Literasi

Muhibah Literasi Labuan Bajo, Memanfaatkan Otoritas Editor

Senin, 11 Maret 2024, 09:24 WIB
Dibaca 433
Muhibah Literasi Labuan Bajo, Memanfaatkan Otoritas Editor

Pepih Nugraha

Penulis senior

Bukan persoalan mudah berliterasi dengan para frater bergelar doktor dan sejumlah profesor yang rata-rata sudah setaraf filsuf. Mereka rata-rata khatam ilmu filsafat, khususnya teologi, salah satu cabang filsafat yang mengulik tentang agama. 

Mengapa tidak mudah, sebab mereka akan mempersoalkan secara tajam dan menukik bahkan untuk penggunaan satu kata saja. Misalnya, apakah "Karya Sukarno" atau "Karya-karya Sukarno" untuk judul buku yang disusun Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), yang semoga bisa terbit di bulan Juni 2024 ini. Belum menyangkut "makna" cover buku, mengapa harus ada judul kecil dan seterusnya.

Memasuki pembahasan konten, saat dilakukan di Bali, Bekasi maupun Jakarta, di antara penulis saling mengkritisi tulisan masing-masing tentang Hermeneutika Sukarno dalam bentuk tonil, korespondensi, dan pidato selama pengasingan di Ende. Tugas editor yang diberikan kepada saya dan Aris Heru Utomo adalah mendengar, menyimak dan mencatat dialektika para penulis berkaliber "berat" ini.

Saat menyelesaikan sentuhan akhir dan sinkronisasi di Labuan Bajo, NTT, nyaris terjebak dalam diskusi berkepanjangan hanya perkara judul dan judul kecil saja, padahal dalam pertemuan-pertemuan sebelumnya sudah disepakati. Beruntung Pak Aris, salah satu deputi di BPIP mengingatkan bahwa persoalan judul telah selesai dan tidak perlu dibahas lagi.

Persoalan krusial lain adalah menempatkan tulisan mana yang layak dijadikan Prolog dan Epilog. Ada dua penulis bergelar profesor, yakni Prof Asvi Warman Adam dari LIPI dan Prof Amin Abdullah, anggota Déwan Pembina BPIP dan Guru Besar UN Sunan Kalijaga. Untuk Prof Yudian Wahyudi, Kepala BPIP cukup aman karena di posisi kata sambutan. 

Ada perbedaan krusial antara Prolog dan Epilog. Prolog pembuka buku, sedangkan Epilog penutup buku. Ada anggapan Prolog "lebih "berharga" dan "lebih terhormat" karena ditempatkan di awal. "Kalau Epilog jangan-jangan orang tidak sampai tamat membaca buku ini," demikian alasan yang mengemuka. Diskusi mana tulisan Prolog dan Epilog dua profesor itu berllangsung cukup alot sampai kemudian saya diberi kesempatan oleh moderator, Pak Bona, untuk berbicara.

Dalam kesempatan ini, saya ingin mengemukakan pandangan dari sisi editor buku. Saya pejamkan mata sejenak bahwa saya sedang menjadi "hakim" untuk menentukan mana yang pas untuk Prolog dan mana yang layak untuk Epilog. 

Malam sebelumnya di kamar hotel Sylvia, saya membaca tiga tulisan profesor sekaligus dan segera mempraktikkan ilmu hermeneutika yang saya miliki. Saya sampai kepada kesimpulan bahwa tulisan Prof Asvi sebaiknya ditempatkan sebagai Prolog dan tulisan Prof Amin sebagai Epilog. Terasa pahit memang, tapi editor buku harus punya otoritas sendiri dan domain ini tidak bisa diintervensi.

"Ini bukan persoalan 'sense' atau anggapan bahwa Prolog lebih terhormat dibanding Epilog karena penempatannya di akhir buku," kata saya, "lebih karena konten dan narasi yang dibangun sudah sangat jelas di mata editor."

Saya lihat Prof Amin yang ingin tulisannya ditempatkan sebagai Prolog agak terkejut, tetapi ia seorang yang bijak dan menerima pandangan saya selaku editor. Saya katakan, "Tulisan Prof Asvi benar-benar menjadi pengantar dan karenanya lebih 'light', sedang tulisan prof Amin lebih mendalam sehingga bernuansa tinjauan holistik." 

Jika tulisan Prof Amin ditempatkan sebagai Prolog, ada "bahaya"-nya di mana orang tidak meneruskan membaca ke inti buku karena sudah habis dibahas di Prolog. "Sedang jika tulisan Prof Asvi ditempatkan di Epilog akan jadi antiklimaks berhubung dalam tulisan itu dikutip pendapat para penulis yang ada di buku sehingga memang lebih pas untuk Prolog," kata saya.

Belakangan argumen saya diperkuat oleh Pak Aris yang meminta Pros Asvi menulis semacam pembuka alias Prolog itu, sehingga domain editor lebih terjaga lagi. Di forum literasi Labuan Bajo itu prof Amin dapat memahami argumen saya dan untuk sementara dapat menerimanya.

Demikianlah, selaku editor saya punya otoritas untuk menentukan sisi estetika, kelayakan penempatan dan lain-lain, bukan semata-mata urusan "typo" atau logika berbahasa. 

Lebih dari itu, editor tidak boleh gentar menghadapi para penulis berilmu tinggi (profesor) sepanjang argumen yang saya kemukakan kuat dan berdasar. Artinya, editor juga harus mumpuni dalam memahami pikiran para penulis tentang hermeneutika.

Labuan Bajo, 9 Maret 2024