Literasi

Tren Buku Bacaan Anak Indonesia

Minggu, 16 Mei 2021, 09:45 WIB
Dibaca 622
Tren Buku Bacaan Anak Indonesia
Panduan menulis dan menerbitkan buku nonteks pelajaran.

Artikel Tina Lie "Cerita untuk Anak Pedalaman" di web ini. Seperti kembali menggali ingatan saya. Yang lama terpendam.

Sejak 2006. Saya telah bergiat di dunia literasi. Aktif sebagai mentor. Juga juri Sayembara yang diadakan Pusat Perbukuan Kementerian P & K.

Tak terbilang. Berapa kali saya menjadi mentor bagi guru-guru di Indonesia. Dari Bengkulu. Hingga Palu. Dari Sabang hingga Merauke.

Untungnya. Sekali saya pernah bercengkerama dengan para guru dan penulis di tanah kelahiran: Pontianak. Saya menyukai. Sekaligus menikmati pelatihan di kota khatulistiwa.

Jika Sayembara. Nama penulis dihapus Panitia. Tapi saya mafhum. Dari setting cerita, tulisan itu dari orang-orang Bumi Khatulistiwa. Mustahil ada juri yang benar-benar netral. Pasti membawa pula unsur subjektif.

Saya senantiasa memberi nilai tinggi bagi peserta dari Kalimantan. Kata saya berargumen, "Jangan dibandingkan Jawa dan Kalimantan. Angka itu abstrak. Meta-data. Yang kita ukur dari peserta adalah potensinya menjadi.  Lagi pula, Sayembara ini bernilai edukasi: merangsang, sekaligus menggali potensi menulis dari berbagai belahan negeri."

Ada juga penulis dari luar Jawa yang menang Sayembara menulis. Termasuk dari Kalimantan. Bukan berarti karena saya memberi nilai tinggi. Sebab masih ada juri lain.

Kembali ke "laptop".

Tahun 2016. Saya diminta secara khusus oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Untuk menyusun panduan khusus menulis Buku Non-teks Pelajaran.

Tidak tanggung-tanggung. Saya diuji 3 profesor di bidang: bahasa-sastra, pendidikan, dan hukum. Saya mempertanggungawabkan materi buku itu. Tak ubahnya seorang mahasiswa mempertahankan tesis di depan penguji. Ada pakar bidang agama dan etika juga. Waktu itu, saya belum bergelar Master of Arts (M.A.). Tapi pede saja di hadapan para penguji. Meski sempat juga akan ngambek. Untung ada seorang perempuan membujuk.

Pengalaman yang sungguh menarik. Panduan itu milik Negara. Saya tidak boleh menggandakannya sembarangan. Kecuali untuk materi pelatihan dan pendidikan bagi para calon pengarang dan penulis.

Begitu kesepakatannya.

Sudah tentu. Namanya buku panduan. Ia memandu. Seperti kompas. Jangan sampai salah jalan. Acuan dasarnya jelas. Dari sisi hukum, psikologi perkembangan, nilai, dan berbagai aspek. Selain mengacu pada peraturan dan perundang-undangan.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 8 Tahun 2016 Pasal 1 Ayat (2) isinya masih luas dan belum secara rinci menjelaskan buku nonteks pelajaran. Namun, dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 2 Tahun 2008 isinya cukup rinci mendeskripsikan tentang hal tersebut. Di mana di dalamnya menyebutkan tiga (3) jenis buku
Nonteks Pelajaran, yaitu pada Bab I Pasal 1 sebagai berikut.

Ayat (4), “Buku Panduan Pendidik adalah buku yang memuat prinsip,
prosedur, deskripsi materi pokok, dan model pembelajaran untuk digunakan
oleh para pendidik.”
• Ayat (5), “Buku Pengayaan adalah buku yang memuat materi yang dapat
memperkaya buku teks pendidikan dasar, menengah, dan perguruan tinggi.”
• Ayat (6), “Buku Referensi adalah buku yang isi dan penyajiannya dapat digunakan untuk memperoleh informasi tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya secara dalam dan luas.”

