Riset Budaya Dayak Dalam Novel Sejarah "Ngayau"
Karya sastra adalah luapan spontan dari perasaan yang kuat sebagai cermin emosi yang dikumpulkan dalam keheningan yang mendalam kemudian direduksi dalam penciptaan melalui pemikiran. Sebuah karya sastra sangat dipengaruhi oleh berbagai permasalahan sosial yang biasanya tercermin di dalamnya. Permasalahan sosial dipengaruhi oleh adanya ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan, dengan demikian maka sebagai anggota masyarakat, pengarang dengan sendirinya lebih berhasil untuk melukiskan masyarakat di tempat ia tinggal, lingkungan hidup yang benar-benar dialaminya secara nyata.
Karya sastra akan masuk dalam konsep yang sudah ada dalam kehidupan, berpijak pada gambaran yang terdapat dalam karya tersebut sudah memiliki konsep yang telah dipahami oleh manusia termasuk penggunaan latar, tokoh, ataupun ide yang disampaikan. Walupun karya tersebut sedang memaparkan sebuah teori, ideologi, atau bukti sejarah seperti novel yang sekarang ini banyak digemari orang. Namun pengarang bisa membaurkan kenyataan dan realitas kehidupan dengan imajinasi sehingga terjadilah pengembangan cerita dan sisipan-sisipan yang menarik untuk pembaca dalam memahami karya sastra.
Perkembangan novel di Indonesia, dari masa ke masa memiliki karakteristik masing-masing. Bila diamati lebih jeli, perkembangan novel melingkupi banyak hal. Perkembangan tersebut tidak hanya dari segi bahasa dan ide, namun kebutuhan dan keadaan kondisi pada zamannya banyak mempengaruhi setiap novel yang diciptakan. Novel dapat dilatarbelakangi oleh gagasan yang ingin ditanamkan pengarang pada pembaca. Dalam penelitian murni, jelas tampak bahwa novel berurusan dengan tekstur sosial, ekonomi dan politik yang juga menjadi urusan sosiologi. Perbedaan yang ada antara keduanya bahwa sosiologi melakukan ilmiah yang objektif, sedangkan novel menyusup, menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya. Sastra lahir, tumbuh dan hidup dalam masyarakat. Novel merupakan hasil karya sastra yang mewakili gagasan-gagasan peneliti tentang sesuatu yang ingin diwakili oleh karya yang diciptakan.
Budaya “ngayau” merupakan sejarah kelam manusia dayak yang perlu diketahui oleh generasi penerus dayak karena telah banyak memakan korban bahkan sesama manusia dayak itu sendiri yang sebetulnya sudah dilarang sejak perjanjian damai di Tumbang Anoi pada tahun 1894, namun seiring perkembangan zaman dari waktu ke waktu budaya “ngayau” telah mengalami evolusi yang pada intinya bagaimana manusia dayak menjaga eksistensi klan, bagaimana mempertahankan diri dari serangan luar dalam berbagai bentuk termasuk perlakuan yang kurang adil oleh penguasa, politik adu domba serta bagaimana menjaga keseimbangan sosial dan ekosistem.
Sejarah kelam dan mengerikan tentang budaya “ngayau” tersebut jangan sampai terulang, untuk itu di satu sisi sangat penting bagi generasi muda khususnya orang dayak untuk mengenal sejarahnya agar dapat merefleksi diri dan disisi lain mudah-mudahan dengan penelitian ini semua kalangan bisa mengambil manfaat, karena siapa saja yang melihat “kepala merah” akan takut sehingga dialek Hakka di Kalimantan Barat menyebutnya “Cheu fung theu” atau lari terbirit-birit karena amukannya. Dalam peristiwa “tariu” seseorang tidak ingat apa-apa lagi, karena otaknya seperti diprogram menjelma jadi seorang panglima perang yang hanya dengan meneriakkan kata “tariu...tariu....tariuuu...” maka akan muncul berlaksa-laksa manusia kepala merah yang siap menerima perintah untuk memenggal kepala musuh sehingga terjadilah amuk massa yang tidak bisa dikendalikan. Maka usahakan jangan sampai ada peristiwa mengerikan “mangkok merah” dan “tariu” lagi di Kalimantan.
