Filosofi Monyet
Term bermakna dalam itu ciptaan Dr. Yansen TP, M.Si. Sebuah tamsil. Yang menggambarkan "dunia atas" memandang kehidupan "dunia bawah" dari perspektif yang berbeda.
Penerapan filosofi itu terasa pas betul pada pola pembangunan bangsa. Selama ini, terutama zaman Orba, segala sesuatu didrop dari pusat untuk daerah.
Bukan hanya model pembangunan.Pemimpin daerah pun, zaman Orba berkuasa, dropan pusat. Kebanyakan dari kalangan militer. Tujuannya jelas: agar mudah dikontrol - sesuai dengan teori organisasi.
Lebih dari itu adalah rancang-bangun pembangunan nasionalnya. Menggunakan kacamata, atau pikiran pusat. Belum tentu pandangan pusat sama dengan daerah.
Dengan hanya 2 patah kata saja, "Filosofi Monyet" ciptaan Yansen, model pembangunan rancangan pusat itu kena betul rasanya. Namun, bisa saja disayak-wasangka berbeda. Mula-mula kaget mendengarnya. Muka rasa ditampar.
Tapi lama-lama, setelah kepala dingin dan hati tidak lagi bergetar oleh emosi, kita akan mengakui: oh, benar juga! Kita lalu "dipaksa" bersetuju dengan pencipta teori. Itulah, dalam duia pemuridan dan persilatan Zen, disebut teknik: Zen Koan. Murid dengan sengaja dibuat ragu-ragu dan bertanya-tanya lebih dahulu mengenai : mengapa ia belajar dan menuntut ilmu? Pikirannya diaduk-aduk. Hatinya dibikin kacau. Itulah katarsis, pemurnian hati dan pikiran. Hingga ia menemukan kebenaran sejati. Gelas hati dan pikirannya dikosongkan dulu untuk menerima air curahan dari sang guru. Baru pelajaran pertama bisa dimulai.
Yansen, agaknya, mafhum teknik Zen. Ia seorang orator, dan pencerita ulung. Tamsil dan metafora ciptaannya selamanya tetap diingat orang.
Filosofi ciptaan Yansen ini pertama saya dengar tahun 2017, ketika ia pembicara-kunci Seminar Internasional I Kebudayaan Dayak di Bengkayang, Kalimantan Barat. Tampil pada sesi pembuka Seminar, 4 Juni 2017, Yansen menyentak sekaligus memukau pendengar yang mengisi kursi penuh aula kantor Bupati Bengkayang yang tersedia 500.
Saya selalu menjadikan Filosofi Monyet ini sebagai pengingat tentang kelirunya cara pandang dan cara berpikir kita dalam membangun bangsa. Kita tak beda dengan Monyet jika masih tetap menggunakan paradigma lama dalam membangun.-Dr. Yansen TP, M.Si.
Lalu pada peluncuran bukunya Kaltara Rumah Kita di kafe Tubu tepi sungai Sesayap, petang 8/8-2020, saya yang bertanya makna filosofi itu. Sebab tertulis di buku itu pula. Setelah usai acara, saya jadi merasa tidak enak sendiri. Itu kan forum umum. Disiarkan pula secara langsung dan hidup. Bahkan diikuti ribuan orang melalui media. Apa kata orang?
Untungnya, tidak ada yang komplen! Sebab, "filosofi monyet" tak terbantahkan. Itu fakta! Siapa saja yang mendengar, dan memahaminya, merasa itu adalah kata-kata kita. Ungkapan batin kita.
Namun, apakah filosofi? Apa bedanya dengan filsafat?
Kadang, kedua istilah dipersamakan, sesuai dengan konteks. Namun, sebenarnya filosofi adalah: olah pikir yang mengungkapkan pemikiran-pemikiran yang dalam yang dijadikan sebagai pandangan hidup. Sementara filsafat mengacu kepada olah pikir radikal (sampai akarnya), sistematis, medodis, koheren, yang bertanya mengenai esensi being, segala sesuatu yang ada. Filsafat formal, yang dipelajari secara sistematis di bangku kuliah dan studi filsafat, mengenal 7 cabang.
Inilah uraian Filosofi Monyet seperti ditulis dalam buku Kaltara Rumah Kita (2020: 216-217):
Bercermin pada Filosofi Monyet
Saya selalu menjadikan Filosofi Monyet ini sebagai pengingat tentang kelirunya cara pandang dan cara berpikir kita dalam membangun bangsa. Kita tak beda dengan Monyet jika masih tetap menggunakan paradigma lama dalam membangun. Begini kisah filosofinya.
Konon di hutan belantara yang masih perawan tinggallah sekumpulan monyet. Mereka sudah menghuni belantara itu secara turun temurun. Kehidupan mereka sangat tergantung pada ketersediaan alam yang luar biasa kayanya. Di sana tersedia aneka tanaman dan buah. Suasananya sangat menyenangkan karena juga terdapat banyak bunga yang memanjakan mata, aromanya semerbak, plus semilir angin yang seolah tiada henti berhembus. Belum lagi gemericik air dari sungai yang mengalir dengan tenang.
Dalam suasana seperti itu, seekor monyet jantan yang gagah perkasa, duduk di sebuah bongkahan batu besar di pinggir sungai kecil. Matanya menatap ke dalam sebuah lubuk berisi air yang sangat jernih. Kehidupan di dalam lubuk itu, sungguh menarik perhatiannya. Terlihat banyak sekali ikan yang berenang dengan bebasnya. Tapi, si monyet itu dalam hatinya berkata, “Kasihan sekali ikan-ikan itu. Berenang ke sana ke mari tanpa tujuan. Berseliweran seperti kebingungan.”
Monyet itu bukan hanya berkata-kata, tapi juga kemudian bertindak untuk menolong ikan-ikan itu. Rasa belas kasihannya sangat tinggi. Dia ingin ikan-ikan itu juga merasakan kenikmatan hutan, seperti yang dirasakannya. Dia tak rela ikan-ikan itu terus menderita di dalam air, seperti yang dilihatnya. Dengan penuh semangat, Monyet itu mulai menangkapi satu persatu ikan-ikan tersebut. Lalu meletakkannya di darat.
Namun sungguh sayang, Monyet itu tidak sadar bahwa tindakannya sangat keliru. Rasa empati dan semangat menolongnya yang luar biasa luhur itu, justru menimbulkan kesengsaraan buat ikan-ikan. Bahkan menyebabkan kematian. Monyet itu benar-benar tidak tahu dan tidak sadar bahwa Tuhan Yang Mahakuasa menciptakan ikan untuk hidup di dalam air.
Filosofi Monyet ini sungguh pas untuk menggambarkan apa yang terjadi dalam pembangunan kita. Cara pandang kita dalam membangun bangsa hanya berasal dari satu pihak, dari atas ke bawah (top down), dari pusat ke daerah. Apa yang menurut mereka benar, itulah yang dijalankan, Tidak peduli bagaimana kondisi sesungguhnya dari masyarakat yang dibangun. Perilaku seperti monyet itulah yang biasanya melahirkan masalah baru, kerugian, dan kesia-siaan. Tentu kita semua tidak mengharapkan hal tersebut.
Konsep pembangunan bermula dari cara pandang. Dengan cara pandang seperti Monyet itu, maka konsep pembangunan yang berkembang adalah top down. Mereka menganggap masyarakat tidak berdaya, perlu dikasihani, lalu diberikan pertolongan yang menurut mereka benar. Padahal sebaliknya. Cara pandang yang keliru akan menghasilkan konsep pembangunan yang keliru pula.