Literasi

Catatan BRWC 2022 (2): Ruma Kadang yang Hilang

Sabtu, 19 November 2022, 17:54 WIB
Dibaca 483
Catatan BRWC 2022 (2): Ruma Kadang yang Hilang
Membayangkan seandainya rumah panjang tidak hilang

Mereka menjalani ruyud dalam keseharian secara harfiah ketika masih tinggal di ruma kadang (rumah panjang). Ruma kadang adalah rumah tradisional Dayak Lengilo’ subetnis Lundayeh yang bermukim di daerah aliran Sungai Krayan. Rumah ini mewakili kebersamaan dan kekeluargaan mereka: dibangun bersama-sama, ditempati bersama-sama, dirawat dan dijaga secara bersama-sama pula.

Marli Kamis (58) dan Gat Khaleb (50) termasuk generasi yang beruntung sempat mencecap denyut kehidupan di ruma kadang pada masa kecil. Mereka masih ingat suasana kekeluargaan dan kehangatan di rumah adat tersebut.

“Saya sempat tinggal di situ,” kata Marli, anggota DPRD Tingkat I Kaltara. “Bisa sampai 15-20 KK per rumah, dan satu KK bisa dua rumah tangga. Di tiap KK ada tungku perapian, tempat masak. Malamnya warga berkerumun, ngobrol sambil bakar keladi, membicarakan apa yang akan dikerjakan besok atau lusa. Mereka berbagi tugas, siap mengerjakan suatu bagian menurut kecakapannya.”

“(Kami menikmati) makan malam bersama. Masing-masing ibu rumah tangga bawa nasi dan sayur ke tengah rumah, bawa lampu damar (lawen), dst. Saling menawarkan nasi dan sayur antara satu dengan yang lain. Benar-benar hangat, harmonis. Keluarga besar. Beberapa kepala dan ibu rumah tangga hidup dalam satu rumah,” kenang Gat, anggota DPRD Tingkat II Nunukan, dalam tulisannya di situs YTPRayeh.

“Soal saling menawarkan makanan: Semangatnya supaya keluarga yang satu bisa merasakan jerih payah keluarga yang lain. Merasa keringat keluarga yang lain. Nilai paling dalam dan hakiki. Saling berbagi berkat, kalau pinjam bahasa para pendeta.”

Gat juga mencatat, “Rumah panjang merupakan pusat edukasi nilai dalam tradisi masyarakat Lundayeh Krayan pada zamannya.”

Pada pertengahan 1970-an, pemerintah Orde Baru mengadakan penataan desa. Warga desa yang tinggal berjauhan dikumpulkan dalam satu lokasi agar pemerintah lebih mudah memantau kebutuhan pendidikan dan kesehatan mereka. Kehidupan komunal di ruma kadang pun berangsur ditinggalkan, dan setiap keluarga menempati rumahnya masing-masing (Ulce Oktrivia dkk., Mengenal Rumah Kadang Arsitektur Tradisional Lundayeh, 2018).

Roedy Haryo Widjono AMZ, dalam Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok (1998), menggarisbawahi dampak buruk penggusuran rumah panjang tersebut. “Komunitas kehidupan rumah panjang sebagai pusat kebudayaan Dayak, sesungguhnya kini tinggal menjadi kisah legendaris kejayaan masa silam. Sisa-sisa rumah panjang yang masih ada di beberapa desa, hakikatnya hanya merupakan fisik rumah tinggal yang telah kehilangan ‘roh’ dinamika kehidupan masyarakat adat Dayak. Malah tragisnya, rumah panjang itu telah pula ‘dijual’ sebagai objek wisata.”

(Bersambung)

Setelah tulisan ini tayang, saya mendapatkan foto di bawah ini dari Kalvin Pagu, Kepala Desa Binuang. "Ini rumah panjang kami tahun 1997," katanya.