Filosofi

Aktivitas Mental Kefilsafatan

Selasa, 14 Februari 2023, 22:27 WIB
Dibaca 2.521
Aktivitas Mental Kefilsafatan
Arip Senjaya, di sebuah becak di Paris

Dialog berikut ini saya rangkum dari kecenderungan umum pertanyaan seputar perbedaan filsafat dan ilmu kepada saya selaku pengajar filsafat di Untirta. Semoga berguna bagi Anda yang pernah juga bertanya-tanya serupa.

Apakah sains dan filsafat berorientasi untuk menemukan sesuatu?

Bicara sains adalah bicara temuan-temuannya dan bicara filsafat tidak tentang itu. Filsafat cenderung memulai segalanya dari awal lagi. Pendapat awam bahwa filsafat itu berputar-putar ada benarnya dan itulah asiknya filsafat bagi saya khususnya, berputar-putar dalam arti selalu mengawali segala sesuatunya dari awal lagi, tapi awal-awal filsafat bukan mengulang melainkan memikirkan ulang. Apakah setiap materi ilmu bidang fisika akan mempertanyakan fisika itu sendiri? Sains tidak untuk itu.

Sains bertumbuh secara bertahap dari kemajuan satu ke kemajuan berikutnya, setiap kemajuan bertumpu dari kemajuan sebelumnya. Sedangkan yang kemudian dari filsafat tidak dapat dibayangkan lebih baik dari filsafat sebelumnya meskipun filsafat kemudian tak dapat terlepas dari filsafat lain yang melatarinya. Apa yang kita bicarakan sekarang, misalnya tentang negara, sudah dibicarakan sejak sebelum masehi dan belum tentu juga konsep kita tentang negara sekarang lebih baik. Apakah sains yang dulu lebih baik dari yang sekarang? Sepertinya hal itu agak kurang mungkin. Karenanya, para pembaca filsafat yang berpihak pada filsafat kontemporer barangkali terkena pengaruh tradisi sains.

Jadi, filsafat tidak menemukan sesuatu?

Filsafat itu menemukan akal yang membedakannya dengan menemukan cara atau menemukan kebenaran. Orang teknik menemukan cara terbaik untuk produk teknik terbaik. Matematika menemukan kebenaran hitungan atas luas lingkaran.

Bagaimana dengan kebenaran bagi keduanya?

Kebenaran filsafat itu menyeluruh atau dapat disebut kebenaran umum, sedangkan kebenaran sains itu untuk bidangnya masing-masing. Saintis yang dapat mengamati bidang lain dari sainnya boleh dikatakan sudah memasuki tradisi kefilsafatan. Tradisi kefilsafatan tidak spesifik, tetapi meluaskan diri. Bahasa bagi linguistik terbatas pada bahasa yang kita gunakan, sedangkan bahasa bagi filosof dapat memasuki ranah metafisika. Seorang filosof lebih tertarik membicarakan sifat-sifat materi secara umum, sedangkan ahli fisika membicarakan perilaku alam dan ahli kimia tentang komposisi kimiawi.

Tapi kalau kita ingat-ingat lagi cara Sokrates berfilsafat ia tidak akan menyimpulkan kebenaran apa pun, tetapi terus mengejar kebenaran tersebut, memperdalamnya dengan terus mempertanyakan apa yang sudah dapat dijelaskan sebelumnya. Mungkin makna tertinggi berfilsafat adalah bertanya sedangkan sains menjawab. Tapi ada yang lebih tepat menurut saya bahwa filsafat tidak benar-benar mencari kebenaran tetapi mencari makna kebenaran, dan pada bagian inilah sains absen. Saintis dapat kehilangan aktivitas mental karena, katakanlah, metode yang dipakainya sudah dianggap relevan, sedangkan berfilsafat tidak mungkin tanpa aktivitas mental. Karena itu, hasil-hasil berfilsafat agak sulit digubah menjadi definisi final. Dosen filsafat dapat menggunakan pointer yang sama bertahun-tahun tapi dari pointer itu ia tidak akan mungkin memberi penjelasan yang sama—seharusnya. Bahwa ada dosen filsafat yang tidak berubah, itu artinya dia tidak mengerti makna aktivitas mental dari filsafat itu sendiri. Aktivitas mental ini yang seharusnya mempengaruhi sang dosen untuk tidak membuat filsafat seperti kemumian sains atau seperti kemumian hukum aksi-reaksi Newton dalam fisika.

Kalau begitu saintis yang menemukan makna tersembunyi dari teori sains termasuk filosof?

Ketika Newton pertama kali merumuskan apa itu “massa” maka dia benar-benar seorang filosof. Hal yang sama pada konsep “keserentakan” Einstein, dia pun filosof tersebab hal itu.

Apa bedanya makna dan kebenaran?

Ada baiknya kita melihat dari hubungan keduanya melalui istilah “verifikasi”. Makna akan merefleksikan hal-hal yang mungkin di dunia sedangkan kebenaran akan memutuskan atau membuktikan hal-hal tertentu melalui apa yang dapat ditemukannya. Refleksi itu sendiri metode klasik filsafat yang pertama kali digunakan Sokrates dan kita sampai sekarang menggunakannya. Jadi, mungkin ada baiknya filsafat itu disebut sains makna seperti kita menyebut astronomi sebagai sains kebendalangitan. Subjeknya filsafat ya makna.

Adakah kebenaran filosofis?

