Literasi

Batu Ruyud Writing Camp |Sesudah Pelatihan Menulis, Terbitlah Rekor MURI (3)

Sabtu, 23 Juli 2022, 01:13 WIB
Dibaca 492
Batu Ruyud Writing Camp |Sesudah Pelatihan Menulis, Terbitlah Rekor MURI (3)
Rekor MURI dilahirkan di Batu Ruyud.

Di Wikipedia. Pada profil tokoh hidup. Juga pada senarai nama sastrawan Dayak. Seperti halnya di Leksikon Susastra Indonesia (2000: 390). Oleh "kardinal sastra Indonesia", Korie Layun Rampan. Saya dibaiat sebagai salah seorang sastrawan Angkatan 2000 dalam sastra Indonesia. Juga pegiat literasi nasional.

Sebenarnya, terus terang. Malu aku di muka Dr. Yansen TP. Apa pasal?

Suatu waktu, saya akukan hal itu sebagai "dosa literasi". Mengapa? "Saya dikenal sebagai pegiat literasi nasional. Bukan petugas partai tertentu. Yang ke mana-mana menggelorakan literasi dasar: membaca dan menulis. Tapi belum berhasil mengajak seluruh anggota keluarga berliterasi, apalagi untuk duduk bersama menulis buku yang esa sekeluarga," kata saya.

Semua anggota keluarga yang ikut berlibur, wajib menulis. Peserta termuda, berusia 9 tahun hingga 63 tahun, dimampukan menulis.

Selama ini, baru anak perempuan saya yang telah menulis buku. Sebuah novel teen lit. Terbit pula di Google. Penerbitnya: An1mage.

Hebatnya Yansen. Pria Lundayeh tinggi besar ini telah mengukir sejarah. Peristiwa bermula dari pelatihan menulis seluruh anggota keluarga di Batu Ruyud, medio tahun 2019. Pada suatu rangkaian liburan panjang nasional ketika itu. Selama seminggu, seluruh handai tolan dikumpulkan di tempat itu. Dibekali teknik dan keterampilan menulis. Saya salah satu mentor, selain Yansen.

Namun, saya saksikan. Tanpa filosofi "Ing ngarso sung tulodo, Ing madya mangun karso,  Tut wuri handayani"  diperkenalkan Ki Hadjar, yang diterapkan Yansen, tak mungkin bisa 30 anggota keluarga menulis buku.

Ada yang memang bisa jalan dan nulis sendiri. Ada yang perlu dimotivasi dan diberi semangat. Namun, beberapa harus dilecut dengan cemeti.

"Kamu akan menyesal nanti. Melihat bukunya yang bagus dan bermutu terbit, namun tak ada namamu di dalamnya," saya dengar sendiri Yansen berkata demikian kepada salah seorang anggota keluarga, yang "bandel".

Di situ saya melihat dengan mata kepala sendiri. Bagaimana untuk mencapai tujuan, seorang leader perlu mengenal tiap followers, domba-dombanya. Tidak bisa main pukul rata. Masing-masing karakter, perlu approach yang berbeda!

Lagipula, seperti tertera pada pustaka kuno pedagogi. Guru yang berhasil baik adalah dia yang menggali potensi (in potentia) pembelajar menjadi nyata (in actu). Biarlah pembejalar menjadi dirinya. Janganlah ia dibentuk seperti sang guru.

 Adalah gagasan Yansen TP bahwa  setiap orang selama berada di Batu Ruyud, selain  menikmati sejuk dan alami suasana Fe’ Milau yang airnya bersumber dari gunung-gunung di sekitarnya, juga menjadi bagian dari sejarah.

Oleh sebab itu, setiap orang wajib mengangkut batu dari sungai, mengukir di atas batu namanya. Kemudian menumpuknya di tempat yang telah disediakan. Hal itu sekaligus mengandung makna bahwa “Kita tidak mengejar masa depan, namun kita sedang menjalaninya sekarang.”

Toh kata-kata Yansen itu bukan hanya indah dan enak di telinga, namun juga sesuatu yang dapat dibuktikannya.  Pada liburan panjang akhir Mei – pertengahan Juni 2019, Yansen merancang liburan keluarga bukan ke Tanah Suci, atau ke Bali.  Namun, kembali ke kampung nenek moyang di Krayan ini, bukan hanya untuk rekreasi. Liburan ini dipakai untuk melatih anggota keluarga besar Samuel Tipa Padan agar terampil menulis.

Semua anggota keluarga yang ikut berlibur, wajib menulis. Peserta termuda, berusia 9 tahun hingga 63 tahun, dimampukan menulis.

Jadi, hal itu mengibaratkan bahwa gotong royong merupakan kekuatan kita terlebih lagi bagi keluarga.

Lalu batu tersebut kita ukir nama kita sendiri di atasnya dengan cara dipahat. Bisa juga dengan menggunakan batu kecil yang lancip atau menggunakan paku jika tersedia.

(bersambung)