Budaya

Ketika Ruang Belajar Tidak Menarik Lagi

Minggu, 27 November 2022, 23:42 WIB
Dibaca 460
Ketika Ruang Belajar Tidak Menarik Lagi
Sekolah sebagai tempat mengolah nilai-nilai dan keutamaan hidup

Banlitbangpuskur tahun 2010 menulis bahwa ada tujuh permasalahan yang dihadapi dalam proses belajar mengajar.

Pertama terbentuknya opini di masyarakat bahwa nilai ujian nasional seolah-olah menggambarkan prestasi secara utuh. Demikian pula kemenangan dalam olimpiade, kontes idola, atau perlombaan dalam olahraga dipandang sebagai cermin prestasi belajar yang utuh. Apakah ukuran-ukuran ini valid dan dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi karakter, budaya dan kemajuan bangsa serta memberikan bekal bagi anak-anak kita untuk menghadapi kehidupan di masa depan?

Kedua belajar yang terpisah-pisah baik antarmata pelajaran maupun antara satu kompetensi dengan kompetensi lainnya.

Ketiga Proses pembelajaran tidak menjadi tanggungan peserta didik.

Keempat banyak guru yang belum terlatih secara baik dalam melaksanakan belajar aktif.

Ke-5 peserta didik yang berasal dari keluarga atau orang tua masih menunjukkan rendahnya kesadaran tentang pentingnya pendidikan, sehingga dukungan pada peserta didik masih rendah.

Keenam kemampuan membaca, menulis, dan menghitung (calistung) peserta didik di SD dan MI umumnya masih lemah, demikian juga keterampilan berbahasa peserta didik pada jenjang pendidikan menengah tampaknya juga masih banyak masalah.

Ketujuh banyak peserta didik yang watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian serta sistem berpikirnya belum sejalan dengan moral dan norma ke Indonesiaan. demikian juga kemampuan berbahasa peserta didik pada jenjang pendidikan menengah tampaknya juga masih banyak masalah. 

Dari ketujuh permasalahan di atas, beberapa indikasi yang menurut saya masih nampak. Seperti pada contoh peristiwa berikut.

Dalam sebuah rapat persiapan ujian sekolah antara dewan guru dengan orang tua peserta didik, saya mendengar curahan hati rekan sejawat-kira seperti ini ...

”Orang tua peserta didik yang Hand Phone (HP) atau gadget anaknya disita oleh pihak sekolah (karena di sekolah saat ini menerapkan peraturan saat jam belajar tidak boleh membawa HP dan apabila HP tersebut tersita maka hanya boleh diambil oleh orang tua). Maka respon orang tua lebih cepat untuk datang ke sekolah mengambil HP tersebut. Tetapi berbanding terbalik apabila peserta didik bermasalah di sekolah misalnya sering bolos, tuntutan hasil belajar tidak maksimal, nakal (berperilaku negatif) dan lain sebagainya. Respon orang tua cenderung lambat atau bahkan tidak peduli sama sekali, sekalipun surat panggilan (SP) telah dilayangkan kepada pihak orang tua berkali-kali. Alasannya banyak”.

Di akhir curahan hati rekan sejawat tersebut berkata, “Orang tua peserta didik saat ini lebih mementingkan HP atau komitmen kualitas belajar anaknya saat sekolah? Ternyata lebih mengutamakan HP bukan capaian kualitas belajar!"

 

Kecenderungan perilaku orang tua atau masyarakat kita seperti kasus diatas tentu ada benarnya, namun sifatnya sebagian saja. Cuma sebagai orang tua, kita perlu khawatir bahwa penting HP atau penting promosi kualitas pembelajaran? Dari kasus diatas siapakah yang harus dipermasalahkan, apakah orang tua peserta didik, peserta didik, guru (pendidik) atau pemerintah. Tentu sangat tidak bijak jika kita saling menyalahkan. Pengelolaan pendidikan itu sifatnya kolaboratif. Yang terbaik adalah mencari titik permasalahan dan menemukan solusi karena bagaimana pun sekolah adalah wadah untuk mengedukasi dan pusat budaya bagi peserta didik. Apakah kasus di atas juga terjadi di sekolah lain? Semoga tidak!

 

Pada kasus lain (kasus sederhana sebenarnya) tapi bagi saya ini menarik untuk dicari solusinya. Terlihat bahwa peserta didik kita sering meminta izin keluar ruang belajar, sebentar-sebentar (kira-kira durasi 15 menit) izin keluar. Tujuan utamanya adalah ke WC. Alasan logis sebenarnya, karena izin ke kantin pada saat jam belajar sudah pasti dapat hukuman atau omelan dahsyat dari guru. Berdoa sampai tiga orang bergantian ke WC. Dalam satu kelas izin rata-rata dua orang izin ke WC kalau kelas ada 15 ruang maka ada 30 orang peserta didik yang izin ke WC dan sudah dipastikan mengantri.

