Batu Ruyud Writing Camp | Literasi Dayak, Berawal dari Tradisi Oral Rumah Panjang (8)
Web kita. Yang diluncurkan di Hotel Pullman, Jakarta pada 14 Januari 2021. Bukan tiba-tiba ada.
Dr. Yansen TP, M.Si., yang empunya. Sementara kami bertiga, pekerja-kata, sekaligus pegiat literasi sebagai co-foundernya (Pepih, Dodi, dan saya). Sepakat bahwa Ytprayeh.com adalah "rumah literasi" bagi semua. Semacam rumah panjang, rumah panjae, lamin, betang, rumah radakng di masa lalu.
Dengan kata lain, Web kita ini adalah media sosial sebagai "rumah bersama". Tempat kita semua belajar, berbagi, saling menguatkan, saling bertegur-sapa, dan sebagainya. Ia public sphere, dalam jargon Habermas.
Batu Ruyud Writing Camp adalah public sphere masa kini. Yang filosofi, arti, serta nilainya sama dengan lamin, betang, rumah panjang di masa lampau.
Tidak tiba-tiba, karena sebelumnya, seperti tulisan terdahulu. Kami diinspirasi, serta dibakar api literasi para pendahulu. Inilah tradisi itu: kita mewarisi budaya dari pendahulu dan mewariskannya kepada generasi berikutnya.
Dari buku ini saya mafhum. Bahwa tradisi oral, seperti dipraktikkan suku bangsa Dayak sejak zaman semula jadi. Adalah juga literasi-dasar. Yang secara ilmiah bisa ditelusuri kandungan isi fakta sejarahnya dengan metode historiografi.
Buku ini menyibak wawasan mengenai kaitan masyarakat-komunal, seperti orang Dayak, yang tinggal dan hidup bersama --sebagai komunitas-- di rumah panjang.
Seperti kita ketahui. Negara-negara Asia Tenggara memiliki keragaman budaya yang kaya, masing-masing dengan tradisi uniknya di mana kelisanan merupakan karakteristik yang signifikan. Tradisi-tradisi seperti itu sekarang mulai ditinggalkan tergerus arus di bawah pengaruh gelombang pasang bernama urbanisasi dan modernisasi yang cepat.
Di Asia Tenggara. Teristimewa di tanah Semenanjung Melayu dan Borneo. Saya mengamati bahwa Metodologi sejarah lisan, di sini lebih tepat disebut dengan istilah “tradisi lisan”, diakui sebagai sarana untuk mendokumentasikan dan melestarikan tradisi-tradisi tersebut. Tradisi lisan dipelopori oleh Museum Sarawak pada 1957, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, pada 1961 dan Museum Brunei pada 1965.
Saya beberapa kali "tenggelam" di Museum Sarawak. Pertama, tahun 2017. Tatkala kawan-rapat saya, seorang Lun Bawang (Lundayeh di Indonesia), Ipoi Datan menjadi kepala Museumnya. Kini beliau telah purna-tugas, dan telah meraih gelar Ph.D. pula.
Banyak dokumen --tidak ada dokumen hidup dalam arti biologis dan kronologis-- dokumen itu sendiri adalah sejarah. Di sini saya menemukan, dengan "vorurteil"[1] seorang cendikia Dayak-- tacit knoweledge sukubangsa kami di masa lampau.
Museum Sarawak ini sungguh luar biasa. Pendokumentasian sejarah dan nilai tradisi suku bangsa Dayak (di sini simbol buaya Lundayeh diteliti dan ditulis) sangat membantu di dalam menjembatani gap antara the past and the present.
Di sini seorang literer, pekerja-literasi seperti kami bermain-main. Sekaligus berperan. Bukan semata-mata "menulis dan menulis setiap hari", melainkan menjadi messenger. Bertindak sebagai Hermes, yang bertugas menafsirkan realitas di balik yang tampak-fisik. Menemukan sensus plenior, makna terdalam, esensi, suatu hakikat di balik peristiwa yang tampak-fisik.
Oleh sebab itu. Pada Juni 2017. Kami Dayak serumpun menyelenggarakan Kongres Internasional I Kebudayaan Dayak[2] di Bengkayang, Kalimantan Barat. Saya Ketua Steering Committee. Dr. Yansen TP, M.Si. pembicara kunci.