Rasanya tak pernah ada dan juga tak mungkin. Kebenaran hanya milik sains. Hukum-hukum Newton itu benar dalam fisika Newton, maka dapat disebutkan adanya kebenaran hukum Newton. Kebenaran filosofis itu tidak dapat dikatakan benar secara kefilsafatan jika makna benar itu setingkat “hukum”. Wittgenstein berusaha membuat sejenis hukum-hukum dalam Tractatus dan ia sendiri yang menggagalkan pikiran-pikirannya. Karena tidak mungkin ada kebenaran filosofis, filsafat juga tidak dapat diandalkan untuk menjadi solusi masalah tertentu. Kendaraan yang kurang tenaga hanya bisa dicarikan solusinya oleh kaca mata sains, filsafat tidak mungkin. Rasanya tidak ada filosof yang memikirkan cara menormalkan mata yang minus. Tapi manakala kita menyadari makna penglihatan, makna sehat, makna solusi itu sendiri, mau tidak mau kita bersentuhan dengan spirit filsafat berdasarkan konsep aktivitas mental tadi.

Apakah makna “filsafat ibunya ilmu”?

Rupa-rupa mungkin istilahnya. Saya sendiri beberapa kali menemukan istilah “filsafat ratu ilmu”. Saya menduga karena aktivitas kebenaran sains tidak mungkin tanpa aktivitas mental kemaknaan sebelumnya sehingga filsafat melahirkan ilmu atau maknalah yang melahirkan kebenaran dan bukan sebaliknya. Penting kiranya dipahami bahwa "ibunya ilmu" atau "ratu ilmu" bukanlah ilmu.

Omong-omong, sebenarnya makna yang dari tadi disebut-sebut itu sendiri apa? Apa bedanya dengan kebenaran?

Saya mau tanya apakah kalimat “Air mata itu identik dengan arsitektur” itu bermakna?

Tidak

Anda pasti bilang tidak. Namun harus diingat bahwa kalimat tersebut benar secara struktur kalimat. Karena itu hal yang benar secara ilmu [linguistik] belum tentu bermakna. Mesin-mesin penerjemahan bekerja dalam aktivitas kebenaran dan kita sering melihat hasilnya yang tidak bermakna. Mesin dengan demikian tidak dapat berfilsafat dan manusia ternyata banyak sekali yang seperti mesin, tak terkecuali para akademisi, juga para akademisi filsafat yang masih tak menyadari filsafat itu apa.

Sekarang, bagaimana masa depan filsafat setelah sains bertumbuh subur?

Tidak harus sekarang, sejak dulu kelihatannya filsafat itu punya nasib yang kurang lebih sama. Setiap hasil-hasil kefilsafatan akan hilang karena adanya pemikiran kefilsafatan baru, atau beberapa yang tersisa dibaca oleh sains sebagai pertanyaan sains terselubung.

Apakah filsafat dapat diajarkan seperti sains jika pada wataknya ia tak pernah final?

Kant pernah menjawab pertanyaan serupa, dan dia bilang tidak mungkin. Tapi Kant sendiri yang mengatakan satu-satunya yang bisa dia ajarkan adalah filsafat. Kant tidak pernah mengajarkan geologi atau linguistik. Mungkin bagi Kant mengajarkan filsafat itu adalah bagian dari aktivitas mental itu. Apakah para pengajar sains mengajar sebagai aktivitas mental? Sejauh ini ada juga para pengajar sains yang serius meskipun secara umum memandang sains itu penjelasan-penjelasan memadai. Karena itu mengajar bidang sastra pun saya “bergerak” dari semester satu ke semester berikutnya. Saya tidak pernah dapat mengulang materi kesusastraan karena saya terpengaruh tradisi filsafat.

Saya juga ingat salah satu pengalaman Leibniz saat mendirikan Akademi Sains Prusia di Berlin, bagaimana ia menyusun kurikulum sains dan filsafat tidak ada di dalam kurikulum tersebut. Kita tahu ia sendiri filosof yang dalam kasus ini menunjukkan kesulitannya mengajarkan filsafat. Kalau kita merumuskan sistem ilmu di akademi yang kita dirikan, misalnya akademi pertanahan, di manakah filsafat dalam sistem ilmu pertanahan tersebut? Leibniz tahu bahwa filsafat ada di dalam semua nama jenis ilmu sebagai aktivitas mental sehingga untuk menuliskan “Filsafat” sebagai mata kuliah malah dapat melepaskan makna aktivitas untuk keseluruhan sistem itu sebagai aktivitas di dalam mata kuliah filsafat semata. Wittgenstein juga termasuk yang menekankan aktivitas dan menolak istilah “teori filsafat”. Proposisi filosofis bukanlah tujuan akhir dari filsafat sebab kalau itu tujuannya Wittgenstein tidak akan menulis buku yang berbeda sekali dari Tractatus.

Dapat dipastikan bahwa semua alumni kampus kami yang pernah belajar filsafat atau sastra atau ilmu pendidikan bersama saya tidak dapat mengingat satu pun teori kecuali beberapa patah kata dengan definisi yang samar seperti “ontologi”, “epistemologi”, “aksiologi”, dan saya hanya berharap mereka memiliki aktivitas mental. Tidak penting ingatannya, yang penting aktivitas mentalnya masih ada sebab hal itu akan membantu mereka tetap kritis pada ilmu mereka dan kehidupan yang mereka jalani. Saya kira hal yang sama terjadi kepada saya, lulus dari fakultas filsafat tidak dapat mengingat satu pun materi dosen-dosen saya, tapi aktivitas mental mereka menulari saya.[]

 

Arip Senjaya dosen filsafat Untirta, pengarang buku, anggota Komite Buku Nonteks Pusbuk Kemdikbud.