Ekonomi

Menolak Aji Mumpung: Belajar dari Petani Thailand

Rabu, 25 Januari 2023, 21:25 WIB
Dibaca 382
Menolak Aji Mumpung: Belajar dari Petani Thailand
Foto: Sawah Krayan @matius mardani

Dari Nunukan, sebuah Kabupaten kecil di perbatasan Indonesia, saya melihat, di Tham Luang, Thailand, sejumlah orang dengan pakaian rapi seperti layaknya pegawai pemerintah mendatangi Kantor Desa Tham Luang. Dengan menenteng tas, mereka menjumpai sekelompok warga yang sudah terlebih dahulu menunggu di aula Kantor Desa tersebut. Tampak sang Kepala Desa dengan senyum ramah, berdiri di teras kantornya, menyambut datangnya rombongan itu sembari tergesa-gesa mengarahkan para tamu ke ruang pertemuan.

Setelah dimulai dengan pengantar singkat, tanpa basa basi sang petugas memanggil nama seorang wanita paruh baya maju ke depan. Rupanya petani pertama itu dipanggil untuk menerima pembayaran ganti rugi dari pemerintah. Sawah siap panen milik mereka – yang mereka tunggu berbulan-bulan – direndam banjir, kurasan gua Tham Luang.

 Seminggu sebelumnya, di suatu siang menjelang sore, sekelompok remaja, tepatnya 12 orang, baru saja menyelesaikan latihan sepakbola. Setelah sesi latihan tersebut mereka ingin menjadikan klimaks hari itu dengan menikmati objek wisata gua Tham Luang di kampung mereka. Di gua tersebutlah mereka kemudian terjebak banjir, karena tidak menyadari bahwa ketika mereka masih menikmati indahnya terowongan gua itu, telah berlangsung hujan yang sangat deras di bagian hulu sungai yang mengalir di sepanjang terowongan Tham Luang itu.

 Tujuh belas hari mereka terperangkap di dalam gua. Tidak ada makanan dan minuman.

 Singkat kisah, penyelamatan keduabelas anggota klub bola tersebut melibatkan tentara Thailand dan sejumlah tim penyelamat dari beberapa negara. Mereka adalah penyelam profesional. Kisah penyelamatan ini saya saksikan dalam sebuah film yang berjudul The Cave, garapan sutradara Tom Waller. Rilis tahun 2018.

 Kembali ke adegan awal, saat seorang petani – wanita paruh baya – yang dipanggil pada urutan pertama tadi. Petugas itu memegang beberapa lembar Baht. Sebelum menyerahkannya, ia mengatakan kepada wanita itu bahwa uang tersebut merupakan uang panjar dari sejumlah uang yang akan diberikan pemerintah sebagai ganti rugi atas musibah tenggelamnya sawah mereka.

 Diam dan tidak segera mengulurkan tangannya, wanita itu berpikir sejenak. Pikirannya sejenak menerawang acuh atas ucapan sang petugas tadi. Entah apa yang dipikirkannya, lalu berkata: "aku tidak akan menerima uang itu. Padi bisa kami tanam kembali di musim depan, tapi tidak dengan nyawa anak-anak itu. Sebaiknya uang itu dipakai pemerintah untuk menyelamatkan mereka."

Saya terperangah. Tenggorokan saya tercekat. Luar biasa! Orang desa yang konon miskin dan hanya hidup dari hasil sawahnya, punya hati semulia itu. Lebih mulia dari kebanyakan sikap orang lain yang kita bisa lihat sehari-hari.

Seluruh ruangan aula itu hening. Mungkin sedang berpikir, betapa naifnya wanita itu. Bisa saja ada yang berpikir, lalu menilai betapa sombongnya wanita itu. Sok suci! Sok kaya! Sok beradab! Minta puji, dan lain-lain!

Sekali lagi saya malu dengan pikiran saya sendiri. Mereka tidak berpikir demikian. Atau, mungkin mereka berpikir sama juga seperti saya, tapi tidak berani terlihat jelas  ketamakannya setelah melihat mulianya sifat wanita yang terdahulu. Jaim!

Hal mengejutkan terjadi. Satu per satu – seperti rapat-rapat wakil rakyat di Senayan yang sering disela interupsi itu – para petani lain yang menunggu giliran dipanggil, ramai-ramai menyela. Mereka kompak menolak uang panjar itu dan menyuruh agar petugas itu segera meninggalkan balai desa mereka.

