Filosofi

Filsafat Nusantara - Merajut dan Membangun Kembali Keindonesiaan

Minggu, 18 April 2021, 11:10 WIB
Dibaca 598
Filsafat Nusantara - Merajut dan Membangun Kembali Keindonesiaan

Filsafat Nusantara.

Lahir di Bang Abak, sebuah kawasan pertanian dan perkebunan terpadu milik Yansen TP. Dikenal sebagai "Rehobot Bang Abak", sebab apabila sedang berada di tempat itu, nirmasalah. Jiwa kita damai. Pikiran tenang. Badan sehat segar oleh sejuknya hawa alam nan asri.

Di situlah, pada sebuah kawasan tak jauh dari Kota Malinau, Kalimantan Utara. Ketika malam beranjak makin kelam. Diliputi suasana langit yang menitiskan gerimis. Halilintar sambar menyambar, seakan membelah cakrawala. Namun, itu tak  jadi aral yang melintang bagi para "ahli pikir masa kini" berdiskusi. Malah semakin malam, semakin seru. Pada sekitar pukul 22.00, 17 April 2021. Ketika “3 jagoan”, pegiat literasi Masri Sareb Putra, Pepih Nugraha, dan Dodi Mawardi dipantik Yansen TP berdiskusi hangat.

Yansen seorang yang piawai memancing dan menggali. Jika dalam dunia entertainment, ia seorang pemandu bakat. Yang "menemukan" orang tepat untuk melakukan pekerjaan yang tepat. Selain memantik diskusi, Yansen juga menggali potensi.

Sedemikian rupa, sehingga diskusi malam itu tak ubahnya proses dialektika para filsuf Yunani kuna menemukan teori, atau meniti jalan ilmu. Kini ilmu digali dari dalam perut bumi negeri sendiri. Begitu banyak nilai, kearifan lokal, serta tacit knowledge yang belum menjadi explicit knowlede. Yakni pengetahuan dan kebijaksanaan tersembunyi, yang belum digali, ditulis, dan dipublikasikan.

Hal yang unik dalam diskusi itu, mengalir begitu saja. Tidak ada moderator. Siapa saja bebas menyatakan pendapat. Saling menanggapi. Saling melempar gagasan. Sesekali memantik diskusi tajam, menukik, menarik; terarah kepada topik kebangsaan.

Sesekali, saya nyeletuk. “Apa yang kita diskusikan ini, tak ubahnya seperti jalan para filsuf Yunani kuno dahulu kala di dalam melakukan olah pikir, kerja filsafat.”

 Saya lihat wajah 3 sahabat, kawan sekaligus lawan latih tanding diskusi saya, terhenyak. Diam sesaat. Menarik napas. Diskusi pun berlanjut.

Begitu banyak nilai, kearifan lokal, serta tacit knowledge yang belum menjadi explicit knowlede. Yakni pengetahuan dan kebijaksanaan tersembunyi, yang belum digali, ditulis, dan dipublikasikan.

Topik diskusi tentang pembangunan. Apakah lebih dahulu jiwa yang dibangun, atau badan? Yansen TP yang puluhan tahun berpengalaman dalam bidang birokrasi dan pemerintahan, sangat yakin bahwa “Jiwa dulu dibangun, baru badan!”

 “Teks lagu Indonesia Raya jelas menyebut bangunlah jiwanya,” tegas Yansen. Baru setelah itu, “Bangunlah badannya.”

Dalam konteks itu, kita memahami, mengapa Bung Karno menyatakan bawa Pancasila adalah "Jiwanya bangsa Indonesia". Sedangkan badannya adalah warganya, manusianya, yang tinggal dan berdiam di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kami semua meresapinya. Lalu manggut-manggut. “Ibarat membangun rumah, apakah lebih dulu yang pertama dimulai, ketika membangun? Isinya, ataukah konsepnya yang dituangkan dalam gambar  terlebih dahulu?”

Ketika manusia, penghuninya, merasa bahagia dan betah di rumah, yang membuat bahagia itu suasana atau barang-barang serta perangkat di rumah itu? Jika orang berkata “at home”, yang membuat nyaman suasana, ataukah barangnya?

 Jiwa, atau dalam bahasa filsafat, justru apa yang “tidak tampak fisik” itulah yang sebenarnya bahagia. Ketika bertanya, heran (thaumasia), menggugat, mempertanyakan apa yang dianggap sebagai benar, meragukan, mengkritisi, mengevaluasi, mencari tali-temali, menemukan sebab-akibat; itulah: KERJA FILSAFAT.

