Perjalanan Penulis ke Krayan (7): Belajar Kebangsaan dari Manusia Perbatasan
Selama lima hari lima malam di Pondok Biru, kami melulu menulis, diskusi, dan bermain bersama alam. Ketiadaan sinyal HP dan jaringan internet, justru menjadi berkah. Konsentrasi kami menjadi penuh hanya untuk menghasilkan karya tulis. Apalagi harmoni alam di Pondok Biru selalu terjaga. Angin sejuk kerap menerpa. Tak selalu dingin menusuk. Hidung kami termanjakan olehnya. Pohon-pohon di atas bukit di hadapan seolah menari-nari menghibur kami. Awan atau kabut yang memeluknya seakan topi indah penghias dedaunan.
Materi diskusi paling seru adalah tentang kebangsaan. "Bhineka Tunggal Ika itu hidup bagiku..." ujar YTP. Lalu menjelaskan tentang makna kalimatnya itu. Dalam membangun Malinau selama dua periode, prinsip itu digenggamnya erat. Nasionalis Kebangsaan, begitu motto yang sering diungkapkannya sebagai seorang bupati. Kelak, ketika memimpin Kalimantan Utara, YTP sudah menyiapkan konsep besar bernama "Kaltara Rumah Kita." Konsep kebhinekaan dalam membangun provinsi itu yang ditawarkannya kepada masyarakat pada masa kampanye melalui sebuah buku. Saya yakin sekali, belum ada calon pemimpin lain yang berkampanye menawarkan program menggunakan buku. Buku yang diterbitkan oleh Gramedia.
Kadang dalam hati saya bertanya-tanya, "Dari mana konsep kebangsaan sang bupati muncul?" Dia lahir dan besar di kawasan perbatasan yang serba terbatas. Sudah saya buktikan sendiri betapa sulitnya hidup di wilayah perbatasan Kalimantan Utara dengan Malaysia. Saat ini ketika kami berada di Pondok Biru, warga Krayan sedang kesulitan BBM.
Harga bensin perliter melambung menjadi Rp35.000. Biasanya hanya Rp12rb/liter. Harga yang biasa ini saja kalau di Jawa sudah pasti didemo berjilid-jilid. Jaringan HP baru hadir beberapa tahun terakhir. Pun aliran listrik. Sebagian besar masih menggunakan genset yang menyala hanya beberapa jam per malam.
Saya ingat kondisi warga perbatasan di wilayah lain dalam konteks yang lebih sempit. Antara kab. Bogor dan kota Bekasi. Warga desa Bojong Kulur suatu waktu mengancam pindah ke Bekasi karena kondisi jalan mereka dibiarkan rusak selama beberapa tahun. Hal yang tidak pernah terjadi di Krayan. Tak pernah ada ancaman untuk bergabung dengan Malaysia gara-gara kondisi beragam kesulitan itu. Padahal, kondisi warga Malaysia di seberang sana yang berjarak sangat dekat, jauh lebih baik. Dan ternyata mereka masih satu suku: Dayak Lundayeh. Satu suku beda negara.
Warga Krayan sungguh penyabar. Bendera merah putih justru berkibar gagah di banyak tempat. Bahkan pernah meraih Rekor MURI sebagai pengibar merah putih terbanyak di pucuk pohon-pohon tinggi yang banyak itu. Hanya kalimat lelucon, "Di perutku Malaysia, di dadaku Indonesia" yang sering terlontar. Karena nyaris semua kebutuhan pokok kecuali beras, berasal dari Malaysia. Harga lebih murah, dan lebih mudah didapat pula.
Dari wilayah inilah lahir semangat kebangsaan yang begitu lekat dalam diri YTP. Dan juga meresap dalam diri warga lain di Krayan, serta manusia perbatasan lainnya. Saya pernah menyambangi Long Nawang dan Long Ampung di Kayan Selatan, Malinau. Kecamatan yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Setali tiga uang dengan Krayan, semangat kebangsaan mereka begitu menggelegak. Padahal, selama puluhan tahun mereka kurang perhatian, apalagi sentuhan dan belaian yang nyaris tak pernah mereka dapatkan.
Setiap kali berbicara tentang kebangsaan dengan YTP, setiap kali itu pula tamparan keras menimpaku. Berkali-kali. Pelajaran kebangsaan yang kudapat di kampus SMA dan secuil di perguruan tinggi, seperti menemukan muaranya. Semangat kebangsaan justru kutemui di perbatasan. Dalam diri manusia-manusia perbatasan negeri.
Bukan di deretan gedung pencakar langit di ibukota negara. Bukan pula di perumahan elite di Jabodetabek. Bahkan bukan pula di gedung DPR atau Istana Negara. Semangat kebangsaan di situ seringkali terasa semu.
***
Tulisan sebelumnya: Perjalanan Penulis ke Krayan [7] Belajar Kebangsaan dari Manusia Perbatasan