Literasi

Batu Ruyud Writing Camp | Tonggak Sejarah dan Jejak-jejak Literasi di Varuna-dvipa/Borneo (16)

Kamis, 4 Agustus 2022, 08:10 WIB
Dibaca 1.100
Batu Ruyud Writing Camp | Tonggak Sejarah dan Jejak-jejak Literasi di Varuna-dvipa/Borneo  (16)
Batu Bertulis di wilayah Kab. Sekadau, Kalbar. Jejak peradaban literasi.

Jika boleh jujur. Banyak di antara kita yang gendang telinganya masih asing mendengar “Varuna-dvipa”. Istilah apa pula ini gerangan? Menjadi judul narasi pula? Tidakkah ini mengada-ada, bahkan mislead?

Setelah mempertimbangkannya lama, dengan kepala dingin, serta mencermati footnotes dan senarai pustaka –terutama pustaka yang membahas era kemaharajaan, feudatori serta pengaruh Hindu-India di Nusantara, maka hati penulis berketetapan untuk dengan sengaja memasukkan alias nama pulau terbesar ketiga dunia itu menjadi judul narasi seperti dapat Anda baca.

Selain agar khalayak tercelik bahwa sebelum Borneo ada nama lain bagi Kalimantan, juga bertujuan untuk “mengikat” dalam satu kesatuan yang utuh: Bagaimana prasasti pertama di Borneo menjadi tonggak sejarah dan bagaimana peradaban dan budaya sukubangsa penghuni aslinya berdinamika dari masa ke masa.

Sebelum masuk lebih jauh ke topik pembahasan, ada baiknya kita berhenti dulu untuk sama-sama menyamakan persepsi. Terutama mengenai tonggak sejarah peradaban suku bangsa penghuni pulau Varuna-dvipa yang terpatri dalam prasasti Yupa.

Menyamakan persepsi, tidak sama sebangun dengan memaksakan opini apalagi kehendak kita kepada orang lain yang mungkin berbeda. Akan tetapi, menyamakan persepsi dapat bisa mulai dari membuat definisi dan membatasi ruang lingkup, agar maksud tidak melebar, bias, dan multitafsir.

Untuk maksud itulah. Kiranya perlu definisikan. Apa yang dimaksudfkan dengan "tonggak sejarah"? Tonggak sejarah literasi adalah suatu tanda, pancang, stik, yang menandai sejarah literasi suatu kaum/ suku bangsa.

Oleh karena term "Dajak" baru pertama dipekenalkan oleh Hogendorp dalam laporannya ke penguasa Hindia Belanda di Negeri Belanda pada 1757, maka Prasasti Yupa di Muara Kaman pada ujung abad ke-4 Masehi, tidak dapat kita sebut "tonggak sejarah Dayak", melainkan "tonggak sejarah literasi Varuna-dvipa (Borneo, Kalimantan).

Sementara "jejak literasi" mentrasi ke suatu tapak, bekas, peninggalan yang menunjukkan adanya pernah ada literasi itu. Tapi ia bukan yang utama dan pertama. Dampaknya, luasan pengaruhnya, makna historis yang menunjukkan isi (di balik) peristiwa itu, kurang.

Demikianlah alasan, mengapa Prasasti Yupa di Muara Kaman  kita sebut sebagai "tonggak sejarah literasi Varuna-dvipa/Borneo/Kalimantan". Sebab ia menjadi tiang pancang peradaban literasi. Selain punya dampak yang luas, bahkan mendunia. Gaungnya membahana ke penjuru dunia bukan saja pada waktu itu, melainkan berabad, bahkan beribu tahun kemudian, serta abadi.

Dalam hal ini, tidak perlu kita bertanya, "Apakah Kudungga (penguasa/ raja lokal yang pastinya indigeneus people of Varuna-dvipa) yang menulis prasasti dengan jemari tangannya sendiri, atau bukan? Apakah sang putra, Mulawarman?". Sebab prasasti ini isinya sebenarnya adalah maklumat dari seorang raja. Suatu eulokuium.

Sebagai raja, Baginda yang mulia tentu punya kuasa. Yang mulia cukup menerapkan "manajemen satu jari": tinggal tunjuk saja pegiat-literasi, untuk menuliskan isi hati, kehendak, dan perbuatan sang raja. Sekaligus sebagai alat untuk mengabadikan apa yang dilakukannya.

Dan apa yang dilakukan Kudungga dan Mulawarman[1] keturunannya, adalah Tonggak Sejarah Literasi di bumi Varuna-dvipa (Borneo, Kalimantan). 

Mengapa demikian? Hal itu karena sebuah permulaan, jadi dapat dikatakan merupakan tonggak. Ada loncatan peradaban, dibanding situasi kondisi peradaban dunia, pada waktu itu.

Tujuh prasasti Batu Yupa yang ditemukan di Muarakaman, di Kutai, memberikan bukti sebuah kerajaan Hindu[2] di Kalimantan Timur.

Selain itu, di mana lagi di wilayah Borneo terdapat peninggalan Hindu-Budha?

Situs Batu Bertulis di Dusun Pait, desa Sebabas, Nanga Mahap. Bukti,  clue sejarah, bahwa tanah Dayak dipengaruhi Hindu-Budha. Sekaligus saksi adanya feudatori imperium Majapahit dari Jawadwipa.

Dalam teks-teks Hindu-India kuna itulah, untuk menyebut nama-nama pulau dan tempat, Borneo/Kalimantan disebut: Varuna-dvipa. Jika demikian, dilihat dari waktu-kronologis (tempus fugit), maka masuk akallah bahwa penundukan, feudatori, atau pengaruh peng-Hinduan-India, di Varuna-dvipa dalam rangka perluasan wilayah dan keagungan kemaharajaan Gupta.

