Bukan Cinta Biasa
Paling mudah adalah menulis cerita tentang cinta. Jatuh cinta, putus cinta, dan sekian ratus variannya. Para penulis pemula, biasa menulis cinta karena itulah yang termudah bagi mereka. Salahkah?
Tentu saja tidak, sebab hal-hal yang kita alami dan kita rasakan paling mudah dituangkan ke dalam sebuah cerita. Itu sudah benar.
Tetapi, cerita cinta bagaimana yang sebaiknya ditulis sehingga meninggalkan jejak kesan mendalam bagi para pembacanya?
Dari banyak bacaan kita menjadi tahu versi Romeo-Juliet yang lebih modern karya sastrawan besar Inggris William Shakespeare (1564-1616) di berbagai negara seperti West Side Story, Beauty and the Beast, Julio and Romiette, Grease, atau bahkan di berbagai daerah di Tanahair. Bagi saya, "Rasus-Srintil" dalam Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, layak disebut sebagai "Romeo-Juliet"-nya Indonesia!
Bagi saya pula, cerita cinta bukanlah melulu putus-sambung hubungan antara pria-wanita atau bahkan hubungan sejenis. Lebih dari itu, cinta haruslah punya misi dan tema: keberanian, pengorbanan, ketulusan, pengkhianatan, dan seterusnya. Cinta bukan melulu soal perasaan pengarang semata yang kemudian ditumpahkan ke dalam cerita. Cinta juga memerlukan riset dan penggalian referensi yang dalam tentangnya.
Sebagai patokan, beberapa tahun lalu saya pernah membaca buku kecil dari Erich Fromm berjudul "The Art of Loving" yang sedemikian mencerahkan dan membuka pikiran saya, bahwa persoalan cinta bukanlah semudah yang dibayangkan.
"Cinta adalah sebuah seni yang harus dimengerti dan diperjuangkan, bukan semata-mata sebentuk perasaan menyenangkan yang dialami secara kebetulan, sesuatu yang membuat kita tercebur ke dalamnya jika kita sedang beruntung," kata Fromm.
Dari pernyataan ini saya menjadi paham, Fromm secara tidak langsung mengajarkan siapapun tentang kekuatan sebentuk cinta.
Memahami uraian cinta dari Fromm, kelak Anda akan mampu membangun karakter yang terkait relasi yang tidak semata-mata seksual, melainkan relasi yang "lebih agung" dari itu. Jika pada masa lalu karakter pria yang menjadi idola kaum wanita adalah yang agresif, atraktif dan ambisius, misalnya, boleh jadi sekarang ini pria yang berwatak sosial, religius dan toleran yang bakal dijadikan model ideal.
Itu contoh kecil saja dari relasi sosial terkait cinta yang dibahas Fromm.
Sebaliknya, Anda bisa membangun karakter perempuan ideal masa lalu yang berbeda dengan masa kini. Bagi Fromm, cinta adalah jawaban atas problem eksistensi manusia, yang tidak sekadar relasi pria-wanita yang menjadi satu dan dipersatukan karenanya, tetapi kita menjadi paham mengenai relasi cinta orangtua terhadap anak-anaknya yang tidaks elalu berjalan mulis, cinta persaudaraan yang penuh tantangan serta halangan, cinta keibuan, cinta diri, cinta tuhan, dan bahkan cinta erotik yang sering dianggap tabu.
Tentu saja Fromm bukan satu-satunya filsuf modern yang membahas soal cinta dengan sekian relasinya itu. Ada banyak filsuf atau psikolog yang mebahas cinta yang mendalam seperti MAW Brouwer. Anda bisa mengeksplorasinya lebih jauh. Silakan.
***