Konflik Agraria, Negara dan Swasta Versus Masyarakat Adat
Masyarakat adat merupakan suatu komunitas asli yang masih tetap eksis mempertahankan identitas aslinya berdasarkan kewenangan tradisional dan hak asal usul yang diwariskan secara turun temurun jauh sebelum Negara modern berdiri.
Fakta menunjukkan bahwa kehadiran rezim kolonisasi, modernisasi dan negaranisasi tidak saja berdampak positif bagi pembangunan masyarakat, tetapi juga menimbulkan berbagai konflik perebutan sumber daya antara Negara, Swasta dengan masyarakat adat. Akibatnya telah mendorong terbentuknya suatu kelompok masyarakat adat di berbagai belahan dunia sebagai kelompok marginal dan terpinggirkan selama berabad-abad lamanya.
Di beberapa wilayah tanah air bahkan sering terjadi pembabatan hutan dan penggusuran tanah masyarakat adat secara sepihak oleh oknum-oknum yang tak bertanggung jawab. Tindakan seperti ini mestinya tak perlu terjadi, karena secara nyata telah mencedrai nilai-nilai pancasila dan cita-cita luhur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Negara (ATR/BPN) mencatat hingga Oktober 2020, sengketa, konflik dan perkara pengadilan mengenai pertanahan berjumlah 9.000 kasus. Jumlah kasus konflik pertanahan ini tersebar di seluruh wilayah Indonesia, (Kompas,Com, 4/11/2020).
Sedangkan konflik agraria yang terjadi di berbagai sektor sepanjang tahun 2020 sebanyak 241 kasus dan mayoritas kasusnya di sektor perkebunan dan kehutanan, korban terdampak sebanyak 135.332 Kepala Keluarga, (Kompas.com, 6/1/2021). Selanjutnya menurut KPA selama tahun 2015-2019 ada 55 orang tewas, 75 orang mendapat luka tembak, 757 orang dianiaya dan 1.298 orang dikriminalisasi karena mempertahankan hak atas tanahnya, (KBR, Jakarta, 7/1 2020).
Berbagai konflik agraria yang melibatkan Negara, swasta dengan masyarakat diduga timbul karena adanya perbedaan perspektif antara Negara dan masyarakat adat dalam memahami persoalan agraria.
Negara/Pemerintah cenderung menggunakan hukum Negara untuk mengklaim dan menyelesaikan konflik tanah dan lingkungan alam dengan mengabaikan kepentingan masyarakat adat sebagai pemilik atas sumber daya alam di wilayah ulayatnya. Sedangkan Masyarakat adat menyelesaikan konflik tanah warisan leluhurnya secara arif dan bijaksana berdasarkan otoritas tradisional yang dimiliki secara turun temurun.
Konvensi Warisan Dunia, Tahun 1972 sejatinya memberikan penguatan dan pengaruh signifikan bagi perjuangan masyarakat adat. Karena konvensi tersebut bertujuan untuk mendorong identifikasi, perlindungan, pelestarian warisan budaya dan alam di seluruh dunia yang dianggap memiliki nilai luar biasa bagi kemanusiaan.
Itu sebabnya secara substantif konvensi ini telah memberikan perlindungan bagi masyarakat asli (indigenous peoples) atau masyarakat adat yang mencakup pengakuan untuk mempertahankan identitas aslinya di berbagai bidang kehidupan.
Hasil konvensi warisan dunia ternyata banyak menginspirasi dan menggerakkan kekuatan komunitas masyarakat adat dunia sebagai alat untuk memperjuangkan dan melindungi lingkungan alam dan tanah warisan menghadapi Negara dan kekuatan Kapitalis.
Beberapa contoh kasus di antaranya, seperti masyarakat Mirarr di Kakadu, Australia, yang menggunakan Konvensi Warisan Dunia untuk menghentikan penambangan Uranium dan kini kawasan Kakadu sudah terdaftar sebagai warisan dunia UNESCO sebagai taman nasional terbesar di Australia. Demikian juga perjuangan masyarakat adat Ainu agar kembali menjadi produsen kerajinan etnik serta perjuangan orang Hawaii dalam membangun komunitas dan identitasnya.
RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Hukum Adat yang telah diinisiasi DPR RI periode 2014-2019 dari fraksi Nasdem, sejatinya merupakan salah satu alternatif meredam merebaknya konflik agraria. Namun rupanya sampai dengan berakhirnya masa jabatan, DPR RI tak kunjung selesai dan gagal merampungkan tugas pembahasannya.
Mencermati alotnya pembahasan RUU ini menunjukkan bahwa sesungguhnya masih terjadi tarik menarik kepentingan politik yang luar biasa di antara pemerintah, DPR RI, swasta dan masyarakat sipil. Sejatinya dalam konteks ini komitmen partai politik, DPR RI dan Pemerintah diuji kemana arah keberpihakannya.
Publik tentu memahami bahwa suatu kebijakan merupakan produk politik dan dengan demikian tak lepas dari sejumlah kepentingan berbeda yang harus diperjuangkan. Meskipun begitu harus diingat bahwa apapun alasannya kepentingan masyarakat tetap menjadi prioritas utama untuk dibela dan tak boleh dikorbankan.
Saat ini RUU tentang Masyarakat adat telah masuk kembali dalam program legislasi nasional, namun publik bertanya-tanya apakah DPR RI periode 2019-2024 masih memiliki political wil dan komitmennya pada masyarakat adat untuk menuntaskan pembahasan RUU tersebut.
Atau maukah partai politik mendorong fraksinya di DPR RI periode 2019-2024 untuk segera membahas kembali RUU tentang masyarakat hukum adat dan menetapkan menjadi suatu Undang-undang yang telah tertunda sekian tahun lamanya.
Secara substantif penetapan RUU tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat merupakan hal yang sangat urgen dan niscaya guna membentengi kepentingan masyarakat hukum adat menghadapi berbagai tekanan baik dari negara maupun dari kekuatan kapitalis dalam mengeksplorasi sumber daya alam atas nama modernisasi pembangunan di segala bidang.
Sejumlah regulasi sebelumnya yang mengatur tentang desa adat seperti yang tertuang dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan PP tentang peraturan pelaksanaan maupun sejumlah regulasi turunan lain dalam tahap implementasi, ternyata saling tumpang tindih sehingga kemudian menyandera asas pengaturan rekognisi dan asas subsidiaritas terkait pemenuhan hak-hak konstitusional masyarakat adat. Bahkan sebagian besar pemerintah provinsi tak rela mengeluarkan peraturan daerah guna membentuk desa adat sebagai mana diamanatkan dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Oleh karena itu pembahasan dan penetapan mengenai RUU inipun menjadi sangat esensial dan sekaligus memastikan bahwa kepentingan masyarakat adat secara komprehensif tak terabaikan. Termasuk juga program Nawa Cita ketiga Presiden Jokowi yakni “membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka NKRI” dapat berjalan dengan lancar tanpa harus mengorbankan hak-hak konstitusional masyarakat adat.
Itu sebabnya semua elemen masyarakat sipil yang peduli dengan kepentingan masyarakat adat agar tetap konsisten dan bersinergi membangun kekuatan bersama, mengkawal pemerintah dan DPR RI periode 2019-2024 menuntaskan tugas pembahasan atas RUU tentang masyarakat adat menjadi undang-undang. Inilah pekerjaan rumah bagi fraksi-fraksi di DPR RI periode ini yang mestinya tak bisa ditunda lagi sampai dengan masa jabatannya berakhir.
Revisi serius atas beberapa pasal dan ayat dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, merupakan hal niscaya, terutama pada pasal; 96, 98 dan 101 yang berkenaan dengan kewenangan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten dalam menetapkan desa adat melalui peraturan daerah, mestinya diganti dengan peraturan desa agar lebih efektif dan tidak menghalangi proses pembentukan desa adat sebagimana dialami pemerintah desa selama ini.
Dengan demikian konflik agraria antara Negara, swasta dengan masyarakat maupun konflik yang dipicu oleh para mafia tanah terkait pemalsuan dokumen maupun perampasan sumber daya alam masyarakat selama ini yang selalu disertai dengan intimidasi, tindak kekerasan fisik dan mental serta kriminalisasi terhadap masyarakat di sejumlah wilayah tanah air, seharusnya bisa dikendalikan dan tak perlu terjadi berulang kali, jika sudah ada payung hukum yang jelas mengenai perlindungan dan pengakuan atas hak-hak konstitusional masyarakat adat.
***