Literasi

Menjadi Penulis Bukan untuk Melarat

Senin, 14 Juni 2021, 10:40 WIB
Dibaca 381
Menjadi Penulis Bukan untuk Melarat
Ilustrasi meminta-minta (Foto: alfatih.com)

Pepih Nugraha

Penulis senior

Hanya ada segelintir saja manusia di dunia ini yang murni hidup dari menulis, mulai saat ia bersekolah sampai lulus kuliah. NH Dini dan Pramoedya Ananta Toer mungkin perkecualian. Tetapi, kini tidak ada orang yang lahir-hidup-mati sebagai penulis.

Penulis Amerika Somerset Maugham mengatakan, jika Anda ingin menjadi penulis yang baik, carilah pekerjaan yang baik terlebih dahulu. Bagi Maugham, tidak ada "pekerjaan" menulis itu. Orang sehabis lulus kuliah atau selesai sekolah lalu menjadi penulis tanpa mencari pekerjaan lainnya terlebih dahulu. Tidak ada.

Pegiat literasi Masri Sareb Putra dalam sebuah tulisannya merinci para penulis top yang memiliki pekerjaan keren, antara lain penyair Wallace Stevens sebagai wakil ketua sebuah perkumpulan Asuransi dan seorang ahli dalam bidang Marketing. Thomas Stearns Eliot seorang bankir muda. William Carlos Williams seorang dokter anak-anak. 

Kemudian Robert Frost ahli peternakan unggas. Hart Crane pembungkus gula-gula pada perusahaan ayahnya, kemudian ia menjadi penulis naskah iklan. Stephen Crane seorang wartawan perang. 

Sedang Marianne Moore bekerja pada perpustakaan umum di New York. James Dickey bekerja untuk agen iklan. Archibald MacLeish direktur kantor fakta dan kenyataan dan ilmu hitung selama Perang Dunia II. JK Rowling adalah guru dan ibu rumah tangga.

Di Indonesia Mira W dan Marga T seorang dokter. Ayu Utami, Ahmad Fuadi dan Fira Basuki adalah jurnalis. Ashadi Siregar dan Naning Pranoto adalah dosen. Andrea Hirata seorang karyawan Telkom, dan seterusnya.

Artinya, sebelum mereka menjadi penulis top, mereka juga seorang pegawai, karyawan atau profesional di bidang tetentu. Mereka sudah mapan dalam kehidupan dan menulis sebagai panggilan jiwa atau mungkin sebagai "escaping" (pelarian) belaka.

Menulis membutuhkan waktu, ruang dan konsentrasi penuh, tidak bisa dilakukan "en passant" atau sambil lalu.

Apakah bisa menulis dengan baik jika terus memikirkan bahwa dapur harus ngebul hari ini? Tentu sulit. Hanya penulis top dengan royalti rutin saja yang tidak memikirkan urusan dapur harus ngebul yang bisa menulis dengan baik karena memiliki ruang, waktu dan konsentrasi yang cukup.

Maka sering terdengar kisah tragis beberapa penulis (penyair, esais, cerpenis atau novelis) yang sengsara di usia senja mereka. Hidup dan kehidupan mereka semata-mata hanya menulis, tidak ada keterampilan lain, sedang kemampuan berpikir (syarat untuk menulis) semakin berkurang seiring bertambahnya usia.

Akhirnya, mereka menggantungkan hidup kepada orang lain alias semata-mata berharap belas-kasih teman. Ada juga yang mencoba bertahan dengan menerbitkan buku sendiri dan menjualnya secara mandiri kepada sahabat atau kerabat yang mereka kenal dengan setengah memaksa Tetapi sekali lagi, inipun bentuk lain dari meminta belas kasih orang.

Maka, menjadi penulis itu bukan untuk jatuh miskin. Bukan untuk melarat. Sebaliknya, menjadi penulis itu harus berada (baca: kaya) agar ia mampu menghidupi dirinya dan menolong orang lain, bahkan sampai usia menjelang senja.

***