Filosofi

Kearifan Lokal Sebagai Basis Karakter Kepemimpinan Muda Indonesia

Jumat, 5 Mei 2023, 18:00 WIB
Dibaca 2.240
Kearifan Lokal Sebagai Basis Karakter Kepemimpinan Muda Indonesia
Foto: Dayak Lundayeh, sub etnis Lengilo'

Pemimpin zaman dahulu biasanya mereka yang mempunyai kekuasaan dan kewajiban. Namun, berbeda dengan sekarang, siapa saja dapat disebut pemimpin. Dari pemimpin negara, ketua parta, tokoh adat, ketua organisasi, guru, keluarga, BEM kampus bahkan sampai dalam lingkungan sekolah, kita mengenal mereka sebagai pemimpin. Sebagai contoh, di kampus Anda dipilih menjadi ketua BEM untuk memimpin teman-teman mahasiswa di lingkungan Kampus, bukan karena Anda terlahir menjadi pemimpin, tapi karena Anda dianggap dapat memberi teladan, menginspirasi atau dapat menjadi contoh untuk mahasiswa di lingkungan Kampus.

Pada prinsipnya, sering dikatakan bahwa kepemimpinan merupakan inti manajemen. Memang demikianlah halnya karean kepemimpinan merupakan pengerak sumber daya yang ada dalam suatu organisasi, bisa sumber daya manusia, dan sumber daya lainnya.

Dengan kata lain, sukses atau tidaknya suatu organisasi mencapai tujuan yang telah ditentukan sangat tergantung atas kemampuan pemimpin untuk menggerakan sumber daya yang ada sehingga dapat berlangsung dengan efesien, ekonomis, serta efektif.

Berkaitan dengan itu, bangsa Indonesia memiliki berbagai macam nilai-nilai kearifan lokal yang berperan strategis dalam membangun peradaban masyarakat. Melalui nilai-nilai kearifan lokal tersebut memberikan potensi besar, khususnya keberagaman budaya dan nilai lokal yang memperlihatkan sosiokultural keberagaman di Indonesia. Kearifan lokal (local wisdom) adalah salah satu bentuk dari keanekaragaman budaya (Kemendikbud, 2016). Dalam hal ini, berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Pasal 1 Ayat 30, menjelaskan bahwa kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari (https://jdih.kemenkeu.go.id).

Jika demikian, kearifan lokal biasanya berkembang di lingkungan yang sangat terkait dengan alam dan kondisi sosial masyarakatnya, sehingga pengetahuan dan praktik yang terkandung di dalamnya disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan hidup masyarakat setempat.

Sebetulnya, Hofstede (1991) mengungkapkan bahwa Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan nilai-nilai yang terkandung dalam budaya lokal memiliki nilai kolektivisme. Artinya, individu lebih mementingkan kepentingan kelompok, keluarga, dan masyarakat dibandingkan kepentingan pribadinya. Dalam Konteks Indonesia sebagai negara kepulauan dengan adat istiadat berbeda-beda namun memiliki nilai kekayaan budaya yang sangat tinggi yaitu kearifan lokal. Kearifan lokal merupakan produk dari budaya masyarakat yang dijunjung secara bersama-sama.

Di Indonesia, kearifan lokal tidak hanya berlaku secara lokal pada budaya atau etnik tertentu, tetapi dapat kita temukan bersifat lintas etnik sehingga membentuk nilai budaya yang bersifat nasional. Kita adapat ambil beberapa contoh kearifan lokal, misalnya hampir di setiap budaya lokal Nusantara dikenal kearifan lokal yang memberi pengajaran tentang gotong royong, toleransi, etos kerja, mencintai alam, memotivasi hidup, dan seterusnya.

Hasil bacaan, saya mendapati ada beberapa nilai-nilai kearifan lokal di Indonesia antara lain, nilai-nilai lokal ‘Tri Kaya Parisudha’, Tri Hita Karana budaya masyarakat Bali, kemudian ‘Macca dan Warani’, Kabupaten Bone. Di samping itu, ada juga nilai-nilai kearifan lokal budaya Jawa tentang kepemimpinan Hasta Brata, Gus-Ji-Gang, sedangkan ada nilai kearifan lokal ‘siri' na pacce’, Sipakatau-Sipakainge, Sipakalebbi merupakan salah satu falsafah budaya Masyarakat Bugis Makassar.  

