Literasi

Legawa Saat Menerima Kritik

Senin, 10 Januari 2022, 12:43 WIB
Dibaca 590
Legawa Saat Menerima Kritik
Kritik (Foto: kelas bicara)

Pepih Nugraha

Penulis senior

Banyak di antara kita, para penulis, yang belum siap menerima kritikan, entah itu yang datangnya dari teman sendiri atau orang yang memang disebut “kritikus” dalam berbagai level. Sebagian besar penulis biasanya hanya siap menerima pujian. Pujian yang mampu melambungkan sukmanya ke langit ketujuh, tetapi sekaligus juga sering melenakannya.  

Di media yang lebih modern dan interaktif, internet, ada penulis yang alergi terhadap kritikan dalam bentuk komentar. Sebagian waktunya terkuras hanya untuk menghapus komentar-komentar atas tulisannya yang bernada kritik. Alhasil, hanya komentar puja-puji saja yang tampil. Ini tentu kurang sehat.

Bagaimana cara menghadapi para pengeritik hasil karya kita yang kurang mengenakan dan terasa menjengkelkan? Saya kira, proporsional sajalah. Tidak terlalu mencela balik pengeritik, seakan-akan para pengeritik itu bisanya mencela dan menghina karya. Tapi juga jangan menghapis kritikannya, sebab tentulah mereka berniat baik dengan meluangkan waktu untuk memberi penilaian. Sama proporsionalnya kalau kita, sebagai penulis, menerima pujian.

Kita berterima kasih atas pujian, tetapi juga harus memelihara kritikan. Dalam pujian sering tidak ada masukan apa-apa. Berbeda dengan kritikan, pasti ada pandangan berbeda yang memperkaya bobot penulisan. 

Satu kata kunci dimana kita tidak boleh terlena terhadap pujian dan marah kepada kritikan, adalah dengan melihat reaksi pembaca saja.

Kalau pembaca bisa mencerna dan menikmati tulisan kita, berarti tulisan kita dianggap mencerahkan dan karenanya bermanfaat. Maka cukup bagi kita menilai bahwa tulisan kita berhasil. 

WS Rendra kurang peduli terhadap pengeritiknya, tetapi ia lebih menakar rasa dan emosi penikmat sajak-sajaknya. Baginya, pembaca/penonton adalah “kritikus” paling jujur. Novelis Ahmad Tohari pernah marah besar di Horison, kalau saya tidak salah baca, hanya karena proses biologi saat menjelaskan “prilaku” satu jenis tanaman dalam Ronggeng Dukuh Paruk, dikuliti seorang pengeritik secara tidak proporsional. 

Mana yang harus kita pegang saat menerima kritik sekaligus juga menerima pujian? Ya itu tadi, proporsional sajalah. Sebelum menutup paparan singkat ini, baiknya simak pendapat novelis Titis Basino PI. “Jangan terlalu mengagungkan publik,” katanya, “Sebab pengarang akan kecewa saat pembaca itu mencela tulisannya.” Sebaliknya jangan terlalu berharap pujian dari pembaca, yang semakin ditunggu, katanya, hanya akan menghasilkan suara kelinci yang hanya menguik kecil.

Tetapi saya punya cara sendiri untuk meredam kritik pedas kritikus dan mengendalikan pujian selangit pembaca: terus menulis dan menulis terus. Itu saja.

***