Literasi

Batu Ruyud Writing Camp |Bukan Sembarang Kam (2)

Jumat, 22 Juli 2022, 08:06 WIB
Dibaca 565
Batu Ruyud Writing Camp |Bukan Sembarang Kam (2)
Penmpakan camp bukan sembarang camp

Bukan ayam sembarang ayam
ayam ini pandai mengais
bukan kam sembarang kam
kam ini buat menulis.....

Ketika SD. Tahun 1975-an. Dari nguping Radio Australia. Yang dipancarluaskan dari Melbourne ke segenap penjuru dunia, yang disetel ayah saya saat subuh jatuh. Kami, anak-anak, tidak boleh mengusik ketenteramannya mendengar siaran berita: Perang Palestina yang membara. Saya ingat, tak alpa, bersamaan dengan itu, disebut: Camp David.

Camp David adalah tempat peristirahatan negara bagi presiden Amerika Serikat. Terletak di perbukitan berhutan Catoctin Mountain Park, di Frederick County, Maryland, dekat kota Thurmont dan Emmitsburg, sekitar 62 mil utara-barat laut dari ibu kota nasional Washington, D.C. Di kam inilah sering bertemu orang penting dunia. Membahas masalah konflik Palestina, yang kita mafhum bersama, tanpa berkesudahan.

Bahasa kita, di kamus, sudah masuk kosakata "kamping". Makna leksikalnya: perkemahan. Maka perkenankan saya, jika menggunakan Indonesia, memadankan "camp" dengan: kam. Hal itu sesuai logika bahasa. Sebab saya cari di kamus tadi, belum masuk senarai kata serapan.

Batu Ruyud. Dan Krayan. Juga dataran tinggi Borneo. Yang kerap disebut "the heart of Borneo", adalah: kawasan yang diciptakan Tuhan dari sepotong Firdaus.

Malam telah larut. Dingin kian membekap tubuh. Saya, yang bodi tak menyimpan persediaan lemak yang banyak, cepat menggigil.

Yansen TP yang tanggap. Sebelumnya, telah memberi saya "mummy sleeping bag" (MSB). Warnanya merah marun. Malam itu. Dari dalam bekapan mummy sleeping bag. Saya menyimak dengkur bersahutan. Ada yang keras. Ada pula yang halus.

Akan halnya saya? Saya kuat dengkurnya. Apalagi jika capek. Anehnya, saya sendiri tidak pernah mendengar sekuat apa dengkur saya, ketika tidur.

Malam patah dan subuh jatuh.
Dasar saya anak kampung. Suka mendengar suara satawa. Bunyi kodok sahut-sahutan dari arah kolam, yang dinaungi pohon main, begitu merdu. Satwa malam di alam terbuka seperti Batu Ruyud sungguh menyihir.

Di malam selarut dan sesunyi itu. Sempat terlintas di benak saya, yang sering liar: Batu Ruyud. Dan Krayan. Juga dataran tinggi Borneo. Yang kerap disebut "the heart of Borneo", adalah: kawasan yang diciptakan Tuhan dari sepotong Firdaus.

Jangan melihat kam Batu Ruyud sebagaima saat ini. Jika melihat batu-batu penjuru telah menggunung, itu suatu proses panjang. Mulanya, di atas onggok tumpukan batu yang menggunung itu. Kata Yansen, "Pertama kali, kami keluarga tidur, makan, minum, mendirikan kemah di situ."

Sebagai tradisi di Batu Ruyud. Siapa pun yang datang ke lokasi ini, harus melakukan tradisi mengambil batu dari sungai untuk diletakkan pada tumpukan batu yang sudah menggunung.
Tradisi ini dilakukan dua kali. Pada saat datang dan saat akan pergi dari lokasi Batu Ruyud. 

Mengapa lambang kebersamaan di kawasan Batu Ruyud ditandai dengan tumpukan batu yang besarnya berbeda-beda? Hal itu menunjukkan bahwa tumpukan batu itu disesuaikan dengan kekuatan atau tenaga orang-orang yang pernah datang ke kawasan ini. Orang yang kuat  membawa batu yang besar dan banyak, sedangkan orang yang kecil membawa batu yang kecil dan sedikit.

Batu yang dipilih dan ukir itu, selanjutnya dibawa dengan usaha sendiri. Dimulai dari batu-batu yang tergeletak begitu saja di pinggir dan di dalam aliran Fe’ Milau. Dipilih dan diangkat, kemudian dibawa menuju tempat penumpukan batu sebagai bukti kehadiran setiap orang yang pernah datang ke Batu Ruyud. Walaupun jarak dari sungai dan tempat penumpukan batu tidak jauh, sekitar 30 meter, tetap saja ada usaha yang harus dikeluarkan untuk itu. 

Jalan dari tepi sungai ke tempat penumpukan batu itu menanjak. Ukuran batu yang dipilih harus besar. Manakala ukuran batu yang dipilih kecil, maka batu tersebut tidak ada artinya. Bisa saja tersisihkan saat ditaruh di penumpukan batu yang lain-lainnya. Akan kalah, malah tenggelam, oleh batu lain yang jauh lebih besar.

