Literasi

Memoar Politik YTP: Sebuah Pelajaran dari Anak Kampung

Minggu, 6 Maret 2022, 13:23 WIB
Dibaca 721
Memoar Politik YTP: Sebuah Pelajaran dari Anak Kampung
buku mengkihantai keputusan sendiri

Penulis : Dr. Yansen T.P., M.Si.

Catakan : Pertama, 2022

Penerbit : Buku Kompas

Tebal : xlvi + 402 (448 hal.)

ISBN : 978-623-346-374-4

 

Saya beruntung mendapatkan buku karya Dr. Yansen TP, Memoar Politik: Menghianati Keputusan Sendiri langsung dari penulisnya.

Sesaat menerima, membaca judulnya rasa penasaran datang menghampiri. Apa isinya. Tidak sabar membuka dan melihat sekilas daftar isinya. Sesampai di penginapan dari rumah keluarga di Tanjung, saya fokuskan pikiran saya untuk membaca prolognya dan Bab I. Tidak terasa, malam sudah larut. Jam menunjukkan pukul 2 lewat. Tanda pagi datang menjemput mentari pagi. Membacanya, pikiran saya hanyut bagaikan terbawa arus sungai tanpa ombak atau giram.

Keesokan harinya, saya alpa membacanya. karena kesibukan kongko2 saja. Biasa penikmat kopi. Saat dalam perjalanan pulang dari Tanjung-Tarakan dan Nunukan, saya menghabiskan sebagian waktu dalam perjalanan untuk membaca. Saya memang komit, buku harus selesai saya baca sebelum tiba di Nunukan. Saya tidak mau gagal lagi. Banyak buku tidak paripurna saya baca karena menunda, karena gagal mengelola dan memanagemen waktu yang baik dan benar. Tapi kali ini lagi-lagi saya gagal. Rasa ngantuk efek obat alpara dan dexamatazone membuat komitmen tidak tercapai. Obat flu. Saya tidak fit. Lanjutan membacapun tertunda2 di Nunukan. Baru tuntas saya baca tadi malam setiba di rumah dari perjalanan panjang via darat Malinau-Nunukan. Jadilah saya menulis siang ini.

Bagi penikmat ilmu kepemimpinan dan politik, membaca buku ini sangat nikmat senikmat kopi bagi para pecandu kopi. Entahlah pembaca yang lain. Mungkin saja berbeda sesuai sudut pandang dan tempat berdiri. Tapi bagi saya, yang sama-sama anak kampung, politisi, ada banyak rasa, dimensi dan nilai yang bernilai tinggi. Menunjukkan kualitas, dimensi, luasan/kedalaman pengetahuan, wawasan dan pandangan serta posisi politik penulisnya sebagai warga negara sekaligus pemimpin daerah. Dari zero to hero. Luar biasa.

 

Jujur, selama ini, saya sendiri banyak belajar dari beliau tentang politik, kepemimpinan, spiritualitas dan pentingnya mengembangkan kualitas diri yang baik dan benar. Membaca buku beliau ini, memperkuat keyakinan saya akan semua yang saya lihat dan dengar tentang beliau. Buku beliau ini, seperti judulnya memoar politik, tentu saja mengambarkan atau memotret pandangan, kualitas diri dan kepemimpinan beliau sendiri. Tapi bagi pembaca, buku ini menggambarkan kualitas apa yang harus dimiliki oleh setiap orang atau seorang pemimpin publik.

 SPIRITUALITAS

Pada saat kampanye Pilgub lalu, seorang kakak sepupu menyela saya demikian: kata seorang pendeta senior, saya ini seorang pendeta, tapi “Pak YTP ini, lebih pendeta dari pendeta”. Saya kira, apa yang dikatakan oleh pak pendeta ini, tidaklah berlebihan. Dari Bab I sampai dengan Bab VII, saya membaca bagaimana pak YTP membangun komunikasi dan dialog yang intens dan totalitas dengan Tuhan. Dari narasi dan bangunan paragraf dari bab ke bab, tidak ada keputusan besar dalam hidup beliau tanpa “intervensi” sang pemilik semesta alam ini. Sangat jelas tergambar, ada totalitas penyerahan diri kepada Tuhan untuk sampai pada sebuah keputusan penting.

