Ini Guruku, Mana Gurumu?
“Terima kasihku…
Kuucapkan…
pada guruku yang tulus…
Ilmu yang berguna…
selalu dilimpahkan…
untuk bekalku nanti…”
Ini memang teks lagu berjudul “Terima kasihku (Guruku)”. Tapi, 35 tahun yang lalu, teks ini saya bawakan sebagai puisi. Masih terbayang dalam ingatan, di atas panggung megah halaman depan SDN Banjarwaru Ciawi Bogor, bersama teman sekelas 6 yang mau lulus, kami tampil dalam acara perpisahan.
Saya berdiri di baris depan, paling tengah. Setelah lirik lagu selesai didendangkan, saya maju dua langkah dan mulailah puisi di atas saya perdengarkan. Diiringi suara hmm hmm hmm seluruh kawan, dengan irama lagu tersebut. Kedua tangan bersila di depan dada, saling menggenggam. Khas penampilan anak-anak SD di seluruh Bogor, saat itu, hehe…
Terasa sangat syahdu. Semua mata seperti menatap saya. Terutama para guru, yang selama enam tahun, sudah mendampingi kami – anak kelas 6. Ibu Sri Rezeki, wali kelas kami, tampak bahagia. Matanya tergenang. Senyumannya selalu kami rindukan setiap hari selama kelas 6.
Pada Hari Guru kali ini, saya kembali mengingat para guru. Saya belajar sekolah dasar di dua tempat: SDN Banjarwaru Ciawi Bogor dan SDN 1 Mekarwangi Bojong Picung Cianjur. Beberapa nama guru yang mengajar saya antara lain bu Sri Rezeki, pak Tata Hejar, bu Titin, pak Saefudin, bu Ecin, dan ibu Erna. Maafkan saya tidak bisa menyebutkan semua nama, karena keterbatasan ingatan. Akan tetapi, pelajaran dari bapak ibu semua, sudah melekat dalam diri ini. Dan pasti tercatat sebagai amal ibadah bapak ibu di hadapan Allah Swt.
Di SMP, lebih banyak guru yang diingat. Kalau selama SD, sebagian besar pelajaran diisi oleh guru kelas (wali kelas). Di SMP, lebih banyak guru yang mengajar. Setiap mata pelajaran diampu oleh guru berbeda. Saya belajar di SMPN 1 Ciawi Bogor. Banyak kenangan di sana. Usia beranjak remaja sehingga mulai mampu membedakan yang sebelumnya terasa sama saja ketika di SD.
Kepala Sekolah pun masih saya ingat dengan baik, Pak Sunarto (alm). Seorang senior yang bijaksana. Suaranya teduh. Pak Tadjuddin Noor (alm), wakil kepala sekolah yang tegas tapi amat mengayomi kami. Guru wali kelas pun masih saya ingat dengan baik, mulai kelas 1 (Usman Lesmana), kelas 2 (bu Endang), dan kelas 3 (Cecep Hutbi). Guru-guru kami cukup banyak selama kelas 1 sampai kelas 3. Ada pak Haris (alm), guru matematika yang nyentrik dan hobi membuang buku kami keluar jendela, kalau salah jawabannya. Pak Zakaria (alm), guru agama yang lucu dengan gaya mengajar yang menyegarkan. Surga terasa begitu dekat setiap kali bersamanya.
Guru kami memang unik-unik. Dengan kepribadiannya masing-masing. Dan itulah yang membuat kami masih mengingatnya dengan baik. Misal, bu Sri Lestari, guru agama yang galaknya minta ampun. Tidak hafal surat-surat pendek, siap-siap dijemur di lapangan. Atau tangan lembutnya “menyapa” pipi kami. Pak Daulay, orang Batak yang sudah kehilangan ke-batak-annya, karena selalu lemah lembut dalam mengajar.
Pak Jojo (alm), urang Sunda yang juga lembut, teramat sopan, dan mengajarkan bahasa ibu tersebut. Pak Edy, guru kesenian, orang pertama yang mengenalkan saya pada lagu Bungong Jeumpa, Kambanglah Bungo, dan Pakarenaya, selain lagu daerah kami sendiri Karatagan Pahlawan, Sabilulungan, dll. Sebagian lagu itu masih suka saya dendangkan dengan cara pak Edy bernyanyi. Berkesan sekali ya…
Buat guru-guruku di SMP yang belum tersebutkan dalam artikel ini, maafkan saya. Semua jasamu tak akan terhapus sampai nanti. Abadi.
Itulah deretan guru-guru saya selama SD dan SMP. Saya tidak sempat mengenyam pendidikan TK, karena saat itu di desa saya belum ada. Bagaimana dengan guru SMA dan (dosen) perguruan tinggi? Sudah saya tulis pada artikel yang lainnya…
Sesungguhnya masih ada sederetan panjang lagi guru-guruku. Bukan guru SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi. Mereka adalah guru-guru kehidupan, yang sangat berpengaruh. Seperti guru-guru yang sudah saya sebutkan, mereka adalah pahlawan-pahlawan kita. Anda dan saya.
Buat para guru, saya wakilkan rasa terima kasih lewat puisi karya Nesia Viyanita, siswi SMPN 1 Karyan Tengah, perbatasan Indonesia – Malaysia di Kalimantan Utara.
------------
GURUKU
Di perbatasan ini,
kami mengenal dunia tanpa batas karena engkau.
Di tempat jauh ini kami merasa dekat dengan tujuan karena engkau.
Di tengah hutan ini kami tidak merasa gelap.
Siang tidaklah panas bersama engkau.
Malam tidaklah kelam.
Engkau, guruku, berdenyut seperti cahaya di bola mataku.
Engkau, guruku mengalir seperti darah cita-citaku.
Tanpa engkau kami tidak kan mengerti arti cinta, perjuangan, harapan, bangsa, negara, juga semesta ini.
--------
Selamat Hari Guru 2022