Ekonomi

Menakar Nilai Hutan Adat

Minggu, 24 Januari 2021, 11:25 WIB
Dibaca 552
Menakar Nilai Hutan Adat

Kekayaan ekonomi sumber daya alam pada wilayah adat sebagai topik kajian ilmiah semakin berkembang sejalan dengan munculnya paradigma ekonomi berkelanjutan baru (Sustainable Development Goals/SDGs) yang meletakkan dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup secara selaras dan berimbang.

Dalam kaitan dengan hal itu maka tujuan dari pembangunan ekonomi untuk mencapai pertumbuhan GDP (growth oriented policy) telah dikoreksi dengan munculnya isu-isu kontemporer yang berkaitan dengan pemerataan pembangunan (redistribution to growth atau growth with equity).

Akan tetapi, kesuksesan pembangunan ekonomi dan sosial dianggap belum cukup. Dalam kaitannya dengan hal itu, sejumlah ahli dan lembaga dunia menyarankan perlunya menjaga keberlangsungan pembangunan (sustainability) dengan memasukkan dimensi lingkungan.

Paradigma pembangunan baru ini diyakini akan mampu membawa kemakmuran yang berkeadilan dalam kehidupan dan tatanan masyarakat dunia termasuk masyarakat adat dan masyarakat lokal.

Saya menghitung, bahwa hutan adat bukan hanya cukup untuk memberi kehidupan kepada 7 keturunan, melainkan kepada: 77 keturunan!

Wilayah adat tempat tinggal dan bermukim masyarakat adat dan masyarakat lokal adalah satu entitas yang memiliki dimensi ekonomi. Adanya sumber daya alam dan lingkungan di dalamnya adalah salah satu signifikansi keberadaan wilayah adat. Wilayah adat berperan penting dalam menopang kehidupan masyarakat adat dan pada saat yang sama menentukan keberlanjutan ekosistem (Napitupulu, 2018).

Paling tidak, terdapat empat alasan mengapa ekonomi wilayah adat penting untuk dibahas dalam konteks penelitian ini.

Pertama, kaum environmentalis menyatakan bahwa mekanisme ekonomi tidak akan dapat melestarikan alam bahkan justru merusaknya, hal ini dikarenakan, karakteristik sumber daya alam sangat berbeda dengan tuntutan karakteristik sumber daya yang memungkinkan mekanisme ekonomi berjalan maksimal.

Karakteristik sumber daya alam yang sering menyebabkan kegagalan pasar di antaranya adalah open access resources, ketidakjelasan hak-hak kepemilikan, eksternalitas, biaya transaksi yang terlalu tinggi, ketidaksempurnaan pasar sumber daya alam, orientasi pemanfaatan sumber daya alam yang terlalu jangka pendek dan lain-lain (Saragih, 2001).

Kondisi ini dapat lebih buruk lagi jika keluar kebijakan pemerintah yang mendistorsi pasar. Argumen ini membuat kaum environmentalis sangat meragukan mekanisme pasar dalam melestarikan sumber daya alam dan lingkungan. Kaum environmentalis berpandangan bahwa sumber daya alam tersebut tidak boleh dieksploitasi, karena akan mengubah ekosistem secara keseluruhan. Kaum environmentalis berkeyakinan bahwa alam ini akan cukup memenuhi kebutuhan tiap orang tapi tidak cukup memenuhi keserakahan manusia (Saragih, 2001).

Kedua, kaum developmentalis berpandangan sebaliknya dari kaum environmentalis. Menurut mereka , alam harus dimanfaatkan dan didayagunakan untuk mengatasi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kekayaan sumber daya alam yang ada harus digunakan untuk meningkatkan manfaat ekonomi.

Kaum developmentalis berkeyakinan bahwa kelestarian lingkungan dan sumber daya alam akan tercapai dengan sendirinya oleh mekanisme ekonomi karena kegiatan ekonomi akan mewujudkan efisiensi ekonomi yang di dalamnya terakomodasi pelestarian.

Kaum developmentalis juga berpandangan bahwa pelestarian keanekaragaman hayati tidak dapat mengandalkan mekanisme alam semata, tetapi haruslah juga dengan mekanisme ekonomi. Termasuk dalam prinsip-prinsip mekanisme ekonomi adalah dengan melakukan budidaya. Hal ini harus dilakukan karena jika mengandalkan alam saja,  akan terjadi seleksi alam dan evolusi biologis yang bisa menyebabkan kepunahan keanekaragaman hayati (Saragih, 2011).