Sementara itu, gambar Brahmana dan Buddha dalam gaya Gupta telah ditemukan di lembah-lembah Kapuas dan sungai-sungai lain di Kalimantan bagian barat. Misalnya, batu lingga (phallus) terdapat di Nanga Balang, Kabupaten Kapuas Hulu.

Di bekas istana Sintang, ditemukan Batu Kundur, sebab bentuknya seperti buah kundur. Sampai pada yang lebih dekat dengan pemukiman orang Ketungau Tesaek kini yaitu Batu Belian –sebongkah batu yang menyerupai manusia, ditemukan dekat batu Kalbut di Sepauk. Ditemukan pula peninggalan batu pahat zaman Hindu-Jawa di kampung Pakit, kecamatan Nanga Mahap, Kabupaten Sanggau.

Ditengarai tulisan dengan aksara Pallawa Cautha. Penyelidikan ini perlu dilanjutkan, sebab ditengarai ada kaitannya dengan batu bersurat yang mirip dengan yang ditemukan di Sei Begawan, Sarawak, Malaysia.

Sayangnya, referensi dan alat bukti sejarah setelah Batu Yupa tidak ditemukan lagi. Kita mengetahui Borneo dari catatan perjalanan serta buku harian para pelancong Eropa dan Amerika. Adapun pengetahuan Eropa modern dan juga kita tentang Borneo berasal dari para pelancong yang melewati Asia Tenggara pada abad ke-14.

Pengunjung Eropa pertama yang tercatat adalah biarawan Fransiskan Odoric dari Pordenone, yang mengunjungi Talamasim dalam perjalanannya dari India ke Cina pada tahun 1330. Portugis, diikuti oleh Spanyol, menjalin hubungan perdagangan di pulau itu pada awal abad ke-16.

Pada awal abad ke-17 monopoli perdagangan Portugis dan Spanyol dipatahkan oleh dominasi Kompeni Hindia Belanda, yang ikut campur dalam urusan kerajaan-kerajaan Islam, berhasil menggantikan pengaruh Mataram dengan pengaruh mereka sendiri.

Para penguasa Borneo di kemudian hari dapat disebut sebagai feudatori kerajaan Majapahit di Jawa Timur (sekitar 1293–1520). Dengan kedatangan Islam pada awal abad ke-16, sejumlah kerajaan Islam didirikan di Borneo, termasuk Banjarmasin, Sambas, Sukadana, dan Landak. Para penguasa Sukadana berutang budi pada kerajaan Mataram Muslim di Jawa.

Sementara itu, Prof. Collins (2017) mencatat bahwa penduduk di Niah itulah yang mewakili migrasi Australo-Melanesia. Klan inilah yang selanjutnya bergerak mengisi Indonesia Timur, Papua dan juga Australia.

Dengan demikian, novum (teri baru) yang kita bangun adalah: bukan penduduk asing yang datang ke Varuna-dvipa (Borneo/Kalimantan) yang kemudian menjadi atau dikatakan "penduduk asli". Melainkan orang dalam, dari sini dan di tempat ini, yang migrasi ke wilayah lain ke luar pulau terbesar ke-3 dunia itu.

Di sini wajib-sejarah (tokoh, setting waktu dan tempat, serta peristiwa) dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Hal sama nanti kita akan lihat pada bagian tersendiri tentang Migrasi Kaum (mensia) Iban.

(Bersambung)

Catatan akhir:
[1] Ditengarai, setelah raja Kudungga yang diketahui penguasa lokal di Muara Kaman dan sekitarnya, putranya Mulawarman sudah dipengaruhi feudatori dari kemaharajaan Gupta. Seperti kita ketahui bahwa Sri Gupta adalah pendiri Dinasti Gupta. Memerintah dari 240 M hingga 280 M. Menggunakan gelar 'Maharaja'. Maharaja terakhir: Wisnugupta. Penguasa terakhir Dinasti Gupta (540 M – 550 M).

Gupta mendirikan kekuasaan dan kemaharajaan atas dataran subur Madhyadesha, juga dikenal sebagai Anuganga (cekungan Gangga tengah), Saketa (UP Ayodhya), Prayag (U.P) dan Magadha (terutama Bihar).

Nah, dalam teks-teks Hindu-India kuna itulah, untuk menyebut nama-nama pulau dan tempat, Borneo/Kalimantan disebut: Varuna-dvipa. Jika demikian, dilihat dari waktu-kronologis (tempus fugit), maka masuk akallah bahwa penundukan, feudatori, atau pengaruh peng-Hinduan-India, di Nusantara dan khususnya Varuna-dvipa dalam rangka perluasan wilayah dan keagungan Gupta.

[2] Pernah seorang Doktor, Dayak, bertanya, "Apa yang menjadi daya tarik orang Hindu-India, sedemikian rupa, sehingga tiba di pulau yang mereka sebut "Varuna-Dvipa?"

Setelah membaca pustaka primer, saya menemukan jawaban:  mula-mulanya karena berdagang. Sementara penyebaran agama (Hindu), bukan tujuan utama, melainkan boleh dibilang sebagai "unintended consequences" dari berdagang itu. Kemudian, karena merasa nyaman, baru menjadi dipengaruhi oleh faktor politik Gupta. Pustaka yang mendukung jawaban itu, dapat membaca:

1) Motilal Banarsidass. t.t. Ancient Indian Traditon & Mytology: The Brahmanda Purana, Part I Vol. 22, hlmn. 150.

2) V. R. Ramachandra Dikshitar· 1993. The Gupta Polity. hlm. 201.