Kaltara Bahagia
Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini merilis peringkat provinsi paling bahagia di Indonesia. Melalui Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK) tahun 2021. Dan betapa membanggakan, sekaligus juga mengagetkan. Kalimantan Utara (Kaltara) menempati posisi kedua.
Poinnya bahkan berbeda tipis dengan peringkat nomor satu, Maluku Utara. Hanya berbeda 0,01 poin. Maluku Utara dengan skor 76,34. Dan Kaltara dengan skor 76,33. Data indeks kebahagiaan itu, sontak membuat warga Kaltara senang. Walau pun kebahagiaan tidak menjadi indikator kemajuan suatu wilayah.
Saya yang tujuh bulan terakhir, ditempatkan di provinsi ini, secara pribadi pun mengakuinya. Saya memang lebih bahagia ada di sini.
Klaim itu bahkan tidak datang dari saya pribadi. Awal tahun lalu saya sempat cuti, dan pulang ke kampung asal saya di Kalimantan Timur (Kaltim). Hampir semua orang yang saya temui, bilang saya gemukan. Dan kata mereka, saya terlihat lebih bahagia.
Well, lalu saya bercermin dan melihat wajah saya sendiri. Memang ya, agak gemukan. Haha. (Padahal makanan di Kaltara ini mahal-mahal).
Kaltim - Kaltara sebenarnya adalah dua provinsi yang identik. Apalagi, secara history, mereka dulunya satu kesatuan. Sebelum Kaltara mekar menjadi sebuah provinsi pada 2012. Meski demikian, dalam banyak hal, Kaltim - Kaltara memiliki banyak perbedaan. Perbedaan itu lah, yang secara pribadi, menjadi indikator saya lebih betah (bahagia) di Kaltara.
Pertama, jumlah penduduknya sedikit.
Jumlah penduduk Kaltara tidak terlalu banyak. Hanya sekitar 700 ribu jiwa. Dibanding penduduk Kaltim yang mencapai 3,8 juta jiwa. Jumlah penduduk se-provinsi ini, hanya setara dengan penduduk Kota Balikpapan. Padahal melihat luas wilayahnya, Kaltara berpotensi bisa menambah jumlah penduduk, minimal setengah dari populasi Kaltim.
Gubernur Kaltara, Zainal Arifin Paliwang bahkan menarget, Kaltara bisa menambah jumlah penduduk menjadi 1 juta jiwa dalam dua tahun kedepan. Tapi jujur lah, saya lebih senang keadaannya yang seperti sekarang. Lebih tenang. Jangan terlalu banyak manusia. Saya yang punya sebagian jiwa introvert, sangat menyukai kota yang sepi.
Sedikitnya manusia sejalan dengan sedikitnya jumlah kendaraan di jalan. Jadi potensi polusi udara berkurang dan tidak ada macet. Terutama di wilayah ibu kotanya, Tanjung Selor.
Bahkan, ada anekdot dari warga Tanjung Selor yang bilang "Yang bisa menghentikan kendaraan kita di sini, hanya lampu merah." Tidak ada kendaraan padat merayap oleh sebab kemacetan.
Kedua, budayanya masih sangat kental.
Hampir di setiap acara, ada tarian daerah yang ditampilkan. Di Kaltim, tarian daerah yang paling sering saya lihat hanya tarian Dayak. Itu pun, sudah jarang ditampilkan kalau bukan acara besar. Di Kaltara saya bisa melihat tarian dari suku lain. Seperti Tidung dan Bulungan. Ada satu momen, saat perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Bulungan, pada 12 Oktober 2021 lalu. Seluruh orang memakai pakaian adat memenuhi halaman kantor bupati, menari Jepen bersama. Asyik sekali. Sejak itu lah, saya ingin belajar tari Jepen. Di Kaltim, tidak pernah saya memiliki hasrat belajar tari daerah.
Dan satu lagi, tari Semajau. Tarian ini tidak perlu dipelajari. Kita cukup berbaris melingkar, saling memegang pundak orang di depan. Lalu berjalan membentuk lingkaran. Mengikuti irama musik yang diputar. Seru sekali.
Ketiga, nasionalisme kedaerahan terus dipupuk.
Saya mengakui tagline 'Kaltara dihati' itu mengena sekali. Kaltara dihati itu, tidak perlu indikator apa pun. Tidak seperti tagline Kaltim misalnya, Kaltim Berdaulat, berdaulat dari apa? Atau Kaltara Terdepan, terdepan dari siapa? Kaltara dihati, kan tidak perlu pembuktian apa pun. Apa pun yang terjadi, kita bisa bilang Kaltara di hati. (Sungkem sama yang bikin jargon)
Bentuk nasionalisme kedaerahan lainnya, adalah menyanyikan lagu Mars Kaltara setelah lagu Indonesia Raya, di setiap acara. Salah satunya, pasti karena faktor geografis Kaltara yang berada di perbatasan luar negeri. Sehingga, nasionalisme cinta daerah, harus terus dipupuk.
Saya sampai hafal lagu Mars Kaltara karena sering mengikuti agenda pemerintah provinsi. Liriknya bahkan terngiang,
"Gunung di perbatasan hijau. Sungai dan laut biru. Sejauh negeri ku datangi, hatiku tetap di Kaltara......"
Padahal, Mars Kaltim saja, saya tidak tahu sama sekali. Bukan salah saya, karena memang tidak pernah dinyanyikan di banyak acara.
Keempat, work life balance.
Redaktur saya, yang baru datang dari Balikpapan, kaget. Kedai kopi, baru buka jam 12 siang. Itu lah Kaltara, work life balance haha.
Walau pun dalam konotasi negatif juga terjadi. Misalnya pegawai kantor pemerintahan yang sepi. Senin terasa Sabtu. Work life balance. Yang penting bahagiaaaaa.
Di luar dari indikator kebahagiaan itu, tentu saja ada banyak sekali yang kurang di daerah ini. Seperti tidak ada bioskop. Sedih sekali, para masyarakat di Kaltara yang ingin menonton film favorit. Harus menunggu film itu rilis di kanal streaming. Atau kalau yang nakal, menonton secara ilegal. Saya saja, kemarin harap-harap cemas. Apakah sempat menonton Spiderman di bioskop Samarinda.
Lalu fasilitas kesehatan yang masih sangat minim. Saya yang berkaca mata, harus memeriksakan kesehatan mata saya minimal 6 bulan sekali. Belum ada klinik mata yang proper di sini. Misalnya ketika ingin lasik, apa saya harus pergi ke Samarinda?
Dan tentu, saya harus menyuarakan kebutuhan hedon milenial sekarang. Tidak ada Starbucks, Jco, McD, KFC, UNIQLO, SOHO dan sebangsanya. Walau pun, dari segi kantong, itu menguntungkan!
Tapi toh semua kekurangan itu bukan keajaiban yang harus diturunkan Tuhan dari langit. Asal ada kemauan, yang tidak ada itu bisa diadakan. Kesimpulannya, di Kaltara tetap lebih bahagia! Kalau tidak percaya, Anda bisa buktikan sendiri.
Kenapa harus membuktikan? Karena bahagia adalah koentji, namaste!
Salam bahagia,
--Khajjar RV--
Artikel ini sudah terbit dalam: Catatan Redaksi SKH Koran Disway Kaltara Edisi Rabu (19/1/2022) dan https://nomorsatuutara.com/kaltara-bahagia/amp/