Literasi

Dua Ekstrem dalam Menulis| Hindarilah!

Senin, 10 Mei 2021, 10:32 WIB
Dibaca 399
Dua Ekstrem dalam Menulis| Hindarilah!
Hindari 2 ekstrem dalam menulis. (Ist.)

Dua ekstrem dalam menulis. Hindarilah! Maka Anda menjadi penulis produktif. Sekaligus profesional.

Dalam hidup. Kita senantiasa berjumpa dengan dua kutub. Atau ekstrem yang berlawanan satu sama lain. Misalnya: siang dan malam. Terang dan gelap. Basah dan kering. Hitam dan putih. Baik dan buruk. Yin dan yang. Dan sebagainya.

Ekstrem kadang menyeret kita ke dalam tindakan untuk melakukan sesuatu dengan sangat bersemangat. Atau sebaliknya, sama sekali tidak bergairah melakukan sesuatu. Ogah-ogahan. Cenderung menunda dan menunda. Hingga sama sekali nihil hasil. Kecenderungan seperti ini, dapat terjadi dalam dunia tulis-menulis.

"Sapientia stat in medio". Kebijaksanaan ada di tengah-tengah dua ekstrem. Nah, jika ingin produksif sekaligus profesional menjadi penulis. Hindari dua ekstrem itu. Terlalu takut dan terlalu berani mengutip.

Ada orang yang terlalu bersemangat menulis, sehingga apa saja ditulisnya. Ia mengambil sumber dari mana saja, tanpa diolah sedemikian rupa, sesuai dengan etika kepenulisan pada umumnya. Tidak jujur menyebutkan sumber. Memetik khasanah di luar gagasan orisinalnya lebih dari 10%. Sebaliknya. Ada juga orang yang karena takut dianggap plagiat. Sehingga tidak berani menulis apalagi mempublikasikan karyanya.

Dua ektrem di atas, harus sama-sama dihindari dalam menulis. Main hantam krama dan tidak menaati etika menulis, akan menyeret seseorang ke dalam tuduhan dan tindak plagiat. Sekali nama tercemar, selamanya tidak ada yang percaya. Reputasi sebagai penulis benar-benar hancur, manakala seseorang tidak jujur dengan sumber dan melakukan tindak plagiat.

Sementara takut menulis dan mempublikasikan karya tulis karena terlalu berhati-hati dan takut dituduh plagiat, akan mengerdilkan seseorang. Ia tidak pernah akan dikenal luas karena gagasan-gagasannya tidak pernah tersebar secara luas dan dinikmati oleh umum.

Kedua ektrem di atas, bukan tidak dapat dijembatani. Caranya, dengan tetap berhati-hati dan jujur menyebutkan sumber, sembari terus-menerus mendalami referensi dan memerkaya informasi dari luar. Terus-menerus melakukan invensi, sambil tetap kreatif melakukan modifikasi, menambah, mengurangi, memberikan penjelasan, serta menjelaskan dengan contoh.

Tidak perlu takut dituduh plagiat, namun tetap berhati-hati dan jujur pada sumber, adalah sintesis yang pas untuk kedua ekstrem di atas.

Sejujurnya, gagasan orisinal seorang penulis dalam suatu wacana (dapat wacana pendek dan dapat pula wacana panjang) sering kadarnya tidak sebanyak referensi yang dikutipnya. Bahkan, sebuah tulisan sering cukup hanya memaparkan data saja. Data adalah something given. Data ada di mana-mana. Supaya punya makna, data harus dikumpulkan, dikategorikan, dan ditafsirkan. Jika data yang something given itu belum dikategorikan dan dikumpulkan, ia milik publik. Namun, jika sudah ada yang menumpulkan dan mengkaetegorikannya, ia punya hak milik intelektual.

Contoh. Pasir dan batu. Terserak di mana-mana. Ada di sungai. Ada di gunung. Jika sudah ada yang mengumpulkannya, mengakategorikannya, menaruhnya di matrial; sudah ada yang punya. Begitu juga data!

Boleh dikatakan bahwa data ada level terendah dari ilmu pengetahuan.

Level yang kedua adalah informasi.

Sementara level yang ketiga ialah knowledge.

Dalam proses kreatif menulis, entah karya populer, ilmiah-poluler, dan ilmiah; ketiga level di atas kerap jelas-tegas, namun sering juga merupakan kombinasi. Laporan berita oleh wartawan misalnya, lazimnya berada pada level pertama, yakni penulis berusaha menghidangkan data apa adanya. Dengan menghidangkan data apa adanya, sebenarnya seseorang sudah mengatakan sesuatu, sebab simpulan lazimnya diturunkan dari premis (data) sebelumnya.

