Budaya

Konflik Agraria, Negara dan Swasta Versus Masyarakat Adat  

Sabtu, 15 Mei 2021, 12:04 WIB
Dibaca 2.039
Konflik Agraria, Negara dan Swasta Versus Masyarakat Adat   

Masyarakat adat merupakan suatu komunitas asli  yang  masih tetap eksis  mempertahankan identitas aslinya berdasarkan kewenangan tradisional  dan hak asal usul yang diwariskan secara turun temurun  jauh sebelum Negara modern berdiri.   

Fakta menunjukkan bahwa kehadiran rezim kolonisasi, modernisasi dan negaranisasi  tidak saja berdampak positif bagi pembangunan masyarakat, tetapi juga menimbulkan berbagai konflik perebutan sumber daya antara Negara, Swasta    dengan masyarakat adat. Akibatnya telah mendorong terbentuknya  suatu kelompok masyarakat adat di berbagai belahan dunia sebagai kelompok marginal dan terpinggirkan  selama berabad-abad lamanya. 

Di beberapa wilayah tanah air bahkan sering terjadi pembabatan hutan dan penggusuran tanah masyarakat adat secara sepihak oleh oknum-oknum yang tak bertanggung jawab.  Tindakan  seperti ini mestinya tak perlu terjadi, karena secara nyata telah mencedrai nilai-nilai pancasila dan cita-cita luhur  dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Negara (ATR/BPN) mencatat hingga Oktober 2020, sengketa, konflik dan perkara pengadilan mengenai pertanahan berjumlah 9.000 kasus. Jumlah kasus konflik pertanahan ini tersebar di seluruh wilayah Indonesia, (Kompas,Com, 4/11/2020).

Sedangkan  konflik agraria  yang terjadi di berbagai sektor sepanjang tahun 2020 sebanyak 241 kasus dan  mayoritas  kasusnya di sektor perkebunan dan kehutanan,  korban terdampak sebanyak 135.332 Kepala Keluarga, (Kompas.com, 6/1/2021).   Selanjutnya  menurut KPA selama tahun 2015-2019 ada 55 orang tewas, 75 orang mendapat luka tembak, 757 orang dianiaya dan 1.298 orang dikriminalisasi karena mempertahankan hak atas tanahnya, (KBR, Jakarta, 7/1 2020).

Berbagai konflik agraria  yang  melibatkan Negara, swasta  dengan masyarakat  diduga  timbul  karena adanya perbedaan perspektif antara Negara dan masyarakat adat dalam memahami persoalan agraria.

Negara/Pemerintah cenderung  menggunakan hukum Negara untuk mengklaim  dan menyelesaikan konflik tanah dan lingkungan alam dengan mengabaikan kepentingan   masyarakat adat sebagai pemilik atas sumber daya alam di wilayah ulayatnya. Sedangkan Masyarakat adat menyelesaikan konflik tanah warisan leluhurnya secara arif dan bijaksana   berdasarkan  otoritas tradisional yang dimiliki secara turun temurun. 

Konvensi Warisan Dunia, Tahun 1972 sejatinya memberikan penguatan dan pengaruh signifikan bagi perjuangan masyarakat adat. Karena konvensi tersebut bertujuan untuk mendorong identifikasi, perlindungan, pelestarian warisan budaya dan alam di seluruh dunia yang dianggap memiliki nilai luar biasa bagi kemanusiaan.

Itu sebabnya  secara substantif  konvensi ini telah memberikan  perlindungan bagi masyarakat asli (indigenous peoples) atau masyarakat adat yang mencakup pengakuan untuk mempertahankan identitas aslinya di berbagai bidang kehidupan.

Hasil konvensi  warisan dunia ternyata  banyak menginspirasi dan menggerakkan kekuatan komunitas masyarakat adat  dunia sebagai  alat untuk memperjuangkan dan melindungi lingkungan alam dan tanah warisan  menghadapi  Negara dan kekuatan Kapitalis.   

Beberapa contoh kasus di antaranya, seperti  masyarakat Mirarr di Kakadu, Australia, yang menggunakan Konvensi Warisan Dunia untuk menghentikan penambangan Uranium  dan kini kawasan Kakadu sudah  terdaftar  sebagai warisan dunia UNESCO sebagai taman nasional terbesar di Australia. Demikian juga  perjuangan masyarakat adat Ainu agar kembali menjadi produsen kerajinan etnik  serta  perjuangan orang Hawaii  dalam  membangun komunitas dan identitasnya. 