Kualitas spritual atau keimanan beliau sangat tinggi. Ini tergambar dari pilihan dan frasa atau kalimat dialog keimanan beliau kepada Tuhan dalam menyikapi setiap dinamika dan pergolakan batin beliau untuk sampai pada sebuah keputusan besar atau penting dalam hidup. Bahwa seorang pemimpin sudah dipersiapkan sejak dalam kandungan. Tentu saja ada faktor2 lain dan beliau yakini “diciptakan” oleh Ilahi yang kemudian mendorong, melengkapi dan menyempurnakan rencanaNya dalam kehidupan setiap orang.

Pada bagian akhir Prolog, beliau mengatakan: “saya merupakan pribadi yang tidak suka menawarkan diri utk sesuatu hal, termasuk untuk sebuah kesempatan, peluang atau bahkan suatu jabatan.... batin saya berseru, hanya Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi. Feeling saya mengatakan, dibalik sesuatu, pasti ada sesuatu. Berkarya saja, saatnya akan terjawab”.

Dari keseluruhan narasi dari bab awal sampai terakhir, saya berkesimpulan bahwa kualitas spritual yang beliau miliki bukan sebatas pengetahuan saja, yang dalam ilmu kepribadian disebut spiritual inteligent (SQ) tetapi beliau benar-benar mengamalkan dan mempraktekkan iman yang beliau miliki. Totalitas hidup yang meliputi kata/ucap, tindakan dan karya adalah bagian dari praktek keimanan beliau.

PENDIDIKAN DAN WAWASAN

Beliau punya keyakinan yang diturunkan dari orang tua yang notabene seorang pendidik, bahwa pendidikan merupakan sarana untuk tahu, sarana untuk mengenali dunia. Bahkan pada bab II beliau menyebutnya alm. ayahnya bersama pak SBY sebagai model dan mentor politik.

Keyakinan beliau soal pendidikan sebagai sarana utama yang dapat merubah hidup dan masa depan seseorang sudah selesai. Keyakinan sangat kuat. Ini juga merupakan titah alm. ayah beliau --- titah atau amanat yang pada saat itu tidak beliau pahami maksudnya: “sekolah tinggi-tinggi”. Amanat ini yang kemudian menuntun beliau untuk menemukan jalannya sendiri. Jalan menuju kesuksesan “yang sudah direncanakan sejak dalam kandungan”.

Medio tahun 97, saya membaca buku Paolo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas yang saya beli di pasar loak Senen. Tempat yg sangat terkenal di kalangan mahasiswa kantong tipis. Buku bajakan dan murah. Rata2 harga di bawah 50-an ribu. Dan sebagian besar buku-buku koleksi pribadi, saya beli di situ. Saat itu, karena aktif-aktifnya dalam pergerakan mahasiswa, saya sangat gandrung buku-buku kiri dan kanan. Mulai dari Karl Max, Hegel, Antonio Gramcy, Naom Chomsky, Julian Benda, Plato, Edward Said, Soekarno, Tan Malaka, Arief Budiman, Gus Dur, Soe Hok Gie, dll.

 Menurut Paolo Freire, tujuan pendidikan adalah membebaskan diri dari keterbelengguan. Membuat diri mengenali dunia sekitar yang membelenggu tindakan dan pikiran. Saya kemudian ingat, beliau berpesan kepada saya dan juga dalam banyak kesempatan yang lain, saya mendengar pesan yang sama disampaikan beliau. “Kita harus banyak tahu. Lebih banyak tahu dari orang lain. Kalau kita sdh tahu, laksanakan, wujudkan”. Pesan yang sangat dalam dan luas. Pesan yang memberi amanat agar terus memperluas pengetahuan dan memperdalam ilmu. Saya yakin, karena beliau tahu, merasakan manfaat pendidikan, maka beliau memberi amanat dan titah untuk memilih jalan tersebut sebagai pintu menjemput dan meraih mimpi.

Membaca bab demi bab, saya mendapatkan dan merasakan kedalaman dan luasan pengetahuan beliau. Banyak dimensi lintas disiplin keilmuan tertulis dan tidak dalam tulisan beliau. Sangat kaya!