Dengan menghidangkan data, seseorang mengatakan sesuatu dengan cara “tidak mengatakan”, dia menunjukkan (show), tidak tell (mengatakan).

Dengan kata lain, “Data is the lowest level of abstraction”. Data adalah level paling rendah dari abstraksi, data menunjukkan realitas. Inilah titik tolak positivisme bahwa ilmu pengetahuan bersumber dari pengalaman dan data (Mikael Dua, 2007). Agaknya, di dalam menulis, seseorang mau tidak mau setuju dengan dan dapat menerapkan pandangan positivisme.

Karena data something given maka kerap di sinilah banyak penulis tergelincir jatuh dalam plagiarisme. Padahal, jika saja tahu bagaimana “bermain-main” dengan data, niscaya tindak plagiat dapat dihindari. Data yang tersebar di mana-mana adalah milik umum, siapa saja dapat memanfaatkannya, asal sesuai dengan etika dan norma kepenulisan.

Level yang pertama dalam abstraksi atau dalam kegiatan ilmiah ialah mengumpulkan dan menyajikan data. Sebagai contoh, permainan scrabble. Dalam permainan scrabble, pemain menyusun kata sepanjang mungkin dengan nilai setinggi mungkin asalkan kata tersebut mempunyai makna. Kata dibentuk dari huruf-huruf yang sudah tersedia (given).

Sebagai something given, satu huruf (datum) tidak punya makna jika tidak diberi makna dengan dan bersama dengan data lain. Dengan demikian, kegiatan mengumpulkan, mengambil, dan menyajikan data sebenarnya sudah memberikan makna pada sesuatu; sekaligus merepresentasikan pengalaman. Kata dan kalimat yang disusun menjadi bermakna adalah penafsiran sekaligus abstraksi atas pengalaman.

Sepatah kata “dingin” misalnya, dibentuk dari huruf “d i n g i n” yang sebelum diambil, dikumpulkan, dan dibentuk menjadi kata yang bermakna maka keenam huruf-huruf tersebut tersebar dalam khasanah permainan scrabble.

Huruf adalah something given. Ketika belum diambil, dikumpulkan, dan diberi makna; huruf-huruf tadi tidak punya makna. Setelah dibentuk dan disajikan, barulah bermakna sekaligus merupakan hasil abstraksi dari pengertian dan pengalaman yang menunjukkan mengenai realitas (suhu).

Pada level yang berikutnya, data dapat diolah menjadi informasi. Agar data menjadi informasi, maka data tersebut haruslah diinterpretasi dan diberikan makna. Misalnya, Gunung Merapi secara umum merupakan “data”. Sebuah buku manual mengenai karakteristik geologis Gunung Merapi dapat disebut sebagai “informasi”. Lalu sebuah buku yang berisi informasi praktis bagaimana sebaiknya secara aman mendaki dan mencapai Gunung Merapi adalah knowledge (pengetahuan).

Dalam proses kreatif menulis, seseorang akan mulai dengan gagasan orisinal. Gagasan orisinal ini merupakan tesis yang dikembangkan dengan mengacu dan menambah dari tesis yang sudah ada. Penulis yang karyanya diacu, juga melakukan hal yang sama dengan kita.

Ada ungkapan bijak, “there is nothing new under the sun” (tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari). Tahukah Anda bahwa penulis hebat sekalipun di dalam menulis juga mengutip dari sumber lain? Bedanya, mereka mengutip temuan, pendapat, dan karya orang lain secara tepat dan jujur dengan pada sumber sesuai dengan etika dan kaidah penulisan.

Para penulis ulung selalu menghindari dua hal ekstrem: terlalu berani dan terlalu takut mengutip sumber luar untuk mendukung gagasan orisinalnya.

Jika ditelisik, inilah asal muasal mengapa terjadi tindak plagiat. Seseorang main hantam krama, mengambil sumber luar, dan terlalu berani mengklaim sebagai hasil karyanya.

Tanpa bermaksud untuk mendakwa seluruh kasus plagiarisme didasari niat jahat dan tidak jujur, ada pula tindak plagiat terjadi akibat ketidaktahuan bagaimana seharusnnya mengutip dan memanfaatkan sumber luar.

Sementara orang yang tidak pernah menghasilkan dan mempublikasikan karyanya. Hal itu kerap berawal dari ketakutan dianggap plagiat. Di samping ketidaktahuan tentang etika dan tata krama dunia penulisan.

Ada ungkapan, "Sapientia stat in medio". Kebijaksanaan ada di tengah-tengah dua ekstrem. Nah, jika ingin produksif sekaligus profesional menjadi penulis. Hindari dua ekstrem itu. Terlalu takut dan terlalu berani mengutip.

Tags : literasi