Di sungai Milau, yang mengalir jernih tanpa henti dari celah batu pegunungan, Ibnu Jamil mencuci motor yang berkubang lumpur. Juga membasuh dirinya di sealir air, yang kudus suci, belum tercemar tangan jahil manusia.

Permainan, lebih tepatnya pekerjaan, mengangkut batu ini, sekilas tampak sangat sederhana. Namun, sebenarnya tidak sesederhana yang dibayangkan. Di sanalah orang kadang terjebak oleh godaan, hasrat, atau keinginan yang berlebihan. Yang mencerminkan perikehidupan sehari-hari. 

Apa godaan, sekaligus hasrat yang berlebihan itu?

Jangan salah mengira bahwa mengangkut batu ini sederhana. Tidak demikian! Dalam hal ini, teringatlah kita akan filosofi yang sangat terkenal dalam khasanah filsafat, yakni “Batu Sisyphus”. 

Dalam mitologi Yunani kuno.
Syahdan, dikisahkan demikian. Pada suatu hari.  Raja Sisyphus dijatuhi hukuman untuk membawa batu ajaib ke atas bukit. Batu itu begitu sampai di puncak bukit, digelinding lagi ke bawah. Berkali-kali pekerjaan membawa batu dari bawah ke puncak bukit itu dilakukan, sebagai hukuman, hanya untuk bahan olok-olok dan tertawaan.

Pekerjaan itu sia-sia belaka. Membuat lelah dan frustrasi. Ternyata, batu yang mula-mula terasa ringan, makin berjalan lama, kian terasa jadi beban. Semakin lama, dan tinggi mendaki, makin batu itu terasa menjadi beban yang bukan saja melelahkan, namun juga membuat frustasi. Sedemikian rupa, sehingga apa pun pekerjaan yang berkali-kali dilakukan, memberatkan dan menimbulkan frustrasi, disebut: Batu Sisyphus.

Mitos Sisyphus ini, kemudian ditamsilkan sebagai personifikasi absurditas kehidupan manusia.

Nah, di situlah. Dalam konteks Batu Sisyphus. Orang akan menemukan. Bahwa membawa batu dari dalam dan tepi sungai Milau mengandung makna yang dalam. Bukan sekadar mengangkut batu.

Perjuangan membawa batu dari pinggir sungai menuju tumpukan batu bisa kita hubungkan dengan kehidupan, yaitu jika kita berjuang dengan usaha yang kecil maka hasilnya pun juga akan kecil. Namun, jika usaha kita besar maka akan diganjar dengan hasil yang besar juga. Oleh karena itu, jika semakin besar dan berat batu yang kita bawa, maka semakin baik dan semakin berkesan pengalaman kita membawa batu di Batu Ruyud ini.

Kawasan Baru Ruyud terdiri dari beberapa petak sawah, padang (laman) kerbau, hutan rimba, hutan pulung buah, Fe’ (sungai) Milau dan beberapa anak sungai yang belum punya nama. Berdiri sebatang pohon bua’ main di tepi sawah, sebuah pondok yang terdiri dari 4 kamar besar dan dapur tradisional dengan tungku api dan kayu bakar di atasnya, sekaligus ruang makan.

Apakah pesona Batu Ruyud, sehingga orang ibu kota seperti Ibnu Jamil pun datang ke tempat ini? Adakah yang istimewa dari tempat ini, sehingga melahirkan sebuah karya berkelas internasional, sehingga dicatat Museum Rekor Indonesia (MURI)?

Akan halnya Ibnu Jamil. Mengapa bisa tiba di lokus Batu Ruyud? Alkisah, Pagu, salah seorang penjaga kam, mendengar suara pinta yang sangat nyaring membahana membelah belantara. "Tolong, toloooooong!"

Agaknya, Ibnu Jamil. yang "nekad" naik motor melintas Krayan. Terjebak berlama-lama dalam kubangan lumpur. Tak bisa keluar. Untunglah. Di dekat itu, ada bala bantuan segera datang. Sekonyong-konyong mendengar suara minta tolong.

Batu Ruyud ternyata juga telah menyelamatkan nyawa manusia! Dan di sungai Milau, yang mengalir jernih tanpa henti dari celah batu pegunungan, Ibnu Jamil mencuci motor yang berkubang lumpur. Juga membasuh dirinya di sealir air, yang kudus suci, belum tercemar tangan jahil manusia.

Mengapa dari suatu tempat terpencil, dataran tinggi Borneo yang dingin dan jauh dari sinyal ini. Bisa lahir pemikiran besar seperti literasi dan pemikiran “budaya membangun bangsa”?

Hal itu sebenarnya berasal dari pemikiran buah permenungan Yansen TP. Menurutnya, “Bukan tempat yang mengubah kita. Melainkan kitalah yang mengubah tempat. Bahwa pemikiran dan perbuatan besar bisa muncul dari manapun, meski nun jauh di ujung dunia.”
(bersambung)