Edy Mulyadi Mencederai Memori Kolektif: Komunitas Dayak Seantero Borneo Bangun Dari Tidur Panjang
Saya termasuk diantara sekian banyak warga kalimantan, khususnya komunitas Dayak yg memberi respons awal atas pernyataan Edy Mulyadi.
Saya pertama kali mendengar setelah melihat video dari postingan salah satu tokoh utama Dayak pada 23/1. Dari jejak digital, saat itu sudah dini hari, tepatnya pukul 01.11 menit.
Saat tahu, saya segera mendengarnya ulang-ulang, mencerna kata dan kalimat demi kalimat. Mendengarnya emosi saya memuncak, akal sehat hilang dan etika komunikasi terabaikan. Saya meresponnya 1 jam kemudian, pukul 02.13 menit. Baik di group WA dan laman FB pribadi saya dengan pilihan kata dan kalimat yg yg melampaui batas kewajaran.
Keesokan harinya, video tersebut viral. Suara gemuruh bak angin topan dari seluruh pelosok kalimantan merespon video tersebut. Ibarat paduan suara, suara DO semua. Aksi damai di mana-mana. Semua marah, mengecam, menghujat, dst.
Asikkkk....., kesadaran kolektif terusik, tercederai. Semua terbangun, pikir saya. Mulai dari tokoh politik, tokoh birokrat sampai tokoh adat. Saya senang luar biasa. Ini kebangkitan, pikir saya saat itu.
Namun demikian, dua hari terakhir ini saya mencoba untuk memaknai peristiwa ini dari macam-macam aspek. Saya merenung panjang. Mengelolah perasaan dan kesadaran. Saya sampai pada kesadaran: bukankah penghinaan dan perendahan martabat sudah lama terjadi dalam macam-macam bentuk di tanah Borneo ini?
Yang paling hina dan "mematikan" adalah soal perebutan atau perampasan ruang hidup kita. Ruang hidup kita habis diambil paksa org lain. Tanah kita habis dirampok org, bukan? Mata kita terbelalak, ketika IKN ditetapkan di Penajam. Lahan IKN konon milik org sesuatu dari Jakarta. Juga ketika kawasan Industri Hijau ditetapkan di Kaltara, lahan juga konon milik keluarga pejabat penting di Jakarta (disebutkan oleh pak Menko LBP).
Itu soal baru. Soal lama, banyak sekali. Ambil contoh saudara-saudara saya, saudara2 kami, saudara kita di Sebuku, Sembakung dan Lumbis sudah merasakan hal itu sejak belasan tahun lalu. Ruang hidup mereka sudah habis. Lahan 1 jengkal untuk tanam 1 pokok singkong pun tidak ada. Apalagi lahan utk buat ladang dan lahan utk bangun rumah.
Bukankah semua hal tersebut di atas sesungguhnya penghinaan dan perendahan martabat dalam bentuk lain yg lebih kejam dari ujaran kebencian Edy Mulyadi? Ke mana saya, kami dan kita selama ini. Kenapa kita tidak teriak? Apakah tunggu ada yg menghina terbuka melalui TV, media, dll yg ditonton atau didengar orang lain diluar kita, baru kita terpaksa bangun dari tidur panjang? Wallahualam. Mari kita resfresh kesadaran kita dan renungkan ulang!
Saya yakin, itu tidak berhenti sampai di situ, bahkan ke depan akan lebih kencang dan masif lagi. Kebijakan nasional terkait IKN salah satu faktor utama yg akan mendorong kemasifan tersebut. Hak dan kedaulatan kolektif atas tanah dan hutan yg diwariskan Tuhan kepada leluhur kita. Semua itu warisan leluhur yg wajib kita jaga, pelihara/rawat dan manfaatkan utk anak-cucu yg akan datang. Tidak boleh ada 1 pun org boleh merebut atau merampasnya dalam bentuk apapun.
Mari kita bangkitkan kesadaran kolektif untuk melihat, mengkaji, mengevaluasi dan mewaspadai ke depan,
akan masifnya penghinaan dan perendahan martabat komunitas dayak dalam bentuk perampokan hak ruang hidup.
Perampokan tanah dan hutan kita. Kalau sudah diambil atau dirampok sejak lama, ayooo... harus diminta dan atau rebut kembali!
Demikian upaya memahat kata merangkai kalimat untuk memaknai dan mendapatkan makna sesuatu dari suatu peristiwa dari Sudut Mata GKđąđ¤đ
***
#SM-GK/27/1/2022đą