 Jadi, filsafat adalah cara berpikir dan bertindak setiap orang, sehari-hari. Demikian kerja falsafah yang juga diambil dari bahasa Yunani philosophia. Berasal dari kata-kata philia (persahabatan, cinta akan... dan sophia (kebijaksanaan).

Sedemikian rupa, sehingga makna harafiahnya filsafat: orang yang cinta akan kebijaksanaan atau ilmu. Pythagoras dan Heraclitus misalnya, menyebut diri sebagai filsuf, pencari kebijaksanaan. Sebab yakin bahwa hanya Tuhanlah Sang Kebijaksanaan itu sendiri.

Filsafat Nusantara

Kami menyebut olah dan jalan filsafat di dalam menemukan, membangun, serta menjadikan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai Pancasila dan NKRI adalah “Filsafat Nusantara”. Dengan Nusantara dimaksudkan suatu kawasan / wilayah keIndonesiaan yang diJIWAI oleh falsafah/ filsafat Pancasila.

Kita semua mafhum. Bahwa dasar filsafat Nusantara ini sebenarnya telah dibangun fondasinya oleh N. Driyarkara. Olah permenunangan dan buah pemikirannya dapat dibaca dalam buku Karya Lengkap Driyarkara (Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2006).

Dengan “filsafat Nusantara”, kami coba mengajak siapa saja untuk selalu bertanya, heran (thaumasia), menggugat, mempertanyakan apa yang dianggap sebagai benar, meragukan, mengkritisi, mengevaluasi, mencari tali-temali, menemukan sebab-akibat persoalan bangsa. Untuk merajut kembali, dan membangun keIndonesiaan. Menggali dari dalam perut bumi pertiwi tacit knowledge nenek moyang, sedemikian rupa. Lalu menyajikan bahan diskusi  melalui dokumentasi dan narasi yang bergulir perlahan, namun pasti, melalui narasi dan salah satunya web ini.

Nihil novi subsole. Tidak ada yang baru di bawah matahari. Filsafat Nusantara ini dibangun dalam bingkai proses dan cara berpikir Aristoteles. Menurut  salah seorang filsuf  besar ini (384-322 SM), pemikiran manusia melewati  tiga jenis abstraksi.  Nah, setiap abstraksi melahirkan satu jenis ilmu pengetahuan dalam bangunan pengetahuan yang pada waktu itu disebut sebagai: Filsafat.

Tingkatan abstraksi pertama adalah fisika.  Menurutnya manusia akan mulai berfikir kalau mengamati. Dalam berfikir, akal dan budi akan melepaskan diri dari pengamatan indrawi segi-segi tertentu, yaitu materi yang dapat dirasakan (hyle aistete). Dari hal-hal yang partikular dan nyata, ditarik menuju hal yang bersifat umum. Akal budi manusia bersama materi yang abstrak akan menghasilan ilmu pengetahuan yang disebut fisika.

Tingkatan abstraksi kedua adalah atesis. Manusia dapat melepaskan diri dari materi yang kelihatan.  Hal ini hanya bisa terjadi ketika akal budi bisa melepaskan materi dari segi yang dapat dimengerti (hyle noete). Ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh jenis abstraksi dari semua ciri material ini oleh Aristoteles disebut matesis atau matematika.

Tingkatan abstraksi ketiga adalah teologi. Atau biasa disebut juga filsafat pertama. Oleh karena ilmu pengetahuan ini datang sesudah fisika, maka disebut pengetahuan ini disebut sebagai: metafisika.

 Lalu ada cara memperoleh pengetahuan yang disebut “Maiutic”.  Atau “Socratic Inquiry”. Yakni olah pikiran, jalan filsafat, untuk menemukan “kebenaran”, dengan mengajukan pertanyaan berlapis-lapis. Seperti halnya jalan dialektika.

 Itu sebabnya, pada gilirannya filsafat disebut sebagai “scientia rerum per causas ultima sub lumine rationalis naturalis”. Yakni (ilmu) pengetahuan yang memikirkan/ menjelaskan segala sesuatu/ apa yang ada dengan tuntas dan radikal –hingga akar-akarnya-- dibimbing cahaya akal budi.

Objek material filsafat: segala yang ada.

Objek formal/ sudut pandang, dibagi dua, yakni quo dan quod.

Objek formal quod adalah penyebab pertama atau prinsip tertinggi dari segala sesuatu. Objek formal quo adalah alasan alamiah saja dan, secara khusus, kekuatan nalar yang abstraktif.

Meski demikian, sebenarnya olah filsafat adalah kegiatan setiap orang dan setiap saat. Tidak harus rumit seperti itu.

Asalkah heran, bertanya, menggugat dan tersentil oleh suatu objek. Itu sudah: berfisafat!

Selamat berfilsafat!

 

Tags : filosofi