RUU tentang Pengakuan  dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Hukum Adat  yang telah diinisiasi DPR RI periode 2014-2019 dari fraksi Nasdem, sejatinya merupakan salah satu alternatif meredam merebaknya konflik agraria. Namun rupanya  sampai dengan berakhirnya masa jabatan,  DPR RI  tak kunjung selesai dan gagal merampungkan  tugas pembahasannya.   

Mencermati alotnya pembahasan RUU ini menunjukkan bahwa sesungguhnya masih terjadi tarik menarik kepentingan politik yang luar biasa di antara pemerintah, DPR RI, swasta dan masyarakat sipil. Sejatinya dalam konteks ini komitmen  partai politik, DPR RI dan Pemerintah diuji kemana arah keberpihakannya.

Publik tentu memahami bahwa suatu kebijakan merupakan produk politik dan dengan demikian tak lepas dari sejumlah kepentingan  berbeda yang harus diperjuangkan. Meskipun begitu harus diingat bahwa apapun alasannya kepentingan masyarakat tetap menjadi prioritas utama  untuk dibela dan tak boleh dikorbankan.

Saat ini RUU tentang Masyarakat adat telah masuk kembali dalam program legislasi nasional, namun publik  bertanya-tanya  apakah  DPR RI periode  2019-2024  masih memiliki political wil  dan komitmennya pada masyarakat adat  untuk menuntaskan pembahasan RUU tersebut.

Atau  maukah  partai politik mendorong fraksinya di  DPR RI periode 2019-2024 untuk segera membahas kembali RUU tentang masyarakat hukum adat dan menetapkan menjadi suatu Undang-undang yang telah tertunda sekian tahun lamanya.

Secara substantif penetapan  RUU  tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat  merupakan hal yang sangat urgen dan niscaya guna membentengi kepentingan masyarakat hukum adat menghadapi  berbagai tekanan baik dari negara maupun dari kekuatan  kapitalis  dalam mengeksplorasi sumber daya alam  atas nama modernisasi pembangunan di segala bidang.

Sejumlah regulasi sebelumnya yang mengatur tentang desa adat seperti yang tertuang dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan PP tentang peraturan pelaksanaan maupun sejumlah regulasi turunan lain  dalam tahap implementasi,  ternyata saling tumpang tindih  sehingga kemudian  menyandera asas pengaturan rekognisi dan asas subsidiaritas  terkait pemenuhan  hak-hak konstitusional masyarakat adat. Bahkan sebagian besar pemerintah provinsi tak rela mengeluarkan  peraturan daerah guna membentuk desa adat  sebagai mana diamanatkan dalam  UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Oleh karena itu  pembahasan dan penetapan mengenai RUU inipun menjadi sangat esensial dan sekaligus  memastikan bahwa  kepentingan masyarakat adat secara komprehensif  tak terabaikan. Termasuk  juga  program Nawa Cita ketiga Presiden Jokowi yakni “membangun Indonesia dari  pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka NKRI”  dapat  berjalan dengan lancar tanpa harus mengorbankan  hak-hak konstitusional masyarakat adat.

Itu sebabnya semua elemen masyarakat sipil yang peduli dengan kepentingan masyarakat adat agar tetap konsisten dan bersinergi  membangun kekuatan bersama,  mengkawal pemerintah dan DPR RI periode 2019-2024  menuntaskan  tugas pembahasan atas RUU tentang  masyarakat  adat menjadi undang-undang. Inilah pekerjaan rumah bagi fraksi-fraksi di DPR RI periode ini yang mestinya tak bisa ditunda lagi sampai dengan masa jabatannya berakhir.

Revisi serius atas beberapa pasal dan ayat dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, merupakan hal niscaya, terutama  pada pasal;  96, 98 dan 101 yang berkenaan  dengan kewenangan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten dalam menetapkan desa adat melalui peraturan daerah,  mestinya diganti  dengan  peraturan desa  agar lebih efektif dan tidak menghalangi proses pembentukan desa adat  sebagimana dialami pemerintah desa selama ini.

Dengan demikian konflik agraria antara Negara, swasta  dengan masyarakat maupun konflik yang dipicu oleh para mafia tanah terkait pemalsuan dokumen maupun perampasan  sumber daya alam masyarakat selama ini yang selalu disertai dengan intimidasi, tindak kekerasan fisik dan mental serta  kriminalisasi  terhadap masyarakat di sejumlah wilayah tanah air,  seharusnya bisa dikendalikan dan tak perlu terjadi berulang kali, jika sudah ada payung hukum yang jelas mengenai perlindungan dan pengakuan  atas hak-hak konstitusional masyarakat adat.

***