Politik

Kisah Kapal Gagal Bongkar Muat dan Sertifikasi Profesi

Kamis, 28 Januari 2021, 15:47 WIB
Dibaca 1.142
Kisah Kapal Gagal Bongkar Muat dan Sertifikasi Profesi
sertifikat kompetensi logo garuda emas

Dodi Mawardi

Penulis senior

Saya tercenung beberapa saat. Mungkin juga kawan-kawan yang hadir saat itu. Suatu kisah yang menghentak jiwa terdalam sebagai anak bangsa. Sang pemilik kisah adalah seorang Master Asesor BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi), yang diungkapkannya pada saat pelatihan kompetensi asesor. Begini kisahnya.

-------------------------- 

Pada suatu ketika, sebuah kapal barang bermuatan produk ekspor dari Indonesia bersandar di pelabuhan mancanegara. Setelah bersandar, para awak kapal bersiap-siap bongkar muatan. Akan tetapi, otoritas pelabuhan menangguhkan kegiatan rutin para awak kapal tersebut. Mereka meminta dokumen resmi yang dapat membuktikan bahwa para awak kapal tersebut memang punya keahlian sebagai awak kapal. Kompeten sebagai tenaga kerja bongkar muat (TKBM). Sayang seribu sayang, tak satu pun dari belasan awak kapal itu memiliki dokumen resmi yang diminta otoritas pelabuhan setempat. Mereka meminta sertifikat kompetensi yang diakui secara internasional. Mereka menolak dokumen berupa ijazah sekolah atau akademi pelayaran dan sejenisnya. Gara-gara hal tersebut, kapal itu gagal bongkar muat dan harus kembali ke Indonesia.

--------------------------- 

Miris bukan? Gara-gara tak punya dokumen yang bernama sertifikat kompetensi, produk ekspor Indonesia gagal menjumpai pemesannya. Padahal, sertifikat kompetensi itu sudah berlaku lama di banyak negara. Kenapa kita belum punya saat itu? Layak bukan kalau saya tercenung termangu-mangu beberapa saat…

 

Di banyak negara - khususnya negara maju – sertifikat kompetensi itu menjadi suatu keharusan sebagai bukti seseorang memang kompeten pada bidangnya. Sertifikasi profesi, demikian kita mengenalnya sekarang. Secara internasional, standar sertifikasi profesi itu sudah dimulai sejak awal tahun 1980-an. Sementara kita, baru memulai pada awal tahun 2000-an dengan berdirinya Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Amanat dari UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenakerjaan dan PP nomor 23 tahun 2004 tentang BNSP. Namun demikian, upaya sosialisasi sertifikasi profesi menghadapi tantangan besar. Sampai sekarang, masih sangat banyak pihak yang menentang sertifikasi profesi.

 

Negara-negara tetangga kita seperti Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina sudah lebih dulu menggalakkan sertifikasi profesi. Dengan sertifikat kompetensi di bidangnya, para tenaga kerja dari negara-negara tersebut diakui kompetensinya di seluruh dunia. Tak akan ada kisah bongkar muat yang gagal. Tak akan ada kisah penari yang ditolak masuk ke Eropa karena tak bisa menunjukkan sertifikat kompetensinya pada profesi tersebut.

 

Industri pariwisata menjadi salah satu sektor yang paling cepat menerima pemberlakuan sertifikasi profesi. Dapat dimaklumi karena mereka bergaul luas secara internasional. Para tenaga ahli bidang wisata pasti selalu berinteraksi dengan dunia luar. Sertifikat kompetensi di berbagai bidang industri pariwisata pasti sangat dibutuhkan, jika pariwisata Indonesia mau bersaing secara global. Dan mereka sudah melakukannya. Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) sebagai kepanjangan tangan BNSP di bidang pariwisata bermunculan di banyak tempat, terutama di kota besar dan kota pariwisata. Tidak kurang dari 18 skema kompetensi sudah tercatat di LSP, mulai dari resepsionis, bellboy, tour guide, sampai ticketing manager.

