Literasi

Kiriman Buku untuk Pegiat Literasi Publik

Senin, 22 Februari 2021, 08:38 WIB
Dibaca 782
Kiriman Buku untuk Pegiat Literasi Publik
Buku

Pepih Nugraha

Penulis senior

Sebagai pegiat literatur publik, saya kerap mendapat kiriman buku baik dari penulis buku maupun penerbitnya. Setiap kali saya menerima buku pemberian, selalu saya baca, sebab ini amanah.

Mengapa para penulis dan penerbit kerap mengirimi saya buku?

Boleh jadi mereka tahu saya adalah pecinta buku, pembaca buku dan bahkan menulis buku. Pendeknya, saya berkecimpung di dalam kegiatan literasi publik, mendorong bagaimana publik di manapun bereda melek literasi. Minimal membaca.

Saat saya awal-awal bertugas di Harian Kompas, pernah saya menulis resensi sebuah buku dari penerbit LP3ES. Mungkin saking berterima kasihnya, penerbit yang kantornya di Jalan S Parman (Slipi) itu mengirimkan buku-buku baru dan buku lama untuk saya baca, tentu harapannya agar saya bisa meresensinya kembali.

Baca Juga: Buku dan Trend-nya

Beberapa penerbit pun melakukan hal yang sama, sehingga pada suatu masa tertentu, saya kelimpahan banyak buku. Artinya, investasi saya untuk membeli buku tergantikan oleh buku-buku pemberian.

Terakhir, saya menerima buku karya rekan sakampus pada masa kuliah dulu, yaitu Mustofa Najib yang menulis kisah nyata namun disampaikan dengan narasi ala novel berjudul "Di Antara Dua Cinta". Saya segera membacanya dan buku ini berkisah tentang perjalanan hidup seorang Hadrami yang hijrah ke Pulau Jawa.

Hadrami adalah negara Yaman sekarang ini. Orang yang dikisahkan oleh Mustofa ada kaitan keluarga, setidak-tidaknya kakeknya sendiri.

Sebagaimana kisah perjalanan hidup seseorang, ada "turning point", ada melodrama, dramatisasi, titik nadir, puncak kulminasi, kegigihan, do'a dan usaha, yang membuat sosok yang diceritakannya ini bernilai untuk diceritakan dan memiliki teladan bagi semua orang yang membaca kisahnya.

Satu hal penting bagi saya selaku pegiat literasi publik, bahwa "bercerita adalah hak segala bangsa". Kita semua makhluk bertutur, makhluk bercerita dengan kemampuan narasi masing-masing. Sedikit saja kemampuan bercerita itu dijadikan teks tertulis, maka jadilah dia peradaban.

Bukankah orang dikenang salah-satunya karena tulisan (buku) yang ditulisnya?
Mustofa dengan buku yang ditulisnya, sudah menorehkan peradaban itu.

Selamat, brother, saya siap melumat jejak peradabanmu.

***