Serial Kebangsaan (4) Seni Menyiapkan Kader Penerus
Apa yang salah jika Megawati Soekarnoputri menyiapkan Puan Maharani sebagai anak biologisnya untuk menggantikan posisinya sebagai ketua partai?
Apa yang silap jika Susilo Bambang Yudhoyono menyiapkan Agus Harimurti Yudhoyono sebagai anak biologisnya untuk menggantikan posisinya sebagai ketua partai?
Apa yang keliru jika Surya Paloh menyiapkan Ananda sebagai anak biologisnya untuk menggantikan posisinya sebagai ketua partai?
Salahkah jika para pengusaha besar menyiapkan anak-anaknya untuk menggantikan posisinya kelak sebagai pemilik perusahaan?
Semua narasi di atas bicara tentang kader dan kaderisasi. Mengkader seseorang menjadi penerus lebih ke urusan "seni" dibanding "strategi". Maksudnya, seni lebih luwes dibanding strategi yang terlihat kaku.
Para pemimpin politik dan perusahaan lebih memerankan seni yang sulit ditebak daripada strategi yang sudah jelas ujungnya. Seni tidak ada yang pasti, sesuka suasana hati pribadi-pribadi, sedang strategi melibatkan banyak liyan.
Dalam ranah akademis, kader dan kaderisasi masuk ilmu humaniora yang perkembangannya sesuai zaman, bukan ilmu eksakta yang mutlak-mutlakkan.
Kewajiban para pemimpin, di ranah manapun mereka bekerja, adalah menyiapkan penerusnya. Dalam bahasa organisasi disebut "mengkader" orang-orang yang dipercaya, bukan sekadar memeliki kemampuan.
Dalam batas-batas tertentu, kemampuan menjadi dinomorsekiankan dibanding kedekatan. Seorang pemimpin lebih suka mengkader anaknya meski secara kemampuan belum memadai. Seorang Presiden, lebih memilih orang dekat dan dipercaya, ia bisa tidak peduli dengan orang lain yang lebih mampu.
Subjektivitas jelas bermain di sini, sedang objektivitas lagi-lagi dikebelakangkan. Itulah memilih kader lebih "seni" tinimbang "strategi".
"Faber est suae quesque fortunae", setiap orang, dalam hal ini pemimpin, adalah artis bagi keberuntungannya sendiri. Maka ia tidak akan main-main dengan keberuntungan. Ia ingin lebih patsti daripada sekadar menjadi "Mat Untung", menjadi pemimpin karena keberuntungan belaka.
Padahal, yang seharusnya terjadi adalah, menyiapkan kader karena kemampuannya, bukan sekadar kedekatannya.
Tidaklah salah para pemimpin itu menyiapkan anaknya sebagai kader penerus, tetapi perhatikan juga kemampuannya, kredibilitasnya, cara pandangnya, prestasinya, dedikasinya, tabiatnya, ahlaknya dan seterusnya... meskipun mereka tidak dekat secara geografis, psikologis maupun biologis.
Hari-hari ini Presiden Joko Widodo juga disebutkan dengan upayanya menyiapkan kader presiden yang pas dan pantas untuk menggantikan dirinya. Seorang pengganti presiden yang dijamin mengamankan serta meneruskan program-programnya.
Jokowi paham, ia harus mencari orang yang dipercaya. Tidak harus memiliki kedekatan geografis maupun psikologis, tidak harus anak biologis pula. Seninya adalah bagaimana dia membaca sosok yang mampu dipercaya melanjutkan program-programnya kelak.
"Postera crescam laude", demikian motto sebuah universitas di Melbourne, kita bertumbuh di dalam harga diri generasi masa depan.
Benar antara pemimpin dan penerusnya tidak dapat dipisahkan.
***
Tulisan sebelumnya: Serial Kebangsaan (3) Membendung atau Ikut Gerbong China?