Berkaitan dengan itu, ada Tradisi Cembengan dari Yogyakarta. Selanjutnya ada nilai badu dan leba ne’e asli Flores Timur, Tat Twam asal Bali, Kabumi budaya Tuban Jawa Timur. Tambahan lagi, nilai Ile Nyue Ile Nyue, Yau Nyue Yau Nyue, asal Maluku Tengah. Ada juga nilai kearifan lokal silih asah, silih asuh, silih asih Budaya Sunda. Tidak hanya itu, ada juga Pohutu Momulanga dari Gorontalo. Selanjutnya, nilai kearifan lokal Pela Gandong asal Maluku, dan Padan Liu’ Burung Asli Dayak Lundayeh di Kalimantan Utara. Dalam hal ini, kearifan lokal tersebut merupakan produk dari budaya masyarakat setempat yang dijunjung secara bersama-sama, sehingga mampu membentuk perilaku dan karakteristik dari setiap individu masyarakatnya.

Jika demikian, kebudayaan suatu suku bangsa terbentuk dalam sebuah horizon waktu dan tempat tertentu, sedemikian rupa, sehingga sungguh-sungguh memiliki keunikan dan tidak ditemukan duplikatnya pada waktu dan tempat yang berbeda. Demikian pula halnya dengan budaya masyarakat Dayak Lundayeh masa lampau, kini, dan yang akan datang, terbentuk dalam sebuah horizon waktu dan tempat sehingga kebudayaanya unik, berbeda dengan kolektif lainnya.

Berkaitan dengan itu, salah satu budaya lokal di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara yang cukup terkenal di tengah masyarakat, yaitu Padan Liu’ Burung. Dengan kata lain, Padan Liu’ Burung merupakan budaya komunitas yang terkonsep dalam nilai hidup bersama masyarakat Dayak Lundayeh di Kabupaten Malinau dan Kabupaten Nunukan, bahkan dimanapun keberadaan manusia Lundayeh berada.

Di dataran tinggi Borneo yang meliputi lima wilayah adat Krayan, kita mengenal terdapat empat Klan Utama atau Etnis Suku Dayak yang menjadi rumpun Lundayeh meliputi: Lun Lengilo’, Lun Tanah Lun, Lun Nan Ba’, Lun’ Sa’ben (Yansen dan Masri, 2021).

Pada prinsipnya, kebudayaan Dayak Lundayeh yang ideal pun sering dikaitkan dengan nilai-nilai kepemimpinan di Masyarakat lokal seperti tokoh atau pribadi baik (Lun Do' Ngimet Bawang). Dalam kaitan ini, jadilah sosok Padan Liu’ Burung dijadikan sebagai tokoh panutan dan kebanggaan manusia Dayak Lundayeh di Dataran Tinggi Borneo, Kalimantan Utara, Indonesia.

Salah satu nilai kearifan lokal Nusantara yaitu Nilai lokal Padan Liu’ Burung, asli Suku Dayak Lundayeh. Masyarakat lokal menyebut pribadi ini Padan Liu’ Burung dari sosok ini tidak ada yang kurang dalam dirinya, yang ada kebaikan saja secara utuh seperti, niatnya baik, tidak sombong, baik hati, jiwa memimpin serta mampu mengelola emosinya.

Sosok kepahlawan Padan Liu’ Burung dalam folklore masyarakat lokal Dayak Lundayeh sangat berpengaruh dan penting dalam menggambarkan kepemimpinan dan memotivasi manusia Dayak Lundayeh.

Di samping itu, dalam pengolongan folklore dibagi menjadi tiga bagian yaitu Aren, Mumu, Bengeng. Aren lebih kepada kata-kata pujiannya yang banyak sekali, supaya semangat berjuang itu ada dalam diri setiap manusia Dayak Lundayeh. Itulah tujuan utamanya. Jika mendengar seseorang yang sedang aren pasti merinding, karena kata-kata yang diucapkan penuh kebaikan, kebijaksanaan, hal-hal baik. Tidak sembarang orang dapat melakukannya, ia harus berbudi baik.

Selain itu, masyarakat lokal mengakui bahwa nilai Padan Liu’ Burung dari sosok ini tidak ada yang kurang dalam dirinya, yang ada kebaikan saja secara utuh seperti, niatnya baik, tidak sombong, baik hati, jiwa memimpin serta mampu mengelola emosinya. Ruma kadang (Rumah panjang) tempat seorang Padan Liu' Burung menyampaikan Aren, Mumu, Bengeng di saksikan semua orang yang tinggal dalam rumah panjang dari tua-tua, orang tua, anak-anak mendengarkan aren dari Padan Liu' Burung.

Jika demikian, secara umum nilai-nilai Filosofis Padan Liu’ Burung berikut ini dapat di pahami. Nilai kearifan lokal Padan Liu’ Burung merupakan gamar diri sosok pahlawan yang gagah berani bagi suku Dayak Lundayeh, Padan Liu’ Burung sosok yang menyatu dengan masyarakat, hati yang baik, mengikat diri dalam kebersamaan.

