Literasi

Proses Kreatif Menulis Buku, Biarkan Teman Menilai!

Senin, 9 Mei 2022, 05:38 WIB
Dibaca 983
Proses Kreatif Menulis Buku, Biarkan Teman Menilai!
Buku

Pepih Nugraha

Penulis senior

Beberapa novelis secara sadar sengaja menyilakan keluarga, saudara atau sahabat-sahabat dekatnya untuk membaca draft novel yang ditulisnya. Tidak harus sampai selesai, bahkan prolog maupun bab-bab pertama sudah beredar di tangan pembaca yang merupakan orang-orang terdekat dengan si novelis itu.

Apa tujuan cara menyilakan orang lain membaca draf novel yang Anda tulis? Tidak lain untuk menakar atau mengukur sejauh mana emosi mereka tersentil dan pengetahuan mereka tergugah setelah membaca bab-bab pertma yang Anda tulis.

Dari umpan balik (feed back) pembaca pertama, novelis mendapat asupan baru berupa pujian maupun kritik yang sangat bermanfaat. Tidak jarang pembaca pertama mengubah arah cerita. Bukan berarti menulis novel itu kerja kolektif, tetapi lebih karena ingin memperoleh reaksi pembaca pertama saja.

Cara saya menulis novel "Alena" mungkin lebih ekstrem lagi; bukan hanya bab-bab pertama yang saya persilakan orang-orang terdekat membacanya, tetapi menyilakan semua teman-teman Facebook dan follower membaca seluruh isi novel saya dari prolog sampai epilog.
Benarkah? Apa tidak takut "rugi bandar"? Apa orientasi tujuan menulis novel sekarang sudah berubah, tidak berfokus pada mata pencaharian?

Jawabannya lebih kepada eksperimen dalam mengembangkan kreativitas menulis semata. Kenyataannya, benar bahwa saya melakukan cara ekstrem itu. Saya tidak takut tidak mendapat apa-apa (materi) ketika banyak orang telah membaca novel saya secara utuh, toh ketika novel itu diterbitkan secara mandiri (karena penerbit major meminta mengubah karakter penting agar tidak menyentuh sensitivitas terkait SARA dan saya menolak keinginan penerbit major itu), ada saja yang memesan dan membeli novel itu, sampai sekarang.

Saya tidak takut "rugi bandar" karena menulis bukan pekerjaan niaga atau berdagang, lebih kepada pekerjaan intelektual yang tidak berorientasi materi (uang). Berbeda dengan niat niaga, tidak ada yang tidak berorientasi uang, bukan? Dengan prinsip "memberi" pengetahuan (hiburan) gratis seperti ini, bukan hanya sekadar menakar reaksi pembaca, tetapi memang ada semangat berbagi itu.

Tentu ini bukan karena orientasi menulis novel sudah berubah, tidak lagi berfokus mengejar materi, lebih kepada eksperimen dalam mengembangkan kreativitas menulis saja. Maka, jangan Anda tiru cara saya jika tidak berkenan.

Di beberapa aplikasi membaca, ada beberapa penulis menyilakan pengguna membaca beberapa bab awal buku atau novel, tetapi setelah itu pengguna harus membayar. Tidak demikian cara saya yang menyilakan pembaca menikmati seluruh isi novel tanpa harus membayar.

Tentu saja berbeda ketika novel sudah saya bukukan, ada aktivitas niaga di sini meski bukan saya yang melaksanakan langsung. Sebab, ada ongkos produksi yang harus saya keluarkan.
Pertanyaannya, mengapa saya memberikan novel "Alena" dan kumpulan cerita "Dua Ustad" secara cuma-cuma kepada Gat Khaleb teman saya di Nunukan, Kalimantan Utara?

Jawabannya adalah "hadiah istimewa" yang hanya saya berikan kepada segelintir orang spesial, termasuk kepada mantan terindah hahaha... Gat termasuk orang yang segelintir itu karena kebaikannya.

Bagaimana tidak saya katakan orang baik, saya tidak pernah bertemu dengannya sebatas kegiatan literasi jarak jauh, tetapi saat saya ke Tanjung Selor untuk sebuah kegiatan literasi Kaltara yang diinisiasi Pak Yansen TP Gat yang kebetulan hadir di acara ICDN (Ikatan Cendikiawan Dayak Nasional), melalui Masri Sareb Putra ia memberi saya oleh-oleh istimewa dari Nunukan: 4 kilogram beras adan!

Saya selintas sudah bercerita tentang keistimewaan beras adan yang saya sebut "beras sultan" ini (konon makanan Sultan Brunei Bolkiah) dalam buku kolaboratif "Journey to Krayan" bersama Dodi Mawardi, tetapi saya lanjut sedikit tentang mengembangkan proses kreatif menulis ini.

Jadi, sebagaimana Gat katakan di video testimoni ini, meski ditulis "en passant" atau sambil lalu bab per bab di media sosial, tetapi novel ini sedemikian kompleks dengan konflik dengan alur cerita yang "roller coaster", zig-zag tetapi tetap masih bisa dinikmati.

Lewat cara ini, saya justeru menemukan pola berkarya sekaligus mendapatkan"passion" menulis. Ada hasrat untuk terus melanjutkan bab per bab setiap hari manakala pembaca setia menunggu dengan komentar-komentar inspiratif mereka yang beragam. Sungguh ini merupakan bahan bakar tambahan untuk menjalankan mesin mobil agar lekas sampai ke tempat tujuan?

Terima kasih saya sampaikan kepada Gat Kaleb atas ketulusan membuat video testimoni ini. Oh iya, sedikit ralat... saya bukan pemilik Kompasiana, tetapi pendiri saja. Prinsipnya, setelah berdiri, tidak harus memiliki.

***