 

Dalam lima tahun terakhir, BNSP semakin giat menggalakkan sertifikasi profesi demi meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Upaya yang tidak mudah karena kadang mendapatkan penentangan dari pihak yang belum pas dalam memahami sertifikasi profesi. Tentu ada syarat dan ketentuan berlaku untuk setiap profesi sebelum dapat disertifikasi. Yang pertama dan utama adalah standarisasi profesinya. Itulah sebabnya, BNSP selalu bekerja sama dengan pihak terkait profesi tersebut seperti asosiasi industri, asosiasi profesi, lembaga pendidikan, atau instansi pemerintah. Profesi yang tak punya standar, tentu tidak akan dapat disertifikasi. Termasuk profesi yang tidak memiliki asosiasi.

 

Sungguh membahagiakan ketika beberapa profesi yang sebelumya dipandang sebelah mata, kini memiliki LSP dan mengeluarkan sertifikat kompetensi untuk para praktisi di bidangnya. Misal, tukang pijat (terapis spa dan pijat refleksi) sudah memiliki sertifikat kompetensi. Atau tenaga cleaning service. Dengan bekal sertifikat kompetensi, mereka dapat bekerja di mana pun di seluruh dunia, karena dokumen itu diakui secara internasional. Akhir tahun lalu, profesi satuan pengamanan (satpam) pun sudah mulai menstandarkan profesinya sesuai dengan standar BNSP.

 

Apa urgensinya suatu sertifikat kompetensi atau sertifikasi profesi?

Bung… kalau Anda masih menolak atau tidak sepakat dengan uji kompetensi, sebaiknya membaca lebih banyak literatur. Anda tidak hidup di gurun pasir Yaman Selatan atau di hutan belantara pedalaman Republik Demokratik Kongo. Apapun profesi Anda saat ini, memerlukan standarisasi agar karya, produk, atau jasa Anda juga terstandar. Dengan karya, produk, dan jasa yang terstandar maka secara nyata Anda sudah melindungi konsumen. Sekaligus melindungi Anda sendiri. Standarisasi berfungsi sebagai salah satu penjaga kualitas. Bukankah kualitas Anda, karya, produk, dan jasa Anda harus dijaga agar tetap layak buat konsumen? Dengan standarisasi, maka komsumen lebih terjamin dalam mendapatkan karya, produk, atau jasa.

 

Itulah sebabnya, pemerintah di belahan dunia mana pun membuat standar produk berupa SN (standar nasional), dan mendukung penerapan ISO untuk organisasi (komersial dan nonkomersial), serta menjalankan akreditasi. Suatu ikhtiar menstandarkan proses kerja dalam bidang apa pun sehingga menghasilkan karya, produk, dan jasa yang memenuhi tingkat kualitas tertentu.

 

Para pengelola pelabuhan yang saya kisahkan pada awal tulisan ini, membutuhkan jaminan standar bongkar muat dari para awak kapal. Standar yang diakui secara internasional. Bukan standar Ujung Kulon, Kulon Progo, atau Ponorogo. Bukan pula hanya standar DKI Jakarta, Kalimantan Utara, atau Nusa Tenggara. Dan standar itu meliputi sikap (attitude), pengetahuan (knowledge), dan keterampilan (skill). Sikap, pengetahuan, dan keterampilan itu harus memadai agar seseorang dengan profesi tertentu menjalankan pekerjaannya sesuai dengan standar yang sudah disepakati.

 

Akan tetapi kalau masih ada yang tidak sepaham dengan sertifikasi, ya silakan saja. Hal itu suatu pilihan. Dunia terus berputar kok. Kelak kalau mengalami sendiri kompetensi Anda diragukan, dan Anda tidak mampu menunjukkan buktinya dalam sehelai kertas, risiko ditanggung sendiri ya… Saya sudah mengingatkan lewat tulisan ini. Jangan nanti saya ikut disalahkan.

*Penulis adalah asesor kompetensi BNSP