Cerpen| Jln Bahagia
Setiap kali hatiku sakit, sedih dan lelah aku selalu teringat sebuah jalan. Jalan itu tidak mulus seperti jalan tol, terjal, berliku, lengang dan sepi, tetapi arahnya menuju sebuah tempat di mana penderitaan sekecil apapun tak akan dijumpai di sana. Sayangnya, jalan itu hanya boleh dilewati sekali seumur hidup.
Jalan itu bernama: Jln Bahagia.
Tetapi meskipun aku tahu seperti apa jalan itu dan di mana letak geografisnya, aku belum pernah sekalipun melewatinya. Sejujurnya aku masih diliputi keraguan apakah aku mampu melewati jalan itu dengan mulus, meskipun suka tidak suka kelak jalan itu harus dilewati.
Mungkin pembaca bertanya, mengapa aku tak segera saja melewati jalan itu? Sebab dengan begitu keluh kesah dan penderitaanku akan sirna dengan sendirinya.
Sebelum aku menjawabnya izinkan aku bercerita tentang hidupku yang tak pernah benar-benar bahagia.
Sejak dalam kandungan ibu, ayahku meninggalkan ibu dan berpisah begitu saja. Ayah tergila-gila dengan perempuan lain. Ibuku menjanda dan harus membesarkanku seorang diri.
Ibu tak punya penghasilan untuk mencukupi kebutuhan hidup selanjutnya. Sanak saudara tak bisa berbuat banyak karena sama-sama miskin. Mau tidak mau ibu mencari nafkah dengan bekerja serabutan. Mencuci pakaian tetangga, buruh tani, memecah batu, atau apa saja yang bisa dikerjakan waktu itu. Walau sudah bekerja keras, penghasilan ibu jauh dari kata cukup. Kami tetap miskin.
Suatu ketika ibu diajak pergi keluar desa oleh tetangga yang bernama Surti. Ibu dijanjikan pekerjaan dengan penghasilan lumayan dan gampang mendapatkannya. Karena penderitaan yang tak tertahankan, tanpa pikir panjang ibu mengiyakan tawaran itu.
Awalnya ibu dipekerjakan sebagai penjaga warung remang-remang di kawasan Pantura. Suatu ketika ibu ditawari pekerjaan melayani para lelaki yang setiap malam singgah di warung itu. Pekerjaan melepas lelah dan syahwat para tamu yang biasa dikerjakan para seniornya. Awalnya ibu menolak, tetapi lambat laun tak berdaya. Akhirnya pekerjaan sebagai wanita penjaja cinta dijalaninya demi bertahan hidup hingga usiaku remaja.
Saat usiaku menginjak 15 tahun, ibuku meninggal karena penyakit HIV yang menggerogoti tubuhnya. Penderitaanku makin bertambah. Aku pun hidup sebatang kara. Kehilangan ibu membuatku limbung, seperti kehilangan penopang hidup. Atau seperti kehilangan sebelah kaki. Hingga aku merasa tak sanggup lagi meneruskan perjalanan hidup sebab di usia semuda itu aku belum bisa mencari uang sendiri. Kurasakan hidup ini begitu kejam. Pandangan masa depanku nampak suram.
Harta warisan ibu yang tak banyak tak bisa kupertahankan untuk terus menopang hidupku. Aku jatuh miskin. Tetapi lambat laun aku sadar, tak mungkin aku terus menerus meratapi penderitaan ini. Aku ingin sesekali merasakan bahagia. Bahkan aku ingin mengubah seluruh nasibku menjadi bahagia. Tak ada kemiskinan, tak ada rasa kehilangan, tak ada rasa sakit dan semua emosi yang menyakitkan.
Aku tak ingin bernasib seperti ibuku, hidup dari pelukan satu lelaki ke lelaki lain. Siapa pula yang mau melakukan semua itu kalau tidak dipaksa oleh keadaan.
Aku ingin mengakhiri kemiskinan ini. Aku ingin mengambil peran mengganti keadaan dan berbahagia.
Didorong oleh tekad yang kuat, aku mengadu nasib di kota Jakarta. Berharap kebahagiaan menghampiriku di sana.
Di Jakarta, aku hanya mampu memulai perubahan hidupku dengan menjadi pembantu rumah tangga. Bangun pagi sebelum subuh dan tidur di atas jam 10 malam sudah menjadi ritualku setiap hari. Mencuci, menyeterika, membersihkan rumah, memasak adalah teman karibku.
Aku merasakan mimpiku tentang kebahagiaan itu masih terlalu dini. Aku harus melewati masa-masa susah yang panjang. Rasa lelah akibat beban kerja, rasa sakit jika majikan marah-marah saat aku salah, rasa sedih sebab hidup terlampau keras begini buat perempuan seusiaku yang harusnya masih duduk di bangku sekolah dan bermimpi tentang hari depan yang cerah. Hari depan penuh kebahagiaan.
Walau penderitaan masih setia menemaniku, dari bekerja sebagai pembantu aku mulai bisa menyisihkan uang sedikit demi sedikit. Sebagian kukirim untuk nenek di kampung dan sebagian aku tabung. Aku tak ingin terus menjadi pembantu seumur hidupku. Aku tak ingin hidup berkesusahan seperti ini, apalagi bernasib seperti ibuku. Aku harus bahagia, agar ibuku juga bahagia di alam sana.
