuan Munarman. Kesan ini diperoleh Munarman ketika ia menjadi pengacara Ba'asyir yang ketika itu menjadi tersangka Bom Bali.

Munarman sedikit melanjutkan, sebagai pengacara dia banyak mendampingi klien. Hampir semua klien yang ia dampingi mengeluh ini-itu ketika berhadapan dengan persoalan hukum. Ba'asyir tidak! Sedikit pun tidak mengeluh! Hal itulah yang mula-mula membuat Munarman terkesan dan kemudian tertarik mendalami apa yang sesungguhnya diyakini Ba'asyir.


Kepemimpinan

Tidak penting--dalam hal ini--mempersoalkan pengaruh Ba'asyir kepada Munarman sejauh menyangkut ideologi. Ba'asyir sudah dihukum (dan sudah sangat uzur), Munarman sudah ditangkap. Yang menarik dan penting--bagi saya--justru bagaimana Ba'asyir bisa mengubah haluan Munarman yang dari segala segi nyaris mustahil berubah haluan tersebut. Kata kuncinya adalah: kepemimpinan.


Ba'asyir memberi contoh nyata--bukan sekadar retorika--dalam memperjuangkan ideologinya, terlepas benar dan salahnya ideologi yang dianutnya tersebut. Apa yang diajarkan dan diucapkan Ba'asyir, itu pula yang dia lakukannya. Istilah kerennya: KONSISTENSI! Benarlah kata-kata bijak yang menyatakan bahwa perbuatan jauh lebih berkesan daripada kata-kata. Konsistensi terwujud dalam tindakan bukan kata-kata atau retorika.


Nah, bukankah konsistensi ini yang hari-hari ini menjadi sangat mahal kita temukan dalam diri para pemimpin? Ngakunya anti-korupsi, eh... ternyata nilap bansos. Ngakunya memperjuangkan nelayan, eh... ternyata nilap duit benur. Teriaknya "keadilan harus ditegakkan walaupun langit runtuh", eh... Paul Zhang diburu sedangkan yang di depan mata dibiarkan padahal kasusnya sama.

Benarlah kata-kata bijak yang menyatakan bahwa perbuatan jauh lebih berkesan daripada kata-kata. Konsistensi terwujud dalam tindakan bukan kata-kata atau retorika. Nah, bukankah konsistensi ini yang hari-hari ini menjadi sangat mahal kita temukan dalam diri para pemimpin?


Kepemimpinan macam apa yang tanpa konsistensi semacam itu?
Ngomong-ngomong, problem kepemimpinan itu bukan cuma terjadi dalam kepemimpinan atau lembaga politik, lho... tapi saya kira juga terjadi dalam lembaga keagamaan!