Literasi

Kenapa Guru Diwajibkan Menulis?

Minggu, 17 Januari 2021, 23:54 WIB
Dibaca 432
Kenapa Guru Diwajibkan Menulis?
sumber: https://majalah1000guru.net/wp-content/uploads/Ed61-pendidikan-0.jpg

Guru wajib menulis? Setidaknya, itu yang dirasakan saat ini. Dan perasaan itu begitu menyesakkan. Musababnya, banyak guru tidak punya dasar menulis. Namun, kini para guru wajib menulis, meski mulai dengan tertatih-tatih. Apa pasal?

Setelah terbitnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, hal itu menjadi angin segar yang berhembus didalam mewujudkan guru sebagai sebuah profesi. Sebagai sebuah profesi, guru wajib dilindungi oleh Undang-Undang dalam menjalankan tugasnya. Sehingga ada kejelasan antara hak dan kewajiban guru dalam keprofesionalannya. Ironisnya, Undang-Undang ini lahir baru di tahun 2005 yang jauh muda dibandingkan dengan lahirnya Undang-Undang tentang perlindungan terhadap hewan-hewan langka yang ada di Indonesia.

Dalam hakikat Undang-Undang ini yang tercantum dalam Bab 1, Pasal 1, pengertian guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan menengah.

Namun, seiring perkembangan waktu, ada satu lagi tugas yang dibebankan kepada guru yang tidak relevan dengan Undang-Undang yang dimaksud yakni guru diberikan kewajiban untuk menjadi penulis dan peneliti.

Sebagaimana yang sudah diterapkan dalam kenaikan pangkat/golongan guru pada tahun 2015 maka kenaikan pangkat/golongan guru wajib memiliki poin yang diambil dari Karya Tulis Ilmiah (Penelitian Tindakan Kelas dan lain sebagainya).

Kondisi yang sebenarnya sudah aman dan nyaman bagi guru karena sudah ada dalam bingkai konstitusi, malah diberikan beban yang belum jelas secara konstitusional karena Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 ini seharusnya direvisi terlebih dahulu.

Sebagai contoh, anggap saja seorang guru yang bernama Anton akan mengajukan kenaikan pangkat dari golongan III/c ke III/d, maka pak Anton wajib mengumpulkan 6 poin dari Karya Tulis Ilmiah. Satu Karya Tulis Ilmiah akan dinilai 2 poin, itu berarti pak Anton harus menulis 3 buah karya tulis.

Untuk sementara waktu memang sudah ada guru yang sudah berhasil naik pangkat dengan kriteria seperti itu, namun tidak sedikit juga guru yang belum mampu naik pangkat dengan kondisi demikian. Nah, apakah hal itu juga tidak menimbul ekses di lapangan? Seperti halnya kebijakan, pasti ada dampak positif dan negatifnya.

Baca Juga: Menulis Cerita di Kepala

Positifnya, tentu guru semakin profesional dengan mampu menulis Karya Ilmiah. Namun dampak mudaratnya adalah dengan menulis dan meneliti maka guru akan kehilangan fokus dalam mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi sebagaimana yang tertuang dalam Udang-Undang tersebut.

Di saat menulis dan meneliti maka guru sibuk menyiapkan perangkat-perangkat penelitian, menulis desain, mencari referensi, membuat kuesioner, mengambil data, mengolah data, seminar outline, sampai pada penerbitan Karya Tulis Ilmiah dalam jurnal.

Berbagai aktivitas itu menyita waktu guru yang seharusnya mengajar sehingga dalam implementasinya, ketika guru membuat karya tulis, maka tugas guru yang seharusnya masuk kelas tersebut akan diserahkan kepada asisten guru, seperti kondisi seorang dosen di Perguruan Tinggi yang memiliki asisten.

Atau jika tidak mempunyai asisten maka metode CBSA (Catat Buku Sampai Abis) menjadi menu pilihan guru yang sedang menulis dan meneliti, yakni murid mencatat, gurunya sibuk mengolah data di depan laptop. Atau mungkin juga gurunya jarang masuk kelas karena disibukkan seminar atau konsultasi ke pembimbing penulisan. Itulah fakta dari penambahan aktivitas guru sebagai penulis dan peneliti yang tidak mungkin dihindarkan lagi. Ada aktivitas berarti ada kesibukan demikian hukum yang berlaku.

Baca Juga: Trik Jitu Ketika Semangat Menulis Mulai Mengendur

Harapan memang tidak seindah kenyataan. Terkadang apa yang baik dalam rancangan tidak sama baiknya di lapangan. Ketakutan saya sebagai praktisi pendidikan yang langsung merasakan kondisi ril di lapangan adalah bahwa pada akhirnya nanti guru hanya mengejar kredit poin dalam menulis dan meneliti untuk kenaikan pangkat semata dan akan tercerabut dari hakikatnya sebagai guru profesional sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 ini.

Apakah tidak sebaiknya menulis dan meneliti adalah tugas para dosen di tingkat Pendidikan Tinggi saja? Guru di pendidikan dasar dan menengah tetap “wajib” menulis dan meneliti, tetapi porsinya disesuaikan dengan kondisi lapangan. Hal itu mengingat untuk saat ini kemampuan menulis (dan meneliti) guru-guru pada umumnya masih minim.

Mereka perlu dilatih dan diberikan ruang untuk belajar dan belajar. Salah satunya, belajar keterampilan menulis karya ilmiah. Sayangnya, hingga saat ini, jarang ada kesempatan bagi guru belajar gratis menulis!

 Fidelis Saputra, Kepala SMP Negeri di sebuah pelosok Kalimantan Barat.

***