Saya pernah menguji ketahanan saya sendiri berapa lama waktu saya bertahan untuk tidak ke WC (sekadar buang air kecil). Ternyata bisa lebih dari 40 menit itu pun kalau pagi hari saya minum air putih agak banyak. Artinya satu jam pelajaran saya mampu bertahan. Bandingkan dengan peserta didik kita yang sebentar saja sudah izin keluar. Ya mungkin saja kondisi fisik peserta didik dengan saya berbeda. Hal ini tidak patut diperdebatkan.

Kembali ke masalah izin ke WC. Saya berpendapat seperti ini, ada yang kurang tepat dalam pengelolaan kelas kita. Sangat aneh bukan peserta didik koq “hobinya” izin ke WC pada saat jam belajar? Bahkan saya sering iseng membuntuti mereka ternyata mereka “asik ngerumpi” di dekat WC...lucu seperti di pasar sayur saja. Sangat aneh bukan peserta didik koq “hobinya” izin ke WC pada saat jam belajar? Bahkan saya sering iseng membuntuti mereka ternyata mereka “asik ngerumpi” di dekat WC...lucu seperti di pasar sayur saja. Sangat aneh bukan peserta didik koq “hobinya” izin ke WC pada saat jam belajar? Bahkan saya sering iseng membuntuti mereka ternyata mereka “asik ngerumpi” di dekat WC...lucu seperti di pasar sayur saja.

 

Kalau kasus peserta didik kita sering izin keluar dari ruang belajar, entah ke WC atau alasan lain maka dipastikan ada yang salah dari pelayanan kita kepada peserta didik. Pembelajaran model ketepatan perlu diperhatikan dan dibenahi. Mungkin saja selama ini kita menggunakan model pembelajaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan siswa, yang pada akhirnya peserta didik menjadi jenuh, bosan, dan kurang nyaman dalam belajar. Lalu bagaimana model pembelajaran yang baik itu? Tentunya para pendidik profesional sudah mengetahuinya, tinggal melaksanakan saja.

 

Pada berbagai kesempatan yang sering terlontar juga pertanyaan kepada peserta didik, “apa tujuan mereka datang ke sekolah? Tentu jawabannya bervariasi. Ada yang menjawab untuk menuntut ilmu, mendapatkan ijasah, supaya berprestasi, mendapatkan kawan, supaya mendapatkan uang jajan, jenuh di rumah dan lain sebagainya. Tidak ada yang salah dengan semua jawaban itu! Benar semua. Tapi perlu kita format kembali tentang keberadaan sekolah dan tujuan luhur datang ke sekolah.

 

Dalam hal ini, perlu kita pahami kembali bahwa sekolah dalam bahasa yuniani yakni schole artinya waktu luang. Peserta didik (murid) meluangkan waktunya mengolah nilai-nilai dan keutamaan hidup.

Waktu luang untuk bermain menikmati masa anak-anak dengan gembira. Waktu luang untuk mempelajari cara berhitung, cara membaca huruf dan mengenal moral (budi pekerti) dan estetika (seni). Setelah menghabiskan waktunya maka mereka kembali pada aktivitas utamanya pada lingkungan keluarga atau masyarakat dengan pengalaman yang baru. Ya....meluangkan waktu, itulah arti sekolah. Sekolah tentunya menjadi tempat atau wahana yang bisa mendekakan peserta didik untuk berkembang secara seutuh. Sekolah tidak lagi membuat anak-anak kehilangan rasa gembiranya.

 

Jangan sampai anak-anak kita berteriak gembira pada saat bel istirahat atau bel pulang berbunyi. Jangan sampai anak-anak terlihat gembira pada saat jam kosong karena guru berhalangan hadir. Jangan sampai anak-anak itu diam seolah-olah dia belajar padahal takut karena gurunya “penguasa di ruang belajar”. Jangan sampai peserta didik kita lebih melihat penting HP nya daripada belajar. Jangan sampai ruang belajar kita membosankan bagi peserta didik dan levelnya lebih rendah dibandingkan ruang WC. Dan jangan sampai anak-anak itu berkembang dengan keadaan seolah-olah. Pergi ke sekolah untuk belajar tetapi kenyataannya tidak menemukan apa-apa. Sudah saatnya pihak yang berkecimpung di dunia pendidikan mengembalikan semangat pendidikan. Para guru mari tingkatkan kualitas pelayanan kita. Semoga...