Festival Penulis di Kaltara, Mengapa Tidak?
Membaca artikel Dodi Mawardi berjudul “Menggagas Borneo Writer’s Festival di Kalimantan Utara”, (YTPrayeh.com, 26 April 2021) saya langsung bersemangat mengatakan “Setuju!” dan tak mampu mengelak untuk menulis tanggapan ini.
Dalam artikel itu disebutkan bahwa gagasan ini sudah muncul bayang-bayangnya sejak 2014, namun sayangnya sampai pandemi Covid-19 menjelang, gagasan tersebut belum sempat terealisasikan. Terus terang, saya belum pernah berkunjung ke Kalimantan Utara sehingga saya tidak akan berkomentar mengenai lokasi-lokasi yang disebut layak jadi tempat penyelenggaraan. Namun, membayangkan deskripsinya saja saya sudah sangat tidak sabar untuk hadir bila kelak kegiatan literasi itu terlaksana.
Berbagai agenda kegiatan literasi di dalam dan luar negeri pernah saya ikuti, baik sebagai pengunjung, peserta, maupun pembicara—tentu saja termasuk sejumlah festival penulis di Indonesia: Ubud Writers and Readers Festival (Bali), Makassar International Writers Festival (Sulawesi Selatan), dan Borobudur Writers and Cultural Festival (Jawa Tengah).
Bagi para pencinta dunia literasi, kegiatan-kegiatan semacam itu tak pernah terasa kering untuk didatangi. Apalagi, bila dari tahun ke tahun penyelenggaraannya selalu memunculkan kebaruan-kebaruan.
Beberapa tahun lalu ketika mengunjungi Makassar International Writers Festival, dan berkesempatan berbincang singkat dengan penggagasnya, Lily Yulianti Farid, saya sangat terkesan dengan ceritanya mengawali kegiatan tersebut secara independen, mewujudkan gagasan kecilnya hingga MIWF menjadi ajang sastra dan budaya terkemuka di Indonesia, bahkan menjadi salah satu festival penulis yang dirujuk oleh Frankfurt Book Fair dan meraih penghargaan International Excellence Award sebagai festival sastra terbaik 2020 dari London Book Fair. Intinya, ia mulai saja gagasannya itu, meski hanya bermula sebagai sebuah kegiatan kecil. Bahwa setiap tahun ada inovasi-inovasi, itu adalah sesuatu hal yang tak terelakkan.
Agenda kegiatan yang ada dalam festival penulis kurang lebih sama, yaitu serangkaian panel diskusi, workshop, petunjukan dan pembacaan karya sastra, serta forum terbuka. Agenda tersebut paling tidak bisa menjadi semacam kerangka acuan bila hendak menciptakan kegiatan sejenis. Terkait dengan gagasan Dodi Mawardi, bila di Kalimantan Utara dihelat kegiatan serupa maka harapan utamanya adalah munculnya geliat literasi yang cukup signifikan di masyarakat Kalimantan Utara. Perkara siapa penulis dalam negeri atau luar negeri yang akan diundang, bisa disesuaikan dengan tema yang diusung tiap tahunnya. Tentu saja, porsi terbesar diberikan kepada penulis-penulis lokal sebagaimana disebutkan dalam tulisan itu.
Mengenai usulan nama kegiatan “Borneo Writer’s Festival” tentu menarik untuk dipertimbangkan. Namun, bila memang lokasinya akan difokuskan di sepanjang tepian Sungai Kayan, langsung saja menukik pada nama ikon “Kayan”, sebagaimana “Borobudur” pada Borobudur Writers and Cultural Festival atau “Ubud” pada Ubud Writers and Readers Festival.
Pekerjaan rumahnya sekarang adalah menentukan konsep kegiatan literasi ini akan seperti apa. Cukup meniru festival-festival penulis yang sudah ada atau melahirkan suatu konsep baru yang membawa ciri khas Kaltara?
Sayangnya memang, bila gagasan ini hendak direalisasikan saat ini dan ke depannya tentu harus melalui penyesuaian-penyesuaian sejumlah protokol pasca-pandemi. Jadi, menurut saya tidak masalah sekecil apa pun langkah yang diambil, itu sudah lebih baik, ketimbang gagasan bernas ini hanya berhenti sebatas angan yang sewaktu-waktu dapat sirna tersapu oleh embusan angin. Mulai saja dengan satu kegiatan skala lokal tetapi berharap gaungnya internasional.
Untuk itu, menutup tanggapan singkat ini, saya kutip dan garisbawahi bagian akhir tulisan Dodi Mawardi: “Saya sudah memvisualisasikan festival penulis ini. Membayangkan warga Kalimantan Utara berduyun-duyun berdiskusi bersama para penulis nasional serta mancanegara dalam ajang intelektual. Mereka pantas berbangga karena juga punya karya yang ditampilkan. Karya yang dibahas oleh para pakar nasional dan internasional. Semua itu terjadi di tepian Sungai Kayan yang indah, sejak pagi hingga malam, dihiasi sinar mentari yang bergerak pelan sampai ke peraduannya di tepian seberang Sungai Kayan.”
Mari segera wujudkan!