Ketiga, pandangan quasi (gabungan) developmentalis dan environmentalis. Setelah berseteru dalam kurun waktu yang panjang, akhirnya ditemukan paradigma baru dalam pembangunan ekonomi, setelah berbagai kemerosotan sosial dan lingkungan sebagai akibat revolusi industri yang merupakan buah growth oriented policy yaitu Sustainable developmentalist atau sustainable development.

Paradigma ini adalah bentuk jalan tengah dalam menyelesaikan persoalan kemerosotan kualitas lingkungan global. Solusi ini dianggap solusi adil karena kepentingan ekonomi dan lingkungan hidup menjadi setara (Saragih, 2001). Dalam hal ini, masyarakat adat cenderung environmentalis dan sustainable developmentalist.

Keempat,  pentingnya mengembangkan model pembangunan, khususnya pembangunan ekonomi masyarakat adat dan komunitas lokal yang mendasarkan pada kearifan lokal dan kekayaan sumber dayanya sehingga menjadi komunitas yang mandiri. Dalam kerangka model ini, kearifan lokal dijadikan sumber kebijakan pembangunan pada tingkat komunitas tersebut.

Kearifan lokal dan tradisi lokal dapat dikembangkan untuk membantu keberhasilan pembangunan dengan syarat bahwa nilai-nilai di dalam tradisi tersebut harus dipertahankan dengan baik. Sebagai contoh, kearifan lokal yang telah dikenal luas di dunia yaitu kearifan Subak, yaitu pengelolaan irigasi secara tradisional di Bali yang oleh Unesco telah dinyatakan sebagai warisan budaya dunia dan Saemaul Undong di Korea Selatan yang telah menjadi model pembangunan pedesaan yang berhasil dan mulai direplikasi di tempat lain bahkan diusulkan menjadi model pembangunan negara berkembang (Abafita, Mitiku & Kyung, 2013).

Baca Juga: Berburu Gaharu di Hutan Perbatasan Kalimantan

Cara pandang ini selayaknya semakin memperkaya wawasan dan kesadaran para ahli pembangunan dan pengambil kebijakan untuk merumuskan strategi pembangunan khususnya pembangunan ekonomi secara tepat dan bijaksana terutama pembangunan ekonomi komunitas.

Kearifan lokal dapat ditemukan pada setiap komunitas adat. Sebagai contoh adalah sistem peladangan tradisional yaitu sistem peladangan berbasis tradisi yang dipraktikkan oleh masyarakat adat Dayak di Kalimantan, termasuk masyarakat adat Seberuang Riam Batu adalah bentuk kearifan lokal dalam bercocok tanam warisan nenek moyang yang ramah lingkungan (Anyang & Seko, 2017). Demikian juga dengan pengelolaan hutan masyarakat adat yang sangat kental dengan kearifan lokal yang di jalankan masyarakat adat secara turun-temurun (Mahkamah Konstitusi, 2013; Said, 2018).

Dalam wilayah adat, sebagaimana di Riam Batu, terdapat tempat-tempat keramat seperti lubuk keramat, danau keramat, pohon keramat, hutan keramat, bukit keramat yang sering dijadikan tempat dilakukan ritual religi atau adat. Hal ini adalah bentuk-bentuk kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam. Tempat-tempat semacam ini tidak boleh diganggu, dirusak atau dicemari.

Tempat-tempat seperti ini merefleksikan fungsi perlindungan ekologis yang terkait erat dengan nilai-nilai kultural dan spiritual masyarakat adat sehingga alam dapat terus memberikan layanannya pada kehidupan melalui ketersediaan air, mencegah banjir dan longsor, menyediakan udara bersih, mengikat karbon, memberikan keindahan, sumber pangan, nutrisi, obat-obatan, dan lain-lain.

Budaya dan kearifan lokal memiliki makna penting karena tidak saja bersenyawa dengan upaya-upaya pelestarian dan konervasi sumber daya alam dan lingkungan, tetapi juga bersenyawa secara langsung dengan kehidupan ekonomi masyarakat adat. Hal inilah yang membuat sistem ekonomi masyarakat adat bersifat ramah sosial dan lingkungan. Dengan demikian, aspek kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat adat menjadi bagian integral yang sangat urgen dalam proses pengelolaan sumber daya alam secara lestari dan berkelanjutan (Khan, 2018). Meski demikian, usaha masyarakat adat untuk mengusahakan sumber dayanya dalam mengusahakan kesejahteraan mengalami berbagai hambatan (Halimatussadiah, 2018).