Semua kita tahu, minat literasi beliau sangat tinggi untuk ukuran seorang kepala daerah yang super-sibuk dengan agenda kedinasan. Kalau akademisi atau ilmuan, sangat lumrah. Memang makanan dan kerjanya. Tidak banyak kepala daerah yang hobi membaca dan menulis. Dari informasi om google, hanya ada 2 saja kepala daerah di Indonesia mempunyai minat literasi tinggi: YTP dari Malinau dan Soekirman dari Sumatra Utara. 

Banyak pemimpin sekaligus pemikir besar di dunia ini menjadi terkenal pada jamannya dan beberapa generasi kemudian karena buah pikiran dan karya mereka yang dituangkan dalam tulisan atau buku. Mereka mengambarkan diri dan jejak pikiran serta karya mereka melalui karya tulisan yang kemudian menjadi panutan dan melahirkan pengikut lintas generasi.

Sebut saja Soekarno, Hatta, George Washington, Vladimir Ilyich Ulyanov (Lenin), Thomas Jefferson, dll.  Pak Dr. Yansen TP sedang melakukan hal tersebut. Meninggalkan jejak original dan abadi sebagai seorang pemimpin daerah yang sukses dengan program Gerdema. Seorang anak kampung yang menapak karir dari bawah sampai puncak. Meninggalkan buah pikiran, konsep dan model pembangunan sebagai warisan bangsa dan negara ini. Warisan bagi generasi baru yg akan datang. Harusnya semua pemimpin daerah dan nasional melakukannya.

Pada bagian yang lain, beliau menjelaskan bahwa “kualitas SDM, emosional dan spritual yang dimiliki seorang pemimpin tergambar dari cara atau pola mencernai dan menyikapi setiap peristiwa yang dihadapi dan mengambil keputusan. Sebuah keputusan tepat dan baik adalah ungkapan kejujuran, sebab kejujuran menyatakan kebenaran. Itulah sesungguhnya keutamaan dan kekuatan seorang pemimpin.”

LEADERSHIP

“Mulai dari hal-hal kecil. Tidak menawar atau mencari kesempatan. Berbuat atau berkarya terbaik saja: kesempatan akan datang dengan sendiri pada masanya”, demikian pak YTP mengambar model dan tahapan kepemimpinan dirinya. Sebuah prinsip yang tidak dimiliki kebanyakan pemimpin politik dewasa ini. Kebanyakan pemimpin “diciptakan dan dijadikan” menjelang Pilkada. Tapi beliau benar-benar the real leader. Menciptakan model atau contoh untuk mendapatkan pengikut. Banyak pemimpin berlaku sebaliknya, mereka mengikuti gerakan pengikutnya.

Mekanisme pengambilan keputusan merupakan salah satu contoh kepemimpinan beliau yang jarang dimiliki oleh pemimpin lain. Tidak hanya tercermin dalam birokrasi atau pemerintahan, tetapi juga dalam keluarga. Melibatkan dan mendengar masukan orang-orang sekitar. Dalam keluarga misalnya, semua keputusan besar --- termasuk keputusan untuk menghianati keputusan sendiri terkait maju atau tidak sebagai calon Wakil Gubernur Kaltara. Padahal secara pribadi, jauh-jauh hari sudah memutuskan untuk istirahat dari pemerintah dan politik.

Tidak ada keputusan mutlak dari beliau sendiri. Semua diputuskan setelah mendengar masukan masyarakat dan pada akhirnya masukan dari keluarga terdekat: istri, anak-anak, orang tua dan saudara. Beliau benar-benar menganut prinsip check and balances dalam memimpin. “Tidak ada orang terbaik dan terpercaya yang kita miliki selain diri kita sendiri, istri, anak-anak, orang tua dan saudara kita”, ungkap beliau pada suatu kesempatan ketika menjelaskan latar belakang dan alasan maju sebagai calon Wakil Gubernur Kaltara.