Singkat cerita, aku pindah bekerja paruh waktu di sebuah restoran di kawasan SCBD Jakarta. Sambil bekerja aku mengejar ketertinggalanku di sekolah menengah, lalu berkat pertolongan Tuhan aku berhasil masuk kuliah di perguruan tinggi negeri ternama di Jakarta
Bukan tantangan yang mudah menjalani pekerjaan sambil menuntut ilmu seperti yang dilakukan banyak orang. Terlalu panjang pengalaman pahit untuk diceritakan. Tetapi aku berhasil melalui proses itu walau dengan berdarah-darah. Hingga aku lulus menjadi sarjana. Hingga pada akhirnya aku pun mampu merasakan apa itu bahagia. Lulus dengan predikat memuaskan setelah perjuangan siang malam dan hampir putus asa. Semua itu tertebus oleh kebahagiaan saat rektor di kampusku memindahkan tali togaku dari sebelah kiri ke sebelah kanan.
Usai lulus dan menjadi sarjana dengan predikat Cum Laude, aku diterima bekerja di sebuah perusahaan BUMN ( Badan Usaha Millik Negara). Keadaan ekonomiku semakin membaik. Aku bisa membeli rumah dan kendaraan. Investasi tanah dan sekarang mendirikan sebuah perusahaan. Orang-orang bilang, aku sudah sukses. Inikah yang dinamakan bahagia? Awalnya aku merasa, ya inilah kebahagiaan. Hingga akhirnya aku sadar. Aku belum bahagia tanpa ada pria pendamping hidup. Selama ini aku hanya sibuk mengerjar karir dan melupakan kebutuhan manusia yang satu itu.
Aku pun akhirnya mendapatkan suami. Seorang pria yang usianya 5 tahun lebih muda dibandingkan diriku. Tetapi perjalanan rumah tanggaku kandas, setelah kami memutuskan bercerai karena suatu hari aku memergokinya berselingkuh dengan wanita lain. Ternyata ia bukan tipe suami setia. Aku telah salah memilih. Dan hidupku kembali sendiri dan sepi. Sedih dan sakit dikhianati. Kebahagiaan yang belum lama kurasakan seolah sirna begitu cepatnya. Ke manakah perginya kebahagiaan itu?
Aku terus mencarinya. Kebahagiaan demi kebahagian datang silih berganti. Ia datang tak sendiri. Selalu saja begitu, habis bahagia lalu menderita. Seperti dua sisi mata uang, di mana aku tak bisa memilih salah satu sisi saja.
Sampai aku merasa lelahku berada pada titik nadir. Aku divonis dokter mengidap kanker darah. Saat vonis itu dijatuhkan, serasa langit tiba-tiba pecah. Mendung hitam berarak menyelimutinya. Aku tak sanggup lagi tersenyum, apalagi berbahagia. Kebahagiaan itu lari terbirit-birit meninggalkanku dan mungkin takkan kembali lagi.
Hingga suatu ketika aku bertemu seseorang yang memberiku petunjuk di manakah kebahagiaan itu.
“Jika kebahagiaan yang kau maksud adalah kehidupan tanpa penderitaan, maka kau tak akan mendapatkannya di sini. Tetapi aku bisa menunjukkanmu sebuah jalan. Bila kau mampu melewatinya tanpa terjatuh, maka kau akan mendapatkan kebahagiaan. Bila kau memaksa, pergilah ke Jln Bahagia”
“Di manakah jalan itu?”
Ia lalu memencet smartphone. Tak lama kemudian aku mendengar nada dering pendek di smartphoneku. Sebuah notifikasi Whatsapp masuk.
“Ikuti shareloc google map yang sudah kukirim,” kata orang tua itu, yang dikenal banyak orang sebagai manusia bijak.
Lalu aku pulang dengan membawa sebongkah harapan. Aku akan bahagia. Aku akan bebas dari penderitaan.
***
Suatu hari aku pergi menuju lokasi yang dibagikan pak tua. Ya, aku menuju Jln. Bahagia. Sampai di sebuah simpang tiga, di salah satu simpangnya aku mendapati sebuah tiang yang disematkan nama jalan yang kucari-cari: Jln Bahagia. Kupandangi hingga kejauhan, jalan itu nampak terjal penuh liku-liku. Suasananya lengang dan sepi, tak terdengar satu pun suara makhluk hidup. Kecuali sosok makhluk tinggi besar berpakaian hitam dengan separuh wajah seperti tertutup masker telah berdiri kokoh di hadapanku. Entah ia sedang menjaga jalan itu atau menyambut kedatanganku.
“Hendak ke mana wahai manusia?” Sosok itu membuka percakapan dengan suara tegas, besar dan menggelegar,
Aku bergidig mendengar suaranya. Bulu kudukku serempak bangun.
“A.. aku hendak melewati Jln. Bahagia.”
“Hmmm.. baiklah. Mendekatlah kepadaku.”
“Apa yang akan kaulakukan?”
“Aku akan melepaskan beban jiwamu.”
“Melepaskan?” tanyaku gusar.
“Untuk bisa melewati jalan ini kau harus sendiri. Hanya ruhmu saja yang bisa melewatinya, sedang ragamu harus ditanggalkan.”
“Apa?” aku terperanjat mendengar kalimat terakhir sosok tinggi besar itu. “Sebenarnya, siapakah dirimu wahai kisanak?”
“Aku malaikat Izroil.”
Seketika aku pingsan usai disebut nama itu. Saat siuman aku mendapati diriku sudah berada di kamar rumah sakit.
Sejak peristiwa itu aku berhenti mengejar kebahagiaan
***
Depok, 28 Februari 2021