Masyarakat adat adalah salah satu komponen warga negara Indonesia yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya alam yang berada di wilayah adatnya. Pada hakikatnya, masyarakat adat memiliki sistem untuk menjalankan kehidupan bersama secara harmonis. Keharmonisan tersebut bukan saja dengan sesama, tetapi juga dengan leluhur, alam semesta dan sang pencipta. Adanya relasi yang harmonis tersebut memungkinkan terciptanya keteraturan, keselarasan, dan keseimbangan.

Keberadaan Masyarakat Adat telah diakui oleh Negara sejak awal terbentuknya, sebagaimana tercantum pada Pasal 18 UUD 1945 dan penjelasan Pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen). Setelah amandemen, pengakuan tersebut tercantum pada Pasal 18B ayat (2)UUD 1945. Hal ini merupakan pengakuan dan penghargaan secara konstitusional terhadap Masyarakat Adat, dengan pernyataan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Minimnya informasi yang cukup valid dan memadai tentang Masyarakat Adat, telah menimbulkan ketidaktahuan atau persepsi yang salah dan selanjutnya menimbulkan berbagai bentuk kekeliruan yang dilakukan oleh berbagai pihak. Termasuk di dalam ketidaktahuan dan mispersepsi itu adalah kebijakan pembangunan khususnya investasi swasta di wilayah adat, dirasakan oleh masyarakat adat sebagai bentuk ketidakadilan (Said, 2018).

Tata kelola wilayah adat oleh masyarakat adat selalu menghadapi pertanyaan terkait dengan kontribusi ekonomi yang dapat diberikan wilayah adat tersebut. Cara pandang yang dominan adalah kontribusi yang hanya dipandang dari nilai pengambilan kekayaan alam seperti nilai kayu yang dijual, sementara ketergantungan masyarakat adat terhadap lanskap dan kebutuhan publik luas akan keberlanjutan jasa ekosistem dari landskap tersebut tidak masuk hitungan (Napitupulu, 2018).

Wilayah adat termasuk hutan adat adalah wilayah kehidupan bagi masyarakat adat.  Sebagai wilayah kehidupan, tidak saja menopang kehidupan secara ekonomi, tetapi lebih luas lagi, yaitu menopang secara sosial, budaya, ekologis, dan spiritual. Semua itu bersifat holistik dan terkait satu sama lain. Jika salah satu aspek rusak atau cacat, maka berpotensi merusak semuanya.

Oleh karena itu, keutuhan wilayah adat sebagai wilayah kehidupan menjadi kunci keberlangsungan kehidupan masyarakat adat dan lingkungannya. Jika semua aspek tersebut terjaga, akan tercipta pengelolaan lanskap adat berkelanjutan dan produktif yang berakar pada sistem dan kearifan lokal setempat (Said, 2018).

Baca Juga: Kekayaan Hutan Riam Batu Cukup untuk 77 Turunan

Pengelolaan lanskap adat berkelanjutan dan produktif yang berakar pada sistem dan kearifan lokal setempat ini akan menaikkan nilai (valuasi) ekonomi ekonomi wilayah adat setempat. Kajian valuasi ekonomi wilayah adat yang dilakukan oleh sejumlah ahli ekonomi di sejumlah wilayah adat di Indonesia berkesimpulan bahwa masyarakat adat dengan wilayah adatnya, memiliki keunggulan yang unik, namun selama ini belum masuk dalam pikiran dan pengetahuan praktis maupun filosofis para pengambil kebijakan.

Besarnya ancaman atas keberadaan wilayah adat dan hutan adat, antara lain karena dua faktor, pertama adalah karena adanya “ignorance” atas keragaan (ekonomi) wilayah adat dari berbagai kebijakan pembangunan dan bahkan dalam narasi pembangunan. Kedua, potensi dan keragaan ekonomi wilayah adat cukup tinggi, tapi belum terungkap lengkap dan menyeluruh, bahkan absen dari statistik resmi pemerintah (Ahmad dkk, 2018).

Nah, banyak pihak --terutama masyarakat adat itu sendiri-- belum melek mengenai nilai kekayaan hutan adatnya.

Saya termasuk yang paling vokal dalam hal memperjuangkan dan memelekkan masyarakat adat akan nirtaksir kekayaan hutan adatnya. Pada tulisan yang pertama, saya menghitung, bahwa hutan adat bukan hanya cukup untuk memberi kehidupan kepada 7 keturunan, melainkan kepada: 77 keturunan!

***