Filosofi

Siapa Sesungguhnya yang Bermasalah, Anak atau Orangtua?

Minggu, 21 Maret 2021, 09:09 WIB
Dibaca 775
Siapa Sesungguhnya yang Bermasalah, Anak atau Orangtua?
foto: styleable.co.uk

Dodi Mawardi

Penulis senior

Anak kedua saya, sempat dianggap punya masalah di sekolah. Sang guru merasa kesulitan menghadapi ulah anak saya, karena sering tidak konsentrasi dalam belajar, sulit menyelesaikan tugas, dan lebih sering memperhatikan pekerjaan teman-temannya serta tidak pernah mau diam. Sang guru mengatakan kepada istri saya, “Saya kesulitan mengajar anak ibu…”

Pada kesempatan lain, sang guru mengatakan, “Saya tidak mampu mengajar anak ibu.”

Suatu pernyataan dari seorang guru yang kira-kira secara tidak langsung mengatakan, “Anak bapak/ibu bermasalah, dan bukan di sekolah ini tempatnya. Kami tak sanggup lagi mendidik anak bapak/ibu.”

Setelah peristiwa itu, kami mengevaluasi kegiatan sekolah anak tersebut. Kami baru sadar bahwa selama setahun itu, dia tidak suka sekolah. Berkali-kali dia seolah mangkir dari sekolah. Pernah suatu hari, kami dapat laporan dari tetangga, bahwa anak kami tidak berangkat ke sekolah, tapi belok ke tempat lain. Setelah kami cek, anak kami itu berada di tempat yang jaraknya dari sekolah hanya puluhan meter saja, dan dalam kondisi bersedih.

Dia mengatakan, “Aku nggak mau sekolah.”

Ketika ditanyakan kenapa? Dia makin diam, kian bersedih dan air matanya terus bercucuran. Mukanya mengkerut, rautnya kelam.

Sesungguhnya, anak kami adalah anak yang ceria, serta tidak mau diam.  Cerewetnya bisa dikatakan nomor satu di rumah, padahal dia cowok. Kakaknya punya sikap kebalikan, cenderung diam. Ketika masih TK, anak itu juga sangat ceria. Setiap berangkat sekolah selalu gembira, pun ketika pulang. Dia bercerita banyak hal. Dia menikmati masa kanak-kanaknya.

Hal yang kemudian berubah setelah naik level ke kelas 1 SD, dan menghadapi sistem belajar kaku serta tradisional. Kelas yang mengharuskan seorang anak untuk duduk manis mendengarkan perintah guru lalu melaksanakannya. Tidak boleh tidak. Tidak boleh ribut. Tidak boleh cerewet. Tidak boleh banyak bertanya. Tidak boleh banyak bergerak. Banyak tidak bolehnya, selama berada di dalam kelas. Kondisi yang bertolak belakang dengan karakter anak kami.

Kami tentu tidak percaya dengan stigma dari sang guru tersebut. Anak kami adalah anak yang hebat, ceria, gembira, dan menyenangkan. Beruntung, kemudian kami menemukan sekolah yang mengembalikan karakter hebat anak kami. Sekolah ini menerapkan sistem yang berbeda. Mereka mengakui semua anak adalah bintang. Tidak ada anak bodoh, apalagi bermasalah. Semua anak adalah cerdas pada bidangnya masing-masing. Sekolah ini mengakui adanya multiple intellegence pada setiap anak.

Setelah kami pindahkan ke sekolah ini, perkembangan anak kami luar biasa. Dia kembali ceria, kembali cerewet, dan kembali tidak mau diam. Bukan hiperaktif, tapi sangat aktif.

Ketika kami tanyakan kepada guru di kelasnya, apakah anak kami bermasalah?

Jawabannya adalah, “Sama sekali tidak. Anak bapak/ibu baik-baik saja. Anak ini adalah anak yang cerdas!”

Jadi, siapa yang bermasalah sesungguhnya???

Cerita di atas adalah kisah nyata anak kami, yang saya ingat kembali setelah membaca sebuah kisah di laman www.adam-khoo.com “We are All Born With Unique Gifts For a Specific Purpose”. Dikisahkan seorang anak perempuan yang hobinya memainkan kaki, bergerak ke sana kemari, dan tidak pernah bisa diam meski hanya 5 menit saja. Guru di sekolahnya kebingungan menghadapi anak ini, dan menyimpulkan bahwa anak tersebut bermasalah. Guru tersebut memanggil orangtua anak itu dan menyampaikan bahwa kemungkinan anak itu bermasalah.

Akibatnya, orangtua anak perempuan itu merasa sedih dan membawa anaknya ke dokter (psikiater) untuk konsultasi. Apa yang terjadi kemudian? Ketika berada di ruang psikiater, anak perempuan itu tetap tidak mau diam. Dia bergerak ke sana kemari sambil menggerak-gerakkan kakinya.

Dokter itu mengamatinya dengan saksama kemudian menyimpulkan…

“Hei bu… anak ibu sama sekali tidak bermasalah. Dia adalah seorang penari hebat.”

Sang ibu kaget sekali. Kesimpulan psikiater itu di luar dugaannya. Meski setiap hari melihat anaknya sekali bergerak dan berjingkat ke sana ke mari, dia sama sekali tidak berpikir bahwa anak gadisnya itu punya bakat menari.

Mengikuti saran dokter, sang ibu kemudian memasukkan anaknya ke sekolah tari, yang membuat anaknya gembira bukan kepalang. Singkat cerita, anak tersebut kemudian menjadi seorang penari balet ternama, Damme Gillian Lynne (British Ballerina, Theatre Director and Choreographer of World Renowned musical ‘Cats’ and ‘Phantom of the Opera’). Bayangkan apa yang terjadi jika stigma anak bermasalah versi guru tadi dipercaya oleh orangtuanya.

Saya bersyukur, anak kami pun menemukan sekolah yang tepat untuknya. Dia sama sekali tidak bermasalah. Dia hebat. Justru Tuhan menganugerahkan hadiah terindah buatnya berupa karakter khas sebagai kelebihannya untuk menjadi manusia hebat di kemudian hari. Tuhan menciptakan manusia dengan karakter yang berbeda-beda dan punya tujuan khusus. Kitalah yang sering salah dalam menilai, karena keterbatasan ilmu pengetahuan kita.

Jadi, kalau ada yang bilang anak kita bermasalah, jangan pernah percaya. Mungkin kitalah yang bermasalah, karena tidak paham bagaimana mengelola anugerah Tuhan paling indah tersebut.

Penulis adalah ayah dari dua anak lelaki hebat.