Merawat Tradisi Belis Gading di Tengah Langkanya Kepemilikan Gading Gajah
Oleh: Frans B. Tokan
Indonesia merupakan Negara yang paling unik di dunia karena memiliki semesta kekayaan budaya yang berada di 17.491 pulau yang telah divalidasi dan diverifikasi oleh Kemenkomarