Transformasi Pembelajaran di Daerah
Judul: Kisah Transformasi Pembelajaran di Daerah
Penulis: Fasilitator Daerah dan Pendidik INOVASI
Tahun Terbit: 2023
Penerbit: Program Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI)
Tebal: xvi + 283
ISBN:
Pandemi covid-19 tiba-tiba saja datang. Anak-anak tidak bisa masuk sekolah. Guru-guru juga tak pergi ke sekolah. Semua aktifitas harus dilakukan dari rumah. Tak boleh ada kerumunan. Apalagi pertemuan.
Dalam situasi yang serba kacau tersebut guru-guru, kepala sekolah, pengawas dan staf Dinas Pendidikan dituntut untuk terus melakukan proses belajar mengajar, mesti harus dilakukan tanpa tatap muka. Sulit? Tentu saja. Lelah? Sudah pasti. Frustasi? Kadang-kadang.
Ketika pandemi telah mereda, dan siswa sudah diijinkan untuk kembali ke kelas untuk belajar, masalah yang dihadapi belum selesai. Anak-anak yang sebelum pandemi kelihatannya sudah mempunyai kecakapan tertentu, tiba-tiba kecakapan tersebut menurun atau bahkan menghilang. Belum lagi guru-guru yang mengajar di kelas 1 yang belum pernah bertemu dengan para muridnya.
Buku ini adalah kesaksian dari para guru, kepala sekolah, pengawas dan staf Dinas dan relawan/pegiat Taman Bacaan Masyarakat (TBM) tentang bagaimana mereka berjuang mendampingi anak-anak di masa pandemi dan di masa pemulihan belajar paska pandemi. Ada 55 guru, kepala sekolah, pengawas, staf Dinas dan pegiat TBM yang menuliskan pengalamannya dan terhimpun dalam buku ini.
Buku ini disusun dengan baik. Bagian 1 menghimpun tulisan-tulisan para guru. Bagian 2 berisi tulisan para kepala sekolah. Bagian 3 adalah kesaksian para Kepala Dinas Pendidikan dan pejabat Dinas Pendidikan. Sedangkan bagian 4 adalah tulisan-tulisan tentang partisipasi masyarakat dan komunitas. Dengan pengelompokan seperti di atas maka pembaca menjadi lebih mudah untuk memahami transformasi pembelajaran yang terjadi di berbagai kelompok.
Dari buku ini saya menemukan beberapa kunci sukses sehingga mereka berhasil menanggulangi learning loss dan memulihkan kemampuan belajar siswa setelah covid-19 mereda.
Kunci pertama adalah tentu saja cinta para insan pendidikan ini kepada para siswanya. Rasa cinta kepada para siswa itu ditunjukkan dengan upaya-upaya yang tak mengenal lelah mencari cara untuk membelajarkan anak-anak yang tak lagi bisa masuk kelas. Ali Harsoyo, guru kelas 5 SDN Pejagalan 2 Sumenep menerapkan hybrid learning (hal. 3). Abdul Wahid, Kepala Sekolah SDN 010 Malinau Kota melakukan adaptasi pembelajaran (hal. 141). Jafar Sidik, Kepala Dinas Pendidikan Tana Tidung menginstruksikan kepada sekolah dan guru untuk mencari anak-anak yang menghilang dari proses belajar (hal. 223).
Kunci kedua adalah kebijakan Kemdikbudristek untuk menyederhanakan kurikulum. Pada bulan Agustus 2020, Kemdikbudristek menganjurkan sekolah-sekolah untuk menggunakan Kurikulum Darurat. Kurikulum Darurat adalah Kurikulum Tahun 2013 (K-13) yang disederhanakan sehingga hanya kompetensi esensial saja yang diajarkan. Dinas-dinas pendidikan dan sekolah-sekolah yang membuat kebijakan untuk memilih kurikulum ini hasilnya lebih baik daripada tetap mempertahankan K-13 yang cukup berat diimplementasikan di masa pandemi. Birrul Asrori dan Heppi Rahat dari SDN 005 Malinau Barat memberi kesaksian bagaimana menerapkan Kurikulum Darurat yang memberi hasil bagi siswanya (hal. 19).
Kunci ketiga adalah perubahan cara mengajar yang menyesuaikan dengan kemampuan siswa. Istilah kerennya Teaching at the Right Level (TaRL). Para guru tidak memberi materi yang sama kepada semua siswa di kelasnya. Mereka memberikan materi sesuai dengan kesiapan siswa. Dalam hal literasi dasar, misalnya. Anak yang baru mengenal huruf diberi materi bagaimana mengucapkan suku kata. Sedangkan anak yang sudah bisa membaca kata didorong untuk bisa lancar membaca dan memahami bahan bacaannya. Karena TaRL adalah hal baru, maka para guru berjibaku belajar melakukan asesmen dan membuat materi ajar yang disesuaikan. Irma Dwi Astuti Guru Kelas 2 Madrasah Ibtidiyah Muhammadiyah 16 Lamongan menceritakan bagaimana asesmen dan penyesuaian materi ajar yang dilakukan membuat siswa tertangani sesuai kondisi (hal. 38). Demikian juga dengan Sumarlin Guru Kelas 2 SDN2 Suradadi Lombok Timur (hal. 117).
Kunci keempat adalah adanya keterlibatan masyarakat, khususnya para pegiat di Taman Bacaan Masyarakat dan relawan yang ikut turun membantu sekolah. Dedy Apriansyah dari Malinau (hal. 260) dan Dewi Rohaini dari Lombok Timur (hal. 268) menuliskan pengalamannya mendampingi anak-anak belajar di masa pandemi dan masa pemulihan.
Nama-nama penulis yang saya cantumkan di atas hanyalah sebagai contoh saja. Masih banyak tulisan dari penulis lain yang tak kalah kualitasnya dalam membagikan pengalaman mereka.
Pengalaman-pengalaman yang terdapat dalam buku ini tentu saja tidak hanya berguna di masa pandemi atau paska pandemi saja. Banyak pengalaman yang sangat relevan untuk diikuti atau diadaptasi di masa depan. Kurikulum yang sederhana misalnya. Dengan kurikulum yang sederhana dan fokus kepada kompetensi penting yang dibutuhkan di masa depan maka proses belajar menjadi lebih ringan tetapi fokus. Kurikulum yang fokus pada kompetensi yang dibutuhkan di masa depan harus tetap dipertahankan sebagai kebijakan. Pengalaman TRaL terbukti sangat membantu anak-anak untuk mencapai kompetensi yang diharapkan. Dengan TRaL tak ada anak yang ditinggalkan demi ketuntasan kurikulum. Keberanian untuk menerapkan kebijakan yang adaptif di level Dinas juga tak lapuk paska pandemi. 762