***

Buku bacaan anak Indonesia di mana tempatnya?

Tak syak. Ia berada pada lingkup ayat 5 dan ayat 6 Permendiknas) Nomor 2 Tahun 2008.

Dilihat dari tema, tidak bergeser dari masa ke masa. Petualangan dan fantasi masih mendominasi. Namun, produk lokal makin tergerus. Sekolah-sekolah internasional menggunakan produk terbitan luar negeri. Bagaimana tren buku anak Indonesia?

Buku bacaan anak, sebenarnya, bukanlah genre. Tetapi segmen. Dengan “anak” dimaksudkan anak kecil usia 1-6 tahun dan anak besar usia 6-12 tahun. Sepanjang musim. Buku untuk segmen ini tidak pernah surut.

Tak mengherankan. Banyak penerbit di tanah air terjun ke segmen ini. Data Ikapi menunjukkan, market share buku anak adalah 22.64% dari sekitar 30 ribu judul buku per tahun yang terbit di Indonesia.

Pada awal mula. Buku bacaan anak-anak yang banyak beredar adalah serial detektif cilik terjemahan. Misalnya, karya Enid Blyton (Sapta Siaga, Lima Sekawan, dan Pasukan Mau Tahu) .

Buku cerita semacam itu laku keras. Antara lain karena tampil tepat waktunya, muncul saat anak-anak Indonesia memang memerlukan buku-buku fantasi yang mengandung petualangan, sekaligus hiburan.

Baru kemudian hari. Cerita seperti itu "diikuti" oleh pangarang Indonesia, seperti Dwianto Setyawan dengan serial buku detektifnya Terlibat di Bromo, Terlibat di Trowulan, dan Sersan Grung-grung.

Itulah, antara lain faktor penyebab mengapa Dwianto Setyawan amat lengket di hati anak-anak Indonesia.

Di samping "mendompleng" keberhasilan buku-buku terjemahan yang memang telah mengondisikan suasana. Jika diamati. Buku-buku Dwianto rata-rata menghibur anak-anak.

Di sini menjadi genap peribahasa, "poetae sunt morum doctores" (pujangga, pengarang, penulis adalah guru moral). Bahwa karya sastra yang baik mengandung dua aspek sekaligus: dulce (indah, menghibur) dan utile (berguna). Sebagaimana diamanatkan pujangga Romawi, Horatius.

Selain menghibur. Diharapkan buku bacaan anak juga mendorong untuk berprestasi. Inilah yang oleh psikolog sosial Dr. David McClleland disebut sebagai salah satu ciri buku yang baik. Yakni buku yang mengandung dan memacu sikap dan tindak untuk berprestasi (the need for achievement –N-Ach).

Bahkan tidak hanya itu! Dwianto punya kelebihan lain. Selain mengaduk-aduk fantasi anak-anak, hampir di semua bukunya ia sertai dengan kelengkapan data dan informasi mengenai suatu tempat (objek) yang ia angkat menjadi setting peristiwa.

Terlibat Bromo, misalnya. Mas Dwi lengkapi dengan informasi komplet tentang kehidupan suku Tengger, upacara kasodo, dan asal usul terjadi Kawah Bromo. (Saya sungguh mengenal Dwianto, semenjak di Batu. Ia kawan, sekaligus guru menulis saya. Mas Dwi, bila kita berjumpa dan berbincang lagi tentang buku anak?

Selain memperoleh hiburan, anak-anak juga mendapat pengetahuan baru melalui buku yang dibacanya. Dalam sebuah buku, anak menemukan banyak hal berguna. Tentu saja, yang begini ini tidak bisa didapat dari buku-buku impor.

Karena itu, tak pelak lagi, Dwianto mungkin salah satu dari sedikitnya jumlah pengarang Indonesia yang punya minat khusus pada cerita anak. Ia menulis buku melulu dari mengutak-atik fantasi dan dunia anak.

