Literasi

Mengapa Penulis Perlu Belajar Filsafat?

Rabu, 16 Juni 2021, 16:16 WIB
Dibaca 486
Mengapa Penulis Perlu Belajar Filsafat?
Menulis (Foto: qureta.com)

Pepih Nugraha

Penulis senior

Pertanyaan ini sering terlontar di kelas-kelas menulis yang saya sampaikan. Jawaban saya selalu begini, "karena filsafat ibu dari segala ilmu, ia lahir jauh sebelum agama-agama yang dipeluk miliaran manusia di dunia ini ada. Ia preseden, mendahului."

Rupanya jawaban saya sering tidak memuaskan peserta, karenanya saya suka. Dengan menyatakan kurang puas atau kurang mengerti, terbuka peluang untuk mengeksplorasi gagasan lebih dalam. 

Untuk memudahkannya, saya menjelaskan bahwa senjata ilmu filsafat itu hanya tiga, yaitu bertanya, bertanya, dan bertanya! 

Dengan terus bertanya, kedalaman akan sebuah pemahaman akan terus digali sampai ke dasarnya. Istilahnya sampai jawaban atas pertanyaan itu mentok, tidak bisa dijawab lagi.

Nah, istilah "tidak bisa dijawab lagi" itu tidak dikenal dalam filsafat. Setiap pertanyaan pasti tersedia jawaban, bahkan saat mempertanyakan eksistensi tuhan sekalipun. Bayangkan, tuhan yang dalam keyakinan tertentu tidak bisa lagi dipertanyakan (asal-usul maupun keberadaannya), dalam filsafat tidak berlaku. 

Filsafat tidak berhenti karena jawaban pamungkas orang yang malas berdiskusi lebih lanjut, "itu semua karena tuhan, semua yang ada ada karena adanya tuhan."

Benarkah filsafat itu rumit dan susah dipahami? Iya bagi yang belum pernah mencoba membacanya, mengakrabinya. Filsafat bukan milik para filsuf, orang-orang biasa seperti kamu juga bisa berfilsafat kok.

Bedanya, berfilsafat beda dengan membaca buku-buku filsafat. Membaca buku filsafat pada dasarnya membaca pikiran orang.

Lantas, apa perlunya penulis membaca filsafat? Sebab, biar paham karena sesuatu itu, peristiwa maupun fenomena, tidak datang/terjadi "ujug-ujug" atau tiba-tiba, ada jutaan pertanyaan yang memerlukan jawaban dan setiap jawaban atas pertanyaan itu adalah kedalaman. 

Jawaban atas pertanyaan itu lebih banyak dari pertanyaan itu sendiri. Penulis akan kaya gagasan karenanya. Penulis yang malas bertanya (baca: mengikuti cara filsafat), sebaiknya gantung pena atau gantung laptop saja, sebab sudah dapat dipastikan, apa yang kamu tulis itu jenis tulisan yang "ampang", kopong tanpa isi.

Jadi, dekati dan sayangilah ibumu!

Dekati dan sayangilah filsafat, sebab ia ibu dari segala ilmu.

***