Budaya merupakan aset sebuah negara yang dapat menjadi indentitas negara tersebut, jadi budaya harus tetap dipertahankan dan dilestarikan agar dapat tetap menjadi indentitas negara. Budaya juga dapat berperan penting dalam menarik minat masyarakat Internasional untuk mereka kenali, ketahui, bahkan untuk dipelajari. Masyarakat Dayak yang ada di Kalimantan sudah semestinya mengenali budayanya sendiri dan juga memiliki kewajiban untuk melestarikannya, tetapi untuk mengenal dan melestarikan budaya bukanlah hal yang mudah karena Kalimantan memiliki beragam suku.
Sangat penting bagi generasi muda mengenali terlebih dahulu budaya lokal Kalimantan Barat, dengan mengenal dan melestarikan kebudayaan lokal dapat membuat suatu perubahan yang baru di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat yang akan sangat berguna untuk negara, jika generasi muda dapat melestarikan kebudayaan lokal dan memperbaikinya menuju ke arah yang lebih baik dan positif.
Pada ranah pendidikan, terutama pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah, sangat penting sekali mempelajari kebudayaan masyarakat di Kalimantan Barat melalui kajian karya sastra novel berdasar sejarah Ngayau Misteri Manusia Kepala Merah. Pembelajaran sastra dapat membangkitkan keindahan, kepekaan, interaksi, bahkan sampai cara pandang hidup serta kondisi sosial yang ada di dalam masyarakat. Dengan melakukan penelitian ini, peneliti berharap analisis budaya dayak dalam novel berdasar sejarah Ngayau Misteri Manusia Kepala Merah bisa dijadikan pelajaran dalam kehidupan, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat sehingga setiap orang dapat mengenal aktualisasi dan transformasi budaya dayak sesuai dengan perubahan zaman.
Budaya Dayak Dalam Novel Sejarah Ngayau Misteri Manusia Kepala Merah
Ngayau Misteri Manusia Kepala Merah adalah sebuah novel yang berisi cerita fiksi berdasar sejarah dengan berlatar belakang Budaya Dayak, perjalanan dari ribuan waktu di masa lalu ke masa depan. Walaupun berupa novel tapi menceritakan kejadian-kejadian yang merupakan tradisi lisan dan sejarah suku Bangsa Dayak di Kalimantan secara umum dan Kalimantan Barat secara khusus.
Kepercayaan Masyarakat Suku Dayak
Sistem kepercayaan masyarakat Dayak berkaitan dengan hal-hal mistis, roh dan kekuatan gaib. Kutipan yang ada pada novel menggambarkan sistem kepercayaan dalam masyarakat Dayak pada masa di mana masyarakat Dayak masih mempercayai roh-roh seperti sangiang nayu-nayu (roh baik) dan Taloh-kambe (roh jahat), seperti salah satu kutipan dalam novel Ngayau Misteri Manusia Kepala Merah berikut ini:
“Darah purifikasi lebih sakti datang dari musuh yang menyerang, bukan yang kita serang. Kita lakukan serangan mendadak.Sebelum fajar menyingsing, kita sudah harus dirikan tiang-tiang penyangga betang.Lalu mengoleskan jenang-jenang pintu lawakng dengan darah agar jadi kuat. Siap Macatn!. (Ngayau Misteri Manusia Kepala Merah, 2014:33).
Kutipan tersebut, menceritakan tentang darah purifikasi atau darah pembersihan, di mana diyakini pada saat itu bahwa darah purifikasi lebih sakti apabila diambil dari darah musuh yang menyerang, bukan yang diserang. Macatn Gaikng juga menjelaskan bahwa saat tepat untuk ngayau ialah ketika padi-padi di ladang mulai menguning agar nanti pas pesta panen padi, kepala-kepala musuh ditarikan dalam pesta panen yang disebut gawai notokng.