Dan untuk menghasilkan buku itu, ia melakukan sesuatu yang tidak umum di buat oleh pengarang yang lain. Ia membaca sejumlah buku, datang melakukan riset ke lokasi.

Untuk serial cerita detektif Terlibat di Trowulan, misalnya. Diciptakannya tokoh laki-laki dan perempuan berumur 12 tahun. Mengapa 12 tahun? Karena sasaran pembacanya adalah anak-anak SD, anak kurang lebih sebaya dengan tokoh.

Di sana berlaku rumusan, “people likes to read about people”. Orang menyukai kisah tentang sesuatu menyangkut diri dan dunianya. Dan faktor kedekatan inilah yang menjadi jembatan penghubung antara buku dan pembaca (pembeli). Rumusan yang juga sama dengan bagaimana memilih sajian untuk surat kabar dan majalah.

Pergeseran
Setelah sukses dengan buku-buku fiksi anak yang mengambil setting di negeri sendiri, memasuki tahun 1990-an, selera anak-anak "bergeser" ke Negeri Sakura. Buku terjemahan dari Jepang, hampir seluruhnya komik, menjadi sebuah tren yang fenomenal.

Tidak penting, apakah pergeseran itu distrategikan (dikondisikan baik dengan iklan maupun dengan promosi) ataupun bukan. Yang jelas, hikmah yang bisa dipetik dari sana ialah bahwa konsumen bisa digiring masuk ke dalam sebuah skenario tertentu. Bahwa pasar dapat diciptakan untuk mengonsumsi sebuah produk tertentu. Untuk itu, ada ilmunya. Ada kiatnya. Dan trik seperti itu, dinamakan “ilmu marketing”.

Berawal dari serial Candy-Candy. Kini jutaan anak Indonesia berpaling ke Jepang. Tidak hanya anak-anak, mahasiswa pun masih membawa dan membaca komik terjemahan dari Jepang. Tayakan kepada anak-anak. "Apakah mereka mengenal siapakah Candy?"

Mereka pasti tahu jawabnya. Sebab Candy adalah tokoh idola mereka.

Candy-candy adalah karangan Yumiko Igarasi dan Kyoko Mizuki (dari bahasa Jepang). Inti ceritanya mengisahkan tentang petualangan Candy. Pada suatu hari, Candy diadopsi oleh keluarga Legan yang kaya, tetapi Candy tidak diangkat seperti Anny. Teman akrabnya ini tidak mau mengenal Candy setelah diadopsi keluarga Brightson. Candy diangkat sebagai pembantu untuk Neil dan Eliza.

Di tengah kesedihan, Candy berjumpa dengan Anthony yang mirip dengan pangeran, si pesolek Archie, dan Stea yang jenius. Ketiga pemuda itu selalu menemani Candy dalam suka maupun dalam duka. Dan Candy pun pergi ke Chicago….

Setelah sukses dengan Candy-candy (PT. Elex Media Komputindo) menyusul Akira, buku serial bacaan anak-anak yang bercerita mengenai dunia impian masa depan. Tahun 2030, saat dunia baru pulih dari Perang Dunia III, kejadian-kejadian berkembang di Tokyo. Pelacakan terhadap seseorang berwajah keriput, bertenaga telekinetik mahadasyat dengan tanda 26 pada telapak tangannya. Dia yang menguasai petunjuk terhadap sesuatu yang sangat berharga dan menakutkan, dikenal dengan nama "Akira", dengan dua orang pengikutnya, yaitu Kay dan pemuda Ryu.

Secara akal sehat, pandangan ke dua dekade ke depan itu Secara akal sehat merupakan sesuatu yang mustahil. Itulah yang dalam ilmu sastra disebut sebagai “fantasi modern”. Bahkan, ada yang menggolongkannya sebagai fiksi ilmiah (science fiction).

Namun, bukan berarti bacaan yang tidak mendatangkan manfaat. Sebelum Neil Armstrong, si manusia pertama mengginjakkan kaki di bulan. Sudah ada sebelumnya cerita fiksi mengenai manusia pergi ke bulan.

