Hikayat Tiga Kitab
Sebagai pegiat literasi, saya sering menerima buku pemberian, baik dari perorangan maupun penerbit. Tentu buku untuk saya baca agar pengetahuan bertambah. Belakangan makin banyak orang yang berkirim buku ke rumah dan saya menerimanya dengan suka-cita. Alhamdulilah...
Prinsipnya, saya selalu menghargai upaya literasi sekecil apapun, baik kesukaan membaca, menulis, menerbitkan sampai mendokumentasi buku.
Bagi saya, mereka inilah yang berada di garda terdepan literasi. Tanpa banyak cakap, mereka bekerja dalam senyap, seperti akar tersembunyi yang tak butuh tepuk tangan penonton.
Tiga buku yang akan saya ceritakan ini adalah kiriman terakhir yang saya terima. Dua buku yang pertama senapas, yaitu "Jelajah Kuliner Nusantara" yang disusun oleh KPK.
Wow, sejak kapan lembaga antirasuah ini berminat pada soal-soal gastronomi? Jangan salah, KPK di sini adalah Kompasianer Penggila Kuliner, sebuah subkomunitas yang ada di komunitas besar Kompasiana.
Baca Juga: Naskah-naskah yang Belum Menjadi Buku
Dulu saat masih mengembangkan Kompasiana, bersama teman-teman, saya merancang terbentuknya sub-sub komunitas ini di Ancol. Dulu saja jumlanya mencapai 22 subkomunitas, sekarang harusnya lebih banyak lagi. Beberapa subkomunitas ini sekarang hidup dan berkembang dengan cara masing-masing, termasuk KPK ini.
Tetapi tetap saja, dalam kacamata literasi, komunitas atau subkomunitas yang keren adalah yang menerbitkan buku (teks), video atau film dokumenter. Karena apa? Buku adalah prasasti peradaban literasi, yang pesannya akan sampai kepada generasi berikutnya.
Catatan untuk dua buku pertama ini, diterbitkan oleh YTPD atau Yayasan Pustaka Thamrin Dahlan, pensiunan melati tiga Polri yang sejak awal berdiri Kompasiana sudah menjadi bagian penulis mula di dalamnya. Kedua buku ini terbit pada Juli 2019.
Belakangan Pak Thamrin menempuh jalur lebih keren dan nyata, yaitu memfasilitasi terbitnya sebuah buku khususnya yang termuat di Kompasiana. "Everyone can publish a book now", begitu kira-kira. Sebelumnya Thamrin Sonata (sama-sama Thamrin ya) dengan Penerbit Peniti-nya juga melakukan upaya yang sama. Salut untuk keduanya!
Tentang konten dua buku pertama, sesuai judulnya, bercerita tentang keragaman kuliner Nusantara yang ditulis oleh para pelakunya. Disebut pelaku, setidak-tidaknya para penulis di dalamnya pernah mempraktikkan makanan yang mereka masak atau paling minim pernah mencicipinya.
Kalau ada kekurangan dari buku ini, yaitu tidak disertakan resep, bahan dan cara membuat makanan yang dibahas, sehingga pembaca tidak bisa mempraktikkannya di rumah, cukup membayangkan sambil meneteskan air liur.
Buku terakhir berjudul "Sang Jurnalis TV, Sebuah Buku Saku" karya Herik Kurniawan, diterbitkan oleh Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) , November 2020 lalu. Penulis yang merupakan praktisi pertelevisian lulusan Fikom Unpad dan bekerja di lingkungan MNC Grup ini memaparkan dengan bahasa sederhana bagaimana seorang jurnalis televisi bekerja.
Hal yang tidak disadari, meski sama-sama tentang jurnalisme, ternyata ada perbedaan yang signifikan dalam cara kerja antara jurnalisme pers cetak/online dengan televisi.
Bagaimana perbedaannya, Herik merincinya dengan langkah-langkah aplikatif, mulai dari mencerna/menangkap isu, mengelolanya, mengembangkannya, melakukan liputan, menulis "script", editing sampai menayangkannya di layar gelas (sekarang layar LED).
Tidak ada buku yang buruk, yang buruk adalah naskah buku yang tidak pernah diterbitkan menjadi sebuah buku.
Selamat berliterasi!
***