Beberapa pelajaran penting saya dapat di hari itu. Bagaimana mungkin orang sebanyak itu bisa kompak menolak sejumlah uang. Tidak diminta pula.

Pertanyaan saya, jika sang wanita pertama tidak berani menolak, apa yang akan terjadi dengan petani-petani selanjutnya? Akankah ganti rugi itu mereka terima?

***

Dalam masyarakat kita hari ini – di Indonesia – ceritanya bisa paradoks. Setidaknya sampai sekarang saya belum menemukan orang apalagi sekelompok warga dengan sikap yang sama dengan para petani Thailand itu. Sikap yang aji mumpung, justru biasanya menjadi pilihan kebanyakan masyarakat kita.

Mumpung pemerintah memberi gratis. Mumpung lagi ada programnya. Mumpung tersedia dananya. Mumpung tidak ada yang melihat. Mumpung saya dekat dengan pejabat. Atau mumpung sedang berkuasa, dan mumpung-mumpung lainnya. Terjadilah benturan kepentingan.

Fenomena ini sering kita jumpai dalam kasus seperti Program Perlindungan Sosial, di Kantor-Kantor pemerintah, di sekolah, di Desa, di rumah-rumah ibadah, pelayanan publik, di pasar-pasar, di toko kelontong, dan sebagainya. Ada orang-orang tertentu yang menggunakan kesempatan yang ada untuk kepentingan dirinya sendiri, keluarga maupun kelompok. Tidak peduli apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain.

Dalam kasus PKH, Kartu Sembako, BLT, dan lain-lain, Mensos Tri Rismaharini mengatakan bahwa banyak orang yang mestinya layak menerima perlindungan sosial, tapi tidak menerima karena masyarakat mampu bahkan orang kaya ada yang menjadi penerimanya. Sangat ironis. Jeruk makan jeruk!

Ada kisah mencengangkan ketika suatu waktu sekelompok warga mencairkan BLT di sebuah Kantor Pos. Seorang ibu muda, cantik, kulit mulus, keluar dari mobil dengan perhiasan emas di kalung dan lengannya, berikut jarinya. Sudah pasti ia juga memakai skincare mahal yang dipesan online seperti kebanyakan ibu di era disrupsi ini.

Wajar saja dia menjadi pusat sorotan mata yang ada di halaman Kantor Pos itu. Penampilannya saja enak dilihat. Apalagi bagi Bapak-bapak yang sudah hadir sebelumnya. Mata mereka jelalatan, tak berkedip, menyapu dari arah langit lalu turun ke tanah mengikuti langkah sang nyonya muda, seolah menjaga langkahnya agar tidak tersandung.

Dengan yakin dan tanpa risih sedikit pun ia masuk ke kerumunan antrean warga miskin lainnya untuk mencairkan BLTnya. Dia tidak menyadari atau bisa jadi tidak peduli, bahwa ia telah mengambil hak warga lain yang bahkan membeli beras untuk makan hari ini pun tidak mampu. Namun demikian, tidak ada seorang pun yang hadir kala itu, termasuk si Pak Pos, yang meragukan kemampuan ekonomi ibu muda itu. Dia pasti dari kalangan berada.

Fenomena inilah yang kita alami hari ini. Akankah kita terus membiarkan sikap aji mumpung ini terus terjadi lalu mengabaikan orang lain yang seharusnya menikmati apa yang menjadi hak mereka?

Kita terbiasa menganggap hal ini sebagai hal-hal kecil. Ketika sebuah kecurangan besar terungkap – katakan dalam kasus korupsi – kita beramai-ramai mencemooh pelakunya. Sementara ketika bibit-bibit itu ditabur seperti pada kasus wanita muda penerima BLT di atas, kita tidak pernah mau  peduli.

Sederhananya, belajarlah dari wanita Thailand, petani miskin itu. Ia bertindak berani dari hatinya untuk menolak ganti rugi, demi mengutamakan keselamatan anak-anak yang terperangkap di gua Tham Luang itu. Setidaknya, jika Anda belum berani sendirian, jadilah pendukung orang lain yang telah bersikap benar menolak aji mumpung itu.

Nunukan, 21 Januari 2023