Belakangan, anak-anak pun tampak akrab dengan buku cerita bergambar. Mereka menyukai Cinderela, Putri Oyayu, Putri Tidur, Songokuu, Danau Angsa, atau Alibaba. Anak-anak juga menyukai buku cerita dalam negeri.

Kemasannya tidak saja seindah buku-buku terjemahan. Tapi juga penyajiannya (teknik penulisannya) tidak kalah memikat dibanding buku anak terbitan luar.

Lihat saja buku yang mengambil setting dalam negeri karya Ani Sekarningsih atau Murti Bunanta yang berkisah tentang suku Asmat dan anak Maluku.

Bahkan, karya Murti Bunanta, Si Bungsu Katak (The Youngest Frog) dicetak hard cover, kertas isi art paper, dan full color. Karya yang tidak kalah bermutu dibanding buku terjemahan. Tidak salah kalau Dewan Buku untuk Anak-anak Internasional Polandia menganugerahkan dan mennjunjung The Youngest Frog sebagai karya yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan mempererat tali kemanusiaan.

Dan kepada penulisnya, Murti Bunanta, dikalungkan anugerah “Janusz Korezak”.

Buku-buku karya Murti boleh dikatakan “model” untuk dapat dikembangkan secara lebih kreatif menjadi buku berkelas internasional ke depan.


Tren
Lalu bagaimana produk dalam negeri? Harus tampil lebih baik lagi!

Masih tetap prospek, dengan catatan, insan perbukuan mafhum selera pasar dan cedik bagaimana masuk ceruk pasar. Buku anak yang dari dulu, kini, dan masih akan laku ialah jenis buku bacaan, informasi, pengayaan bidang studi, hiburan, dan buku penuntun.

Jadi, sebenarnya buku dalam negeri dapat bersaing dengan buku terjemahan. Asalkan, insan perbukuan (penerbit-pengarang) tahu trik-triknya.

Ada banyak peluang buku bacaan anak. Masih banyak ruang kosong untuk diisi. Penerbit dan pengarang perlu memperhatikan bahwa di masa yang akan datang diperlukan buku bacaan yang menunjang Kurikulum sesuai dengan semangat Permendikbud No. 8 Tahun 2016. Semangat itu, antara lain:
- menumbuhkan sikap positif,
- memberikan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan anak untuk hidup bermasyarakat,
- mempersiapkan peserta didik agar memenuhi persyartan untuk mengikuti pendidikan berikutnya, yakni sekolah lanjutan.

Tren adalah adalah kecenderungan yang akan datang. Saat ini, di negeri kita, sekolah-sekolah internasional cenderung menggunakan buku terbitan luar negeri. Hal itu karena buku-buku asing dianggap lebih bermutu dari segala  hal. Bukan saja isinnya, juga penulisan, cara penyajian, dan mutu bahan baku dan cetaknya.

Meski demikian, temanya kurang lebih sama. Yakni menumbuhkembangkan nilai-nilai, edukatif, selain bermuatan hiburan.

Jika ingin bersaing, insan perbukuan di negeri kita pun wajib minimal menyajikan buku sekelas yang digunakan di sekolah-sekolah internasional dimaksud.

Ke depan, akan banyak dibutuhkan buku yang dapat merangsang imanjinasi dan kreativitas anak, buku yang menumbuhkan sikap percaya diri serta menyibak cakrawala anak seluas-luasnya.

Sedangkan dari segi teknis, buku anak diharapkan dapat dijangkau oleh anak sesuai  kemampuannya, isinya baik dan positif sesuai dengan kurikulum, ditulis sesuai kaidah bahasa Indonesia, pewarnaan yang baik, dan merangsang minat anak untuk membaca.

Dan di atas semuanya itu. Hendaknya buku anak tidak hanya menghibur, tapi juga berguna. Jika dapat menggabungkan keduanya. Niscaya buku anak di negeri kita akan sanggup keluar dari kutukan lama “oplah tiga ribu”. Lalu menembus tiras jutaan.

Bila, ya? ***

Tags : literasi