Filosofi

Revitalisasi Wawasan Nusantara (1)

Sabtu, 8 Mei 2021, 05:40 WIB
Dibaca 1.562
Revitalisasi Wawasan Nusantara (1)
Peta Kulina Sukatani Cianjur

Dodi Mawardi

Penulis senior

----------------

Saya lahir di lingkungan homogen, bagaimana dengan Anda?

----------------

Saya lahir di suatu desa pelosok Cianjur Jawa Barat. Tak pelosok-pelosok amat sih, karena jarak dari jalan raya Cianjur - Bandung hanya sekitar 5 km saja. Tapi kondisi tahun 1970-an, kawasan itu masih pelosok dan serba kekurangan. Saat itu, Sungai Citarum masih menebarkan aroma mistiknya. Anak sungainya adalah tempat bermain saya pada masa kecil.

Sejak lahir itu, lingkungan di sekitar saya sangat homogen. Sunda dan muslim. Tak ada yang lain. Tidak ada Jawa, Batak, Minang, Bali dan lainnya. Tidak ada juga Kristen, Katolik, apalagi Hindu dan Budha. Sangat homogen. Heterogennya masyarakat hanya bisa dilihat di buku-buku pelajaran yang menyebutkan betapa bhinekanya bangsa ini. Heterogen juga saya ketahui dari lagu Rhoma Irama, si raja dangdut yang digemari oleh ayah saya. Lagunya kerap mengalun nyaris setiap hari mengiringi aktivitas pekerjaan ayah dan timnya sebagai penjahit. Suara musik Rhoma cukup keras mengalahkan bunyi mesin jahit tradisional yang seperti dikayuh kedua kaki.

"135 juta penduduk Indonesia... Terdiri dari banyak suku bangsa itulah Indonesia... Ada Sunda, ada Jawa, Aceh, Padang, Batak, dan banyak lainnya..."

Pada 1970-an itu, jumlah penduduk Indonesia baru sekitar 135 juta orang. Begitu catatan bang Haji Rhoma. Meski kala itu, setiap mendengar lagu tersebut, saya tak terlalu memahaminya. Maklum, masih amat belia.

Beranjak sekolah dasar saya pindah ke Ciawi Bogor. Nyaris sama kondisinya dengan tempat kelahiran saya di Cianjur. Homogen: Sunda dan muslim. Hanya ada satu dua orang Jawa yang merantau sebagai kuli bangunan. Kebetulan ada proyek pembangunan gedung pemerintahan di desa saya. Maka, selama di sekolah dasar pergaulan saya adalah dengan teman se-Sunda dan se-Muslim.

Barulah ketika masuk SMP, homogennya pergaulan saya sedikit berubah. Orang Jawa lebih banyak. Ketemu juga dengan orang Bali. Bukan hanya muslim tapi juga Kristen dan Hindu. Mata dan kepala mulai memikirkan suatu yang berbeda.
"Benarkah kata buku bahwa Indonesia beragam?"

Tetap saja belum bisa dikatakan heterogen karena lingkungan yang berbeda itu hanya segelintir saja. Cara pandang saya terhadap negara Indonesia, masih relatif sama seperti sebelumnya. Indonesia adalah Sunda dan Islam, karena mayoritas lingkungan saya demikian. Cara pandang itu tentu diperkuat oleh nilai-nilai hidup yang menyertainya. Pelajaran toleransi di mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) belum sepenuhnya dipahami. Sebagian besar hanya barisan kata-kata berupa teori.

"Kita harus menghargai perbedaan..."
"Kita harus menghormati agama lain..."
Dan sebagainya.

Sampai SMP itu, sungguh saya belum sepenuhnya sadar dan menyadari bahwa saya hidup di negeri yang penduduknya amat beragam. Berbeda suku, agama, ras, budaya, dan latar belakang lainnya. Saya belum paham beda negeri ini dengan Malaysia, Brunai, Singapura, Filipina, Thailand atau Australia. Negara-negara tetangga yang paling sering disebut di buku-buku atau di TVRI. Saya merasa Indonesia sama saja dengan mereka. Sama-sama negara merdeka dan berdaulat.

Sungguh, cara pandang saya - anak usia belasan - terhadap bangsanya masih selevel itu: Indonesia adalah Sunda dan Islam.

Orang yang berlatar belakang non-Sunda dan non-Islam hanya ngontrak hehe...

Bagaimana dengan Anda?
Apakah Anda dilahirkan di tempat homogen seperti saya atau di lingkungan yang heterogen?
Anda beruntung kalau sejak kecil sudah terbiasa hidup di lingkungan heterogen. Cara pandang Anda pasti berbeda dengan saya pada masa belia.

Keberuntungan saya muncul pada saat memasuki bangku SMA. Saya mengalami shock luar biasa. Bolehlah disebut cultural shock atau nations shock atau gegar yang lainnya. Pada saat itu, sekonyong-konyong saya dihadapkan pada lingkungan baru yang benar-benar heterogen: Indonesia yang sesungguhnya.

(Bersambung)