Menanti Geliat Baru Sastra Orang Kalimantan
Hari ini, saya mendapatkan ajakan untuk berdiskusi tentang sastra via aplikasi Google Meeting. Padahal, saya bukan sastrawan. Saya hanya penulis. Ngepop pula. Kalau pun kelak menjadi sastrawan, pastilah sastrawan ngepop. Sang pengundang adalah Masri Sareb Putra, penulis senior dan sastrawan angkatan 2000. Orang Dayak yang berasal dari Sekadau, Kalimantan Barat.
Katanya, ia mendapatkan pesan khusus dari sastrawan besar Kalimantan yang sudah wafat – Korrie Layun Rampan, untuk meneruskan perjuangan tetap menghidupkan sastra di pulau Borneo. Wasiat penuh makna yang dipegang kuat oleh Masri. Ia pun mengajak pegiat sastra di Kalimantan, khususnya Dayak, untuk bersama-sama bergerak dan menggeliatkan literasi fiksi di sana.
Baca Juga: Rumah Sastra Korrie Layun Rampan
Korrie Layun Rampan bukan orang sembarangan. Dia boleh disebut sebagai sastrawan paling menonjol dari Kalimantan, semasa hidupnya. Tulisannya tersebar di mana-mana khususnya dalam bentuk cerpen dan novel. Puisi juga. Pria kelahiran 1953 itu, sudah memperoleh tak kurang dari 16 penghargaan bergengsi di bidang sastra.
Korrie meninggal pada 2015 lalu dan merasa belum selesai membangun dunia sastra di Kalimantan. Ia meninggalkan warisan berupa buku dan karya yang disimpannya di Rumah Sastra Korrie Layun Rampan di Kutai Kalimantan Timur. Masri menjuluki Korrie sebagai Kardinal Sastra Indonesia. Tak beda jauh dengan H.B. Jassin yang dijuluki sebagai Pausnya Sastra Indonesia.
Sungguh, saya gembira dan bahagia menyaksikan semangat saudara-saudara sebangsa dan setanah air di Kalimantan dalam berliterasi. “Kita tidak lagi harus membaca berita-berita dari pusat, kitalah di Kalimantan yang harus membuat berita untuk pusat,” demikian kira-kira kalimat yang muncul dari peserta rapat dalam zoom itu sebagai pertanda bersemangat. Menggebu-gebu. “Setelah Korrie meninggal, nyaris tak ada lagi sastrawan terkemuka dari Kalimantan. Kita harus menggiatkan kembali sastra di sini.”
Meskipun saya bukan orang Kalimantan, namun hati dan pikiran saya tergelitik amat kuat. Ada keterikatan emosional yang entah dari mana asalnya menyangkut Kalimantan. Buat saya, Kalimantan adalah masa depan Indonesia.
Keyakinan yang muncul jauh sebelum Jokowi memutuskan pindahkan ibu kota ke sana. Sejak 2014, saya mulai sering ke Kalimantan, setelah yang pertama kali pada 2006. Sama-sama urusan literasi: pekerjaan sebagai penulis profesional. Saya sudah singgah di Balikpapan, Samarinda, Banjarmasin, Tarakan, dan Malinau. Entah kelak ke kota mana lagi. Mungkin ke Tanjung Selor, Pontianak, atau Palangkaraya.
Kalimantan punya potensi sangat besar di bidang literasi termasuk sastra. Korrie Layun dan Masri Sareb Putra sebagai contohnya. Karya-karya mereka diakui secara nasional. Bukan jago kandang. Tentu menjadi pertanyaan dan tantangan ke depan, kapan lagi ada penerus mereka? Siapa yang harus menggugah generasi milenial Kalimantan untuk menulis? Bagaimana cara menggiatkan sastra di sana?
Pertanyaan-pertanyaan itu sedikit terjawab hari ini. Masri Sareb dan kawan-kawannya di Kalimantan serta juga yang bermukim di Malaysia, baru saja menyalakan obor untuk menggerakkan sastra Kalimantan. Bukan sekadar lilin. Melalui bendera Rumah Sastra Korrie Layun Rampan. Mereka bertekad menyatukan langkah mewujudkan wasiat Korrie Layun Rampan mengobarkan semangat sastra di Kalimantan.
Kita layak berharap dan menunggu. Sastra Kalimantan bukan hanya untuk warga Borneo, namun juga untuk literasi Indonesia. Menuju peradaban baru!
Sambil menunggu, saya mengajak pegiat sastra Kalimantan untuk mulai menulis cerpen, puisi, cerita bersambung dan lainnya, di rubrik Sastra YTPRayeh.com. Biar menunggunya lebih bermakna.
***