Botompa’ Bododat: Mengenal Sistem Peladangan Dayak Kancikgh (3)
Botompa’ Bododat adalah : menempa - mengasah, secara harfiah, itu padanan yang pas dalam bahasa Indonesia. Suatu proses awal dalam sistem peladangan manusia Dayak. Mestinya, bagian ini adalah tulisan yang pertama dilihat dari seluruh proses rangkaian sisem peladangan orang Dayak. Namun, untuk Pembaca yang awam, sengaja ditaruh menjadi yang kedua. Sebab pasti akan bertanya-tanya: Mengapa ladang tidak dimulai dari proses melihat lahan dan membersihkan lahan?
Orang Kancikgh sangat akrab dan banyak bergantung dengan perkakas yang terbuat dari besi atau baja. Hal itu dalam rangka menyelesaikan segala jenis pekerjaan dalam kehidupan mereka terutama pekerjaan yang terkait dengan pertanian. Mereka senantiasa memperlakukan perkakas mereka dengan apik. Bahkan sedikit agak mistis.
Banyak di antara pencinta perkakas besi bahkan rela menukarkan ternak mereka dengan sebilah lempengan baja yang mungkin oleh pemilik asalnya sebenarnya sudah tidak berguna lagi. Lempengan baja tersebut mereka tempa untuk dijadikan perkakas seperti parang, beliung, pisau raut, pisau toreh, tombak, tombak bertaji (Kancikgh “bayoet”), alat tusuk dan lain sebagainya.
Setelah jadi, perkakas tersebut harus disimpan dalam sarung yang mereka buat dari lempengan kayu, anyaman rotan, atau pelepah pinang, bahkan ada beberapa yang berjiwa seni rela membuang waktu untuk membuat sarung dan gagang atau hulu parang mereka dengan motif dan ukiran yang menawan. Pada saat upacara “nyopat soa” (gawai akhir tahun) perkakas-perkakas tersebut di-“jujong songkolatn” (diberkati) dan diberi “umpan makan” (sesajian) sebagai ungkapan rasa terima kasih atas jasa-jasanya kepada manusia sekalian meminta agar mereka tidak berniat jahat mencelakakan tuannya.
Pekerjaan menempa besi atau baja menjadi perkakas di kalangan Orang Kancikgh disebut “nodat” atau “botompa bododat.”
Salah satu keterampilan tingkat tinggi yang menunjukkan kualitas laki-laki Kancikgh adalah keahlian mereka dalam botompa bododat, membuat perkakas dari besi atau baja.
Untuk laki-laki yang tingkat keterampilannya belum sampai pada taraf membuat perkakas, paling tidak harus bisa botompa bododat dalam rangka memperbaiki perkakas yang sudah menumpul atau cacat karena dipakai selama beberapa waktu, agar kembali sempurna, keras, kuat dan tajam. Oleh karena itulah, untuk memastikan bahwa perkakas yang hendak digunakan baik dan cukup dari segi kuantitas maupun kualitasnya sebelum digunakan untuk memulai kegiatan berladang, para peladang harus menempa perkakas mereka. Jika masih kurang dari segi jumlah, maka harus dilakukan upaya untuk menambah jumlah perkakas dengan cara mencetak atau membuat perkakas baru. Alat yang digunakan untuk botompa bododat terdiri dari 5 (lima) macam yaitu:
- Koputatn atau belandung; adalah alat pompa angin yang terbuat dari 2 batang kayu berlubang yang dipasang bergandengan. Untuk memompa angin dari lubang tersebut dibuat tuas kayu yang ujungnya dipasang lempengan kayu bundar yang dibalut dengan bulu-buluan;
- Toyodok; sejenis tungku dari sebongkah batu yang dilubangi sebagai pembatas antara api dan bambu penyalur angin dari koputatn;
- Tukol atau tukul; sejenis godam yang digunakan untuk memukul besi membara pada saat botompa bododat;
- Lonas; adalah bongkahan plat besi atau baja yang dijadikan alas botompa bododat;
- Kikir/gerinda; alat yang digunakan untuk merapikan atau menajamkan perkakas setelah ditempa.
Di samping peralatan, bahan-bahan yang diperlukan pada kegiatan botompa bododat adalah:
1) arang; untuk bahan bakar;
2) penciong; adalah 2 (dua) ruas bambu untuk menyalurkan angin dari koputatn ke toyodok;
3) air dingin; digunakan dalam penyepuhan; dan
4) perkakas; yaitu bahan-bahan terbuat dari besi/baja yang akan ditempa.
Keahlian dalam membuat perkakas menunjukkan tingginya peradaban Suku Dayak Kancikgh sejak manusia mulai memasuki era logam. Walaupun menggunakan teknologi yang masih sangat sederhana, namun perlatan mereka mampu untuk memenuhi kebutuhan akan perkakas untuk bertani.
Suatu peradaban yang menjadi tonggak kejayaan yang harus dikenang. Juga wajib dilestarikan oleh generasi-generasi berikutnya.
Tulisan ini mengabadikan nilai adat budaya leluhur suku bangsa Dayak. Membagi-bagi informasi dan pengetahuan-diam. Heritage yang selama ini tersimpan. Sebagai kekayaan. Sekaligus khasanah bukan saja suku Dayak, melainkan bangsa Indonesia.