Serial Kebangsaan (2) Teladan Ahmad Kirang dan Pemimpin di Mata Jusuf Kalla
Bandara Don Muang, Thailand. Dini hari. Kalender sudah bergeser ke tanggal 31 Maret 1981 ketika 30 anggota Kopasandha yang beberapa jam sebelumnya diberangkatkan dari Cijantung (markas Kopassus sekarang) dengan tugas khusus membebaskan penumpang pesawat DC-9 Garuda Woyla yang disandera teroris pimpinan Imran bin Mohammad Zein.
Pesawat berpenumpang 48 orang itu dalam perjalanan Jakarta-Palembang, namun 5 pembajak bersenjata di dalam pesawat itu meminta pilot Herman Rante mengarahkan pesawat ke Penang, Malaysia, untuk mengisi bahan bakar, kemudian Don Muang di Thailand.
Garuda Woyla menjadi penuh drama selama empat hari di tangan pembajak yang meminta tuntutan 80 anggota kelompok teroris Komando Jihad dibebaskan dari tahanan, juga meminta tebusan 1,5 juta dollar AS. Semua mata tertuju ke negeri Gajah Putih itu.
Dinihari menjelang pukul 02.30 waktu Thailand, Capa inf. Ahmad Kirang merupakan salah satu dari 30 anggota Kopasandha (kini Kopassus) yang mengendap-endap dari kegelapan rumput bandara. Pasukan itu berjajar dua baris, sebagaimana terlukis dalam memoar Sintong Panjaitan, membawa tangga aluminium, senjata siap menyalak dan peralatan lainnya.
Ahmad Kirang bertugas menyusup lewat pintu darurat di bagian belakang pesawat yang hanya bisa dibuka secara elektrik, sehingga memerlukan waktu, sedang anggota Kopasandha lain bersiap menyusul lewat pintu darurat dekat sayap pesawat.
Bagi Ahmad Kirang, tugas adalah kehormatan. Pun saat ia mulai menyerbu masuk, sedangkan pembajak bersenjata sudah bersiap-siap menyambut ketika pintu darurat belakang terbuka. Tentu saja pasukan Kopasandha sulit membedakan mana pembajak mana penumpang, menembak pun menjadi pertimbangan.
Ahmad Kirang yang menyerbu paling depan terkena peluru yang dimuntahkan pembajak pada bagian perutnya. Ia gugur di medan tugas, sedang prajurit lainnya, Pontas Lumban Tobing, yang juga tertembak tetapi dapat diselamatkan.
Berkat serbuan Ahmad Kirang dan kawan-kawan, penumpang Garuda Woyla yang disandera pembajak dibebaskan, meski dengan korban tewas seorang anggota Kopasandha dan pilot pesawat tersebut, Herman Rante yang ditembak pembajak.
Operasi pembebasan pembajakan pesawat yang berlangsung hanya 3 menit itu telah mengharumkan nama Indonesia di kancah militer dunia, meski Ahmad Kirang menjadi korban tewas.
Ahmad Kirang adalah contoh pemimpin yang berada di garis depan. Pemimpin yang berani.
Ia patuh pada atasan untuk sebuah operasi pembebasan sandera yang sangat berisiko dan mematikan itu. Akan tetapi, ia harus menjadi inspirasi bagi prajurit lainnya. Ia melaksanakan tugas itu tanpa keraguan sedikitpun. Itulah kehormatannya.
Jusuf Kalla (JK), mantan wakil presiden dua periode, pernah memberi wejangan kepada para perwira Perwira Siswa Pendidikan Reguler (Pasis Dikreg) XLVII Sekolah Staf dan Komando (Sesko) TNI di Markas Sesko TNI Bandung, Jawa Barat, beberapa tahun lalu. Ia mengatakan bahwa pemimpin harus berprinsip memberi inspirasi, motivasi dan berani melakukan eksekusi.
"Pemimpin harus bisa memberikan inspirasi kepada anak buahnya, dalam hal ini bagaimana menyelesaikan misi. Kemudian memberi motivasi," katanya.
Benar bahwa JK mengakui adanya perbedaan antara metode kepemimpinan militer dengan sipil, akan tetapi secara prinsip kuncinya ada dalam motivasi. Kekalahan tentara Amerika di beberapa tempat di Irak dan Afganistan menurutnya akibat pasukan tidak termotivasi dalam bertempur. Seorang pemimpin, kata JK, harus melakukan eksekusi atau pengambilan keputusan penting. Tidak boleh ada keraguan sedikitpun. Pemimpin bukan peragu.
Agar tidak ragu-ragu dalam mengambil keputusan itulah maka seorang pemimpin menurut JK harus selalu menguasai persoalan dengan baik.
Muncullah kemudian tiga perbedaan mencolok dari model kepemimpinan dari tiga bidang yang berbeda.
"Bidang bisnis yang paling diutamakan adalah hasil, sementara prosesnya bisa menyesuaikan. Bidang pemerintahan yang terpenting prosedurnya benar, bukan hasilnya. Sementara bidang sosial yang paling penting adalah bagaimana menyelamatkan nyawa manusia," papar JK.
Tentu saja apa yang dilakukan Ahmad Kirang di bidang kepemimpinan militer adalah sikap di mana tugas negara adalah sebuah kehormatan. Prajurit patuh pada komando (pimpinan), sedangkan pemimpin harus berani mati serta memberi motivasi dan karenanya selaku berada di depan.
Indonesia memerlukan tipe kepemimpinan yang memotivasi, berani tanpa keraguan dalam bertindak dan mengambil keputusan, serta pemimpin yang menguasai masalah. Lebih dari semua itu, pemimpin harus berani bertindak seperti Ahmad Kirang dan karenanya harus selalu berada paling depan.
Benar, bahwa dalam sebuah perjuangan tidak tertutup jatuhnya korban. Tetapi korban dalam bentuk apapun merupakan "tumbal" keberhasilan, sebagaimana ditunjukkan Ahmad Kirang.
***
Tulisan sebelumnya: Serial Kebangsaan (1) "Ductus Exemplo"