Seluk Beluk Persidangan Perkara Pidana secara Elektronik
Semua sektor terdampak oleh pandemi COVID-19, bukan saja sektor kesehatan dan perekonomian, tapi seluruh sektor kehidupan, termasuk juga sektor hukum. Sistem peradilan pidana nasional yang sudah "paten" sejak tahun 1981 dengan diterbitkannya UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, mendadak harus disesuaikan teknis pelaksanaannya melalui kebijakan/diskresi Mahkamah Agung.
Dalam merespon kondisi pandemi tersebut, Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik. Berdasarkan Perma ini, dalam kondisi tertentu, Hakim/Majelis Hakim karena jabatannya atau atas permintaan dari Penuntut dan/atau Terdakwa atau Penasehat Hukum, dapat menetapkan persidangan dilakukan secara elektronik. Sidang secara elektronik ini sebuah bentuk baru yang sebelumnya belum terpikirkan saat pada pembuat Undang-Undang menyusun UU Nomor 8 Tahun 1981.
Keadaan tertentu untuk dapat digelarnya persidangan secara elektronik tersebut adalah: keadaan yang tidak memungkinkan proses pelimpahan perkara, pengadministrasian perkara maupun persidangan dilaksanakan sesuai dengan tata cara dan prosedur yang diatur dalam Hukum Acara karena jarak, bencana alam, wabah penyakit, keadaan lain yang ditentukan Pemerintah sebagai keadaan darurat, atau keadaan lain yang menurut Majelis Hakim dengan penetapan perlu melakukan persidangan secara elektronik.
Persidangan secara elektronik adalah persidangan yang dilaksanakan dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi, audio visual dan sarana elektronik lainnya. Persidangan ini tidak mengubah substansi prosedur sistem peradilan pidana yang diatur pada UU Nomor 8 Tahun 1981.
Seluruh tahapan pemeriksaan perkara, hak dan kewajiban para pihak, tetap sama dengan persidangan secara langsung. Perkara mana saja yang disidangkan secara langsung (di ruang sidang Pengadilan, "offline") dan perkara mana yang disidangkan secara elektronik, sepenuhnya menjadi kewenangan mutlak Majelis Hakim, tentu dengan mempertimbangkan berbagai faktor, situasi dan kondisi tertentu.
Berdasarkan pertimbangan situasi dan kondisi/keadaan tertentu tersebut secara obyektif, bisa saja penetapan Majelis Hakim akan berbeda antara perkara yang satu dengan perkara yang lainnya. Makanya jangan heran, masih ada perkara tertentu yang disidangkan secara langsung, sementara perkara lainnya ditetapkan secara elektronik (online).
Selain atas kewenangan mutlak Hakim, Penuntut Umum dan/atau Terdakwa dan Penasehat Hukumnya juga dapat mengusulkan perlunya persidangan secara elektronik kepada Majelis Hakim, namun usulan tersebut bisa diterima atau ditolak oleh Majelis Hakim. Keputusannya tetap berada pada Majelis Hakim. Apa yang diputuskan/ditetapkan oleh Majelis Hakim terkait metode pelaksanaan sidang, harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab oleh para pihak, baik Jaksa Penuntut Umum maupun Terdakwa.
Penetapan Majelis Hakim tersebut tidak perlu (apalagi harus) mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Penuntut Umum dan/atau Terdakwa/Penasehat Hukumnya. Adalah sangat berlebihan jika ada Terdakwa yang "ngotot" meminta persidangan dilakukan secara langsung dan menolak persidangan secara elektronik (online), seolah-olah bisa mengatur dan mendikte Majelis Hakim.
Hakim/Majelis Hakim berwenang untuk memimpin proses persidangan agar dapat berjalan secara lancar. Semua pihak yang terlibat dalam persidangan wajib mematuhi segala perintah yang diberikan oleh Majelis Hakim. Seyogianya Terdakwa menggunakan proses persidangan yang dilakukan secara terbuka untuk umum tersebut dengan sebaik-baiknya untuk melakukan pembelaan diri, sehingga keadilan formil dan materiil dapat diperoleh.
Terakhir, semua orang yang hadir di ruang sidang harus selalu menunjukkan rasa hormat kepada institusi pengadilan. Jika ada satu pihak yang tidak menunjukkan rasa hormat kepada institusi pengadilan, maka Ketua Majelis Hakim, demi menjaga marwah dan kehormatan Pengadilan, dapat memerintahkan individu tersebut untuk dikeluarkan dari ruang sidang dan bahkan dituntut secara pidana.