Filosofi

Serial Kebangsaan (3) Membendung atau Ikut Gerbong China?

Sabtu, 9 Juli 2022, 12:23 WIB
Dibaca 376
Serial Kebangsaan (3) Membendung atau Ikut Gerbong China?
OBOR (Foto: China Briefing)

Pepih Nugraha

Penulis senior

Sebelum saya menulis narasi ringan tentang negeri tirai bambu ini, simaklah narasi yang berseliweran di media sosial maupun WhatsApp sebagai berikut:

"Setelah Amerika Serikat tidak lagi mengizinkan siswa China untuk belajar di Amerika Serikat, dan tidak lagi mengizinkan orang China untuk belajar di lembaga penelitian besar di Amerika Serikat, negara berteknologi tinggi dunia, Inggris, juga telah memutuskan untuk tidak lagi mengizinkan Cina untuk mempelajari pengetahuan teknologi tinggi di lembaga penelitian universitas Inggris.

"Hampir 1.000 siswa sekarang telah memasuki Inggris untuk belajar, dan mereka dibatasi untuk meninggalkan Inggris dalam waktu satu bulan, dan mengatakan bahwa setelah mereka dikeluarkan oleh pemerintah AS, Inggris akan membatasi siswa ini untuk memasuki Inggris.

"Secara kebetulan, Jepang juga telah mengumumkan pembatasan ketat terhadap siswa Tiongkok untuk mendaftar di mata pelajaran teknologi tinggi Jepang, mengeluarkan 1.500 siswa Tiongkok yang ada di sekolah, dan siswa Tiongkok yang memiliki catatan penolakan visa dari Amerika Serikat. menolak untuk memberikan orang-orang ini visa masuk.

"Pada saat yang sama, Kementerian Pendidikan Kanada mengumumkan pengusiran 900 siswa Tiongkok; Australia mengeluarkan 2.200 mahasiswa China, Selandia Baru mengeluarkan 1.300 mahasiswa China; Kementerian Pendidikan Prancis dan Jerman mengumumkan bahwa pendaftaran pelajar Tiongkok untuk belajar di luar negeri akan dilakukan sesuai dengan ketentuan tinjauan ketat Amerika Serikat.

"Sejauh ini, lebih dari 80% dari 600.000 siswa China yang ingin mendaftar untuk belajar di luar negeri akan ditolak visanya.Ini adalah peristiwa yang sangat mengerikan terkait dengan rencana pembangunan China ke depan.

"Biden bersumpah untuk mencegah China menjadi lebih kuat dari AS...."

Apa yang Anda baca di atas adalah narasi yang menempatkan China sebagai "common enemy", di luar siapa yang menulis narasi tersebut. Saya bahkan mengatakannya menyudutkan China sebagai "global enemy".

Sesungguhnya saya tidak ada urusan dengan China sebagai negara maupun bangsa, kecuali pernah berkunjung ke Beijing, Shenzhen, Shanghai dan Hongkong, di mana setidak-tidaknya ada ingatan maupun pengalaman batin tersangkut di sana.

Saya ingin melihat dari sisi bagaimana suatu bangsa dibentuk kemudian terbentuk menjadi sosok bangsa yang menakutkan dunia (kalau Anda enggan menyebut "disegani"). 

Sebagai negara, China tahun 1940-1950an adalah negara yang bahkan dilecehkan Jepang, miskin, terbelakang, tak berdaya, berideologi kolot dan rakyat apatis berkredo: "yang penting hari ini bisa makan, besok tinggal besok", sementara negara kapitalis berprinsip, "hari ini makan apa, besok makan siapa".

Akan tetapi, setelah Deng Xiaoping mengangkat China dari lumpur kehinaan dan kemiskinan untuk pertama kali, kemudian mengangkat derajatnya sebagaimana China sekarang ini, mulailah orang berpaling kepada China; mengagumi sekaligus mencemburuinya.

Mari menjelajah waktu ke masa silam bagaimana peradaban China tumbuh dan kuat yang ditunjukkan kokohnya kekaisaran pada masa lalu, juga jejak peradaban yang ditinggalkannya wangsa demi wangsa.

