Filosofi

Serial Kebangsaan (1) "Ductus Exemplo"

Rabu, 6 Juli 2022, 10:37 WIB
Dibaca 471
Serial Kebangsaan (1) "Ductus Exemplo"
Pemimpin (Foto: riddle.com)

Pepih Nugraha

Penulis senior

27 Januari 1981. Pada sebuah titik di perairan Masalembo di Laut Jawa, tragedi itu terjadi. Drama hidup-mati sedang tergelar di atas kapal Pelni, Tampomas II yang terbakar hebat dan sedang dalam proses menuju karam.

Air laut tiba-tiba mendidih dengan udara panas terbawa angin dari arah kapal yang siap karam. Beberapa kapal lain yang coba mendekat akhirnya memutuskan untuk menjauh kembali karena risiko tersedot ombak yang ganas jika Tampomas II benar-benar karam.

Langit Masalembo mendadak kelam, asap hitam dari kapal yang terbakar menghalangi kejernihan langit biru pada siang yang membara itu.

Puluhan penumpang sudah terselamatkan menggunakan sekoci yang terbatas dan tidak memadai. Penumpang berebut sekoci yang terbatas itu, sebagian penumpang yang tak sabar karena tak tahan menahan panas lantai kapal yang terbakar akhirnya terjun ke laut yang ganas, tanpa alat-alat keselamatan yang memadai. 

Sudah pasti mereka takkan mampu muncul kembali ke permukaan air laut yang mendidih. Tenggelam. Lalu mati.

Di kabin mualim, nakhoda kapal Abdul Rivai diingatkan awak kapal lainnya agar segera menyelamatkan diri karena kapal akan segera tenggelam. "Saya tetap di sini," kata nakhoda itu. 

Ia paham, masih ratusan penumpang yang terperangkap di atas kapal yang terbakar dan sudah dalam posisi miring itu. Ia tidak mungkin lari menyelamatkan diri di saat penumpang lainnya masih terperangkap. Pun ia tahu, sebentar lagi Tampomas II akan karam, tetapi Rivai ingin menjadi penumpang terakhir yang meninggalkan kapal itu setelah penumpang lainnya tak tersisa. 

Sebuah tekad yang tidak berbuah manis, sebab di dalam kapal yang terbakar itu masih ada ratusan penumpang lainnya yang terperangkap, terbakar dan tak sempat menyelamatkan diri.

Nakhoda memilih tenggelam bersama para penumpang yang tersisa.

Abdul Rivai adalah seorang pemimpin. Nyawa ratusan bahkan ribuan orang bergantung kepadanya. Akan tetapi, jalannya kapal tidaklah semudah yang dibayangkan. Faktor penghambat dan penghancur selalu datang tak terduga, kendati antisipasi telah dilakukan dengan matang. Kapal yang terbakar adalah contohnya.

Kabupaten, provinsi dan republik ini tak ubahnya kapal yang sedang berlayar di tengah samudra. Bupati, gubernur dan presiden adalah Abdul Rivai dalam bentuk lain. Mereka adalah pemimpin bagi rakyat.

Demikianlah seharusnya bupati, gubernur maupun presiden bertindak untuk rakyatnya. Tatkala kapal menghadapi ancaman badai di depan haluan, pemimpin inilah yang memastikan bahwa ia mampu menghadapi rintangan di depan. 

Masuk ke dalam badai atau mengindar dari badai dengan risiko perjalanan memutar dan jarak bertambah, itu soal pilihan yang diambilnya. Penumpang ikut nakhoda saja. Penumpang percaya sepenuhnya apa yang nakhoda putuskan.

Demikian pulalah rakyat seharusnya bersikap, mereka percayakan sepenuhnya bahwa bupati, gubernur maupun presiden tidak akan mengkhianati amanat. Mereka paham, pemimpin tidak mungkin mencelakakan rakyatnya sendiri.

Saling mengerti tidak hanya berlaku dalam skala terbatas relasi suami-istri atau sepasang kekasih yang sedang kasmaran, melainkan dalam konteks yang lebih luas, yaitu relasi sosial dalam berbangsa dan bernegara, relasi antara rakyat dan pemimpinya.

Antara pemimpin dan rakyat saling percaya, antara nakhoda dan penumpang saling memahami, niscaya kapal yang membawa cita-cita bersama akan sampai ke tanjung harapan.

Penumpang paham, tidak ada gontok-gontokan antara nakhoda dengan para awaknya yang memungkinkan pelayaran berjalan lancar. 

Nakhoda mau mendengar apa kata juru mesin, juru kemudi bahkan awak lainnya yang bertugas di buritan dan geladak yang tak tampak. Pemimpin yang memberi kepercayaan dan menghormati anak buah dan awaknya. Ia sadar, tanpa mereka kapal takkan mungkin berlabuh di tanjung harapan sendirian.

Nakhoda mampu membawa kapal sampai tujuan karena ditemani anak buah yang bertugas sesuai kapasitasnya. Pemimpin bekerja dalam sebuah tim dengan bawahan yang bekerja secara profesional.

Pemimpin memberi contoh, "ductus exemplo", bukan sekadar memerintah dengan mengedepankan ego.

***