Kegiatan-kegiatan ini telah menghasilkan sejumlah publikasi, seperti catatan sejarah kehidupan, manual sejarah lisan, buletin, dan katalog wawancara. Kongres kebudayaan itu diikuti semua pakar di vaknya, tanpa kecuali. Satu di antara pakar itu, Prof. James Collins[3] yang dikenal piawai bidang bahasa dan kajian etnografi sukubangsa Dayak.
Paper, dan paparan, di Kongres itu diterbitkan dalam buku Prosiding Seminar. Yansen membawakan topik “Paradigma Pembangunan “Percaya kepada Rakyat” melalui Gerakan Desa Membangun (Gerdema). Sedangkan saya membawakan topik “Ngayau Masa ke Masa: Dari Penggal kepala Hingga Membajak Tenaga Kerja Terampil”.
Kongres Internasional I ini disebut “Kongres Kebudayaan”, karena selain mengupas tuntas semua aspek kebudayaan, juga termaktub di dalamnya agenda aksi, bukan sekadar menyemaikan gagasan seperti lazimnya seminar.
Para pakar dan praktisi datang dari berbagai penjuru dunia dan mewakili berbagai provinsi, negara, dan subsuku Dayak. Dan Bengkayang sebagai tuan rumah mendapat kehormatan yang luar biasa dan dapat diibaratkan dengan Damang Batu yang menjadi tuan rumah pertemuan besar sekaligus bersejarah di Tumbang Anoi pada tahun 1894. Tentang metamorfosis public sphere, konsep dan filosofi alam pikiran Dayak dengan rumah panjangnya menjadi media sosial Ytprayeh kita ini, akan dibahas sendiri pada satu atau dua narasi nanti.
Dengan demikian, Web kita ini, juga Batu Ruyud Writing Camp adalah public sphere masa kini. Yang filosofi, arti, serta nilainya sama dengan lamin, betang, rumah panjang di masa lampau.
Dalam konteks ini. Manusia Dayak terbukti mampu bermain-main di tengah pusaran arus deras serta gelombang pasang perubahan. Hal itu menggenapi sebagaimana dikatakan filsuf Heraclitus.[4] "Pantai rhei kai ouden menei". Tidak ada yang tidak berubah. Yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri.
Orang Dayak nyatanya bisa beradaptasi. Sekaligus pandai mengadopsi "kultur baru". Dengan tidak meninggalkan esensi serta nilai-nilai adat dan tradisi warisan leluhur.
(bersambung)
Catatan akhir:
[1] Gadamer, 1975: 273, “Actually ‘prejudice’ means a judgement that is rendered before all the elements that determine a situation have been finally examined. In German legal terminology a ‘prejudice’ is a provisional legal verdict before the final verdict is reached.” Sederhananya, “vorurteil” ini adalah apa yang ada di kepala kita, sebagai penafsir. Merupakan prejudice, praduga, vorurteil ini dipakai untuk "membaca" teks. Inilah syarat supaya pemahaman akan sebuah teks terjadi. Jika Anda ingin mendalaminya, lebih lanjut baca: Gadamer, Hans-Georg. 1975. Truth and Method. London-New York: Continuum.
[2] Kongres Internasional I Kebudayaan Dayak di Bengkayang, Kalimantan Barat yang dihelat pada 2 – 6 Juni 2017 telah berlalu. Namun, gaung dan gegap gempitanya sungguh luar biasa. Antusiasme pun berdatangan dari berbagai penjuru. Tak kurang dari 400 peserta, lebih dari 40 penarasumber dari disiplin dan ilmu, serta diperkaya floor telah memperkaya, sekaligus menegaskan bahwa Dayak hari ini berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan etnis lainnya di muka bumi ini.
[3] James T. Collins (lahir di Chicago pada tahun 1946), seorang ahli linguistik Amerika Serikat dalam bidang perbandingan bahasa, leksikografi dan sosiolinguistik. Bidang minatnya fokus pada meliputi bahasa-bahasa Melayu-Polinesia selain bidang pengkajian Austronesia. Bahasa Dayak juga menarik baginya, sehingga menjadi topik kajiannya.
[4] Filsuf yang juga dikenal sebagai Heraclitus (Latin) dan Heraclitos (Yunani), ditengarai adalah filsuf sezaman dengan Parmenides. Ia berasal dari Ephesus, Asia Kecil (kini wilayah Selçuk, Turki) yang hidup sirka tahun 540-480 SM.