NEGARAWAN         

Pada saat kampanye Pilgub lalu, di sela2 istitahat dari kampanye, saya ngobrol-ngobrol dengan salah satu pembantu beliau di Tarakan. Halaman parkir sebuah hotel. Pak Sukri, demikian kami menyapanya. Maaf, suku Bugis (kalau tidak salah) dan muslim. “Saya sudah puluhan tahun ikut kk Yansen. Saya dan keluarga bisa naik haji dan umbroh, karena beliau. Beliau  yang biayai. Saya pernah beberapa kali dimarahi kk Yansen kalau tidak sholat”, sahut pak Sukri ketika saya bertanya sudah berapa lama ikut bersama Pak Yansen. Dari sapaan “kak” pak Sukri kepada Pak Yansen, saya sudah tahu sejauh mana hubungan emosional antara mereka. Seperti kk dan adik.

Dan pada kesempatan yang lain, masa kampanye Pilgib juga, saya juga mendapat cerita dari salah satu tokoh agama di Malinau, tokoh Muslim. Beliau menceritakan bagaimana Pak Yansen mengayomi semua agama di Malinau. “Saat pelaksanaan MTQ tingkat Propinsi, dimana Kab. Malinau sebagai tuan rumah beberapa tahun lalu, sebagai Bupati saat itu, kami didukung penuh oleh beliau. Selama saya mengikuti MTQ di wilayah Kaltim dan Kaltara, pelaksaaan di Malinau paling baik. Dukungan dana dari Pemerintah Daerah cukup. Boleh dikatakan paling mewah”.  

Banyak teman berkata, saat ketemu Pak Yansen, jangan coba-coba datang dan menceritakan hal negatif tentang orang lain. Pasti disela atau disanggah oleh beliau. Bukan didukung, malah kita “dimarahi” atau dinasehati oleh beliau. Saya sendiripun beberapa kali melihat atau mendengar beliau menyanggah atau memotong percakapan yang demikian. 

Dari 2 penggalan testimoni di atas, saya ingin mengarisbawahi bahwa sebagai seorang pemimpin, beliau menanamkan nilai, memberikan teladan kepada masyarakat, kepada pengikutnya atau kepada orang lain. Perbedaan suku, agama, golongan dan budaya bukanlah halangan atau hambatan untuk berbuat baik. Perbedaan adalah kekayaan bangsa Indonesia yang harus dirawat dan dijaga. Negara kita disebut Indonesia karena keragamanan, bhinneka tunggal ika. Dan atas keyakinan itulah, beliau melahirkan tagline “Kaltara Rumah Kita” pada Pilgub lalu. Suatu penagasan sikap bahwa Kaltara hatus menjadi rumah yang harmoni bagi semua suku, agama, golongan dan budaya. Dari manapun asalnya, apapun suku dan agamanya, kalau sudah tinggal di Kaltara, maka inilah rumahnya, demikian suatu kali beliau berucap.

“Sebagai Wakil Gubernur Kaltara, pendamping Pak Zainal Paliwang, apapun keadaan, apapun kata orang di luar sana, ibarat mengarungi laut, sebesar apapun ombak, tugas saya hari ini dan ke depan adalah membantu Pak Gubernur untuk memastikan pada akhir masa jabatan kami kapal sampai di dermaga dengan selamat”, demikian komitmen dan keteguhan sikap beliau merespons seorang warga Tarakan yang menyampaikan keluh-kesahnya beberapa waktu lalu. Saat itu paska pelantikan Pengurus Partai Demokrat. Kami berada di sebuh Cafe milik seorang teman malam harinya. Atas gunung di Tarakan. Sekalipun ada suara musik sayup-sayup menambah nikmatnya rasa kopi, tetapi suara atau kata-kata beliau terdengar jernih dan terekam baik sampai sekarang di kepala saya.

Kalimat beliau di atas mencermin kualitas ketokohan dan kenegarawan beliau. Sikap yang menempatkan kepentingan rakyat Kaltara di atas kepentingan serba-serbi politik pribadi maupun golongan.

Demikianlah upaya memahat kata, merangkai kalimat untuk memaknai dan mendapatkan makna sesuatu dari suatu peristiwa dari Sudut Mata GK🌱🤝🙏

 ***

#SM-GK/2/3/2022🌱