Disebutkan ada tiga nilai-nilai yang terkandung pada Padan Liu’ Burung yang pertamaLun Do’ Niat' artinya sangat terbuka kepada orang lain dan banyak memberi pandangan hidup, nasehat-nasehat dan saran-saran yang berguna bagi orang lain. KeduaLun Do' Mesangit artinya pribadi pemberani, kuat, lincah dan pantang menyerah.  Lun Do' Mesangit yang tergolong Lun Do,' pada bagian ini ia bukanlah seorang pemimpin. Nilai yang KetigaLun Do’ Ngimet Kuran artinya dapat mengemban tanggung jawab, amanah, junjung keharmonisan, serta bertanggung jawab dan dapat dipercaya dalam menjalankan kewajiban (Rining et al, 2021).

Dalam konteks penerapannya sekarang dalam kepemimpinan, dalam bidang apapun manusia Dayak Lundayeh bekerja entah politik, sosial, budaya, pengusaha, maupun pendidikan maka nilai-nilai Padan Liu’ Burung melekat pada diri manusia Dayak Lundayeh. Inilah salah satu nilai kearifan lokal yang di jaga suku Dayak Lundayeh saat ini. Untuk itu, Kita semua memiliki kesadaran dan kewajiban untuk menghormati dan menjaga nilai kearifan lokal, tata krama, sopan santun, moralitas, dan etika (Yansen, 2022).

Sesungguhnya, terbentuknya nilai-nilai kearifan lokal leluhur yang mampu mempola perilaku, karakter, dan bersikap masyarakat Dayak Lundayeh karena adanya peran adat istiadat yang begitu kuat, sebagai salah satu faktor pendorong yang kemudian menjadi budaya pada kehidupan sehari-hari masyarakat lokal di Dataran Tinggi Borneo. Sehingga hal tersebut menjadi kepribadian, sifat, perilaku, kebiasaan, sikap hidup yang cukup mengkrakter dalam kehiduapan masyarakat adat Dayak Lundayeh di Dataran Tinggi Borneo.

Oleh sebab itu, dalam etika Dayak Lundayeh, seorang pemimpin perlu memiliki filosofis tiga nilai-nilai yang terkandung pada Padan Liu’ Burung, yaitu Lun Do’ Niat',  Lun Do’ Mesangit, dan Lun Do’ Ngimet Kuran terutama dalam membentuk jiwa kepemimpinan dengan nilai kearifan lokal.

Sehubungan dengan ini, kepemimpinan generasi muda sangat penting. Perlu kesiapan untuk siap bertempur dan berpartisipasi dengan berbagai tantangan yang ada khususnya dari negara-negara ASEAN dengan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Ditambah dengan, kurun 2020-2030, Indonesia dipredeksi mendapatkan bonus demografis. Karena itu, penguatan budaya lokal sebagai basis karakter muda harus dipertahankan, atau terus ditumbuhkan. Memang saat ini keluaran perguruan tinggi yang salah satunya dapat dilihat dari jumlah lulusan perguruan tinggi tersebut, pada satu sisi memang menggembirakan.

Sebagai kesimpulan, ada tantangan kepemimpinan yang harus dipastikan perguruan tinggi bahwa mahasiswa lulusan di perguruan tinggi memang harus mencapai kualitas sebagai kaum intelektual yang memiliki karakter baik serta memiliki kecakapan hardskill dan sofskills yang dapat membuat pemuda-pemudi Indonesia, khususnya pemuda di Dataran Tinggi Borneo mampu jadi sosok Sumber Daya Manusia (SDM) unggul di bidangnya masing-masing. Tidak hanya sekedar lulus tepat waktu, tetapi dibutuhkan peribadi anak muda yang siap memimpin masyarakat, memimpin suatu pelaksana pekerjaan, dan mampu memanfaatkan sumber-sumber materiil secara maksimal, berpegang pada nilai-nilai kearifan lokal yang positif.

***

  • Daftar Bacaan 

Dr. Yansen TP, R. Masri Sareb Putra. 2022. Jejak Peradaban Manusia Sungai Krayan, Cetakan Ke-1, Tangerang, Lembaga Literasi Dayak, xviii-366 hlm.

Hofstede G .1991. Culture and Organisations, Softwarw of the Mind. Intercultural Cooperation and its Importance for Survival. London: McGraw-Hill Book Company.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2016.  Otonomi dan Tata Kelola Perguruan Tinggi. Jakarta: Sekretaris Dewan Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Yansen, TP dan Ricky Y. Ganang. 2018. Dayak Lundayeh Idi Lun Bawang : Budaya Serumpun Di Dataran Tinggi Borneo. 1st ed. Lembaga Literasi Dayak.

Yudan Frans Rining, dan Lio Bijumes. 2021. Mengenal Budaya Dayak Lengilo Di Dataran Tinggi Borneo. Edited by Rining Frans Yudan. 1st ed. Vol. 1. Yogyakarta: CV Bintang Semesta Media.