Tembok China hanyalah satu dari sekian ribu jejak peradaban China yang fenomenal, padahal tembok besar yang membentang ribuan kilometer itu sekadar untuk menahan gempuran bangsa Mongolia yang sudah menjadi negara adidaya saat itu, di mana kekuasaan bangsa ini sudah mencapai daratan Eropa, melintas melewati Afghanistan, mengetuk pintu Hongaria sampai berpengaruh kuat di daratan Rusia. China pada masa lalu demikian protektif terhadap tetangganya sendiri, tidak mau melihat bangsa Mongol berkeliaran di halaman belakang negara tirai bambu itu.

Waktu terus berlalu, diaspora China tidak terbendung untuk suatu kondisi yang tidak menyenangkan; terhindar dari sistem komunisme yang menyiksa, maka gelombang eksodus orang-orang China mengempas dunia; mereka ada di seluruh penjuru jagat ini. Tidak ada satu benua tanpa orang China di dalamnya; dari Australia sampai Afrika.

Saya teringat saat "stranded" di Kourou, negara jajahan Perancis yang bertetangga dengan Brasilia di Amérika Selatan, tahun 2005 lalu, di pulau besar tetapi sunyi dan lebih hidup Timika sebagai kota, tidak sulit bagi saya menemukan restoran Chinese Food. Pemiliknya tentu saja orang-orang China yang mengembara ke pulau terpencil di peta dunia ini. 

Kemudian terbentuklah "One China" yang bagi bangsa China, negara di mana pun, di seluruh dunia tetaplah "Satu China" selagi ada orang-orang China di dalamnya. Mereka bangsa yang kuat dari sisi ikatan darah (sanguinis) maupun keluarga (familiaris). Bangsa ini bisa ada di mana-mana di seluruh dunia.

Jika hari-hari ini sejumlah negara berlaku diskriminatif terhadap China, bahkan tumbuh penyakit hati yang dinamakan "Chinophobic", tidaklah mengherankan karena bermuara pada kekhawatiran China bertumbuh sebagai kekuatan baru yang sejatinya sudah terjadi saat ini. 

OBOR (one belt one road) sebagai jalur sutera baru bukan hanya berhenti di jargon belaka, tetap diwujudkan Xi Jinping. Jalur perdagangan darat, laut, udara yang benar-benar menjadi ancaman bagi Amerika maupun Eropa.

Ini soal rebutan pengaruh dan bagaimana menghegemoni pengaruh itu. Amerika selaku berdalih menjaga keseimbangan dunia dengan mendirikan pakta ini pakta itu agar tetap menjadi polisi dunia. China menjungkirbalikkan impian negara-negara kapitalis kuat dunia itu.

China tidak akan berhenti hanya dengan penolakan mahasiswa-mahasiswa berprestasinya di seluruh dunia, yang "mengusir" pulang mereka secara paksa. China adalah negara raksasa yang bisa mengembangkan sumber daya manusianya secara mandiri, tanpa bergantung kepada negara lain. Teknologi tinggi yang dirahasiakan negara-negara Barat sesungguhnya sudah dikembangkan pula di China dengan kemampuan mandirinya yang menyentak dunia.

Inilah yang menakutkan dunia, di mana untuk membendung ekpansi China kemudian dilawan dengan pembatasan demi pembatasan. Percayalah, cara ini tidak akan pernah bisa menghentikan China sebagai bangsa yang terus bergerak.

Apa yang harus kita lakukan sebagai bangsa Indonesia; ikut gerbongnya atau mencegah gerbong itu melaju cepat hanya bermodalkan semangat anti-China sebagaimana yang dilakukan negara-negara Barat?

Mari berpikir agar menjadi paham, melakukan yang terbaik, kemudian mewujudkannya.

Jangan hanya diam.

***

Tulisan Sebelumnya: Serial Kebangsaan (2) Teladan Ahmad Kirang dan Pemimpin di Mata Jusuf Kalla