Adat Istiadat
Meskipun saat ini sebagian Suku Dayak sudah mau berbaur dengan masyarakat umum, namun yang menjadi satu ciri khas mereka adalah mereka tetap berpegang teguh kepada adat istiadat dari nenek moyang mereka terutama yang berhubungan dengan supranatural, seperti salah satu kutipan dalam novel Ngayau Misteri Manusia Kepala Merah berikut ini :
“Kamu tahu bahwa betang yang akan kita dirikan perlu purifikasi, darah pembersihan?Agar nanti pas pesta panen padi, kepala-kepala musuh ditarikan dalam pesta yang disebut gawai notokng. Ya.Makanya, lekas siapkan pasukan.” (Ngayau Misteri Manusia Kepala Merah, 2014:33).
Kutipan tersebut menceritakan tentang rencana pembuatan sebuah rumah betang. Gawai notokng adalah tradisi di mana kepala-kepala musuh hasil ngayau ditarikan dalam sebuah pesta. Macatn Gaikng juga menjelaskan bahwa saat yang tepat untuk ngayau ialah ketika padi-padi di ladang sedang menguning agar setelah panen saat dilaksanakan pesta padi bersamaan dengan upacara tersebut kepala-kepala musuh hasil ngayau ditarikan.
Gawai notokng masuk dalam adat tradisi atau kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun dalam masyarakat Dayak, namun di saat sekarang tradisi ini yang sudah tidak relevan lagi dengan kehidupan masyarakat terutama berkaitan dengan menarikan kepala-kepala musuh hasil ngayau, karena pada dasarnya tradisi ngayau sudah dilarang sejak perjanjian di Tumbang Anoi. Oleh karena itu Gawai bagi masyarakat saat ini adalah “pesta panen” saja tidak lagi disertai dengan menarikan kepala musuh hasil ngayau.
Mesianisme Dalam Masyarakat Dayak
Mesianisme merupakan suatu konsep adanya suatu pengharapan akan hadirnya sosok (tokoh) pembebas atau sang penyelamat bagi manusia dayak di dalam penderitaannya. Mesianisme dalam masyarakat petani dayak lebih konkrit dan riil, karena masyarakat dayak secara langsung atau tidak langsung telah menampilkan secara perlahan-lahan dan pasti “mesiah(s)” yang dianggap sebagai “pahlawan-pahlawan” atau “raja-raja” semacam Ratu Adil dan Imam Mahdi yang dipercaya akan muncul ke bumi secara riil dan konkret melalui generasi muda etnik dayak yang berpendidikan dan memiliki keterampilan dan keahlian dalam berbagai bidang. Mereka inilah yang dianggap sebagai “mesiah(s)” dan dipercaya mampu menciptakan kembali “zaman keemasan” bagi masyarakatnya. Seperti salah satu kutipan dalam novel Ngayau Misteri Manusia Kepala Merah berikut ini :
“Tapi hati-hati! Kamu harus dapat menerobos, masuk perkemahan musuh. Lalu cari tahu, seberapa besar kekuatan mereka!. Siap!. Setelah berhasil menunaikan tugas, lekas kembali ke sini!. Siap!. (Ngayau Misteri Manusia Kepala Merah, 2014:25)
Tokoh-tokoh masa lalu seperti Macatn Gaikng, Panglima Burung, Damamakng Bunso, Domia, Putri Dara Juanti adalah sosok yang sangat dinanti oleh masyarakat Dayak untuk menyelamatkan manusia Dayak dari ketertinggalan. Sedangkan tokoh Mesianisme bagi masyarakat Dayak yang sangat dinanti di era sekarang sudah mulai muncul seperti Eunomia Mae Kola Jora, Agustinus Teras Narang, Alue Dohong, Masri Sareb Putra, Paulus Florus,Jhon Bamba, Munaldus, Masiun, Mecer, Para Pendiri CU, Mgr. Agustinus Agus,Pr, Daud Cino Jordan, Yansen Tipa Padan dan masih banyak tokoh Dayak lainnya yang tampil sebagai “mesiah(s)” bagi etnik Dayak dari berbagai bidang.
Gerakan sosial tidak selamanya berbentuk partai politik, organisasi massa, kesatuan aksi, atau gerakan separatis. Gerakan sosial itu dapat pula berbentuk kritik dan reaksi sosial jangka panjang yang dilancarkan suatu kelompok tertentu sering terjadi pada kelompok etnik tidak dominan terhadap tekanan dan ketidakadilan yang dilakukan kekuasaan dari luar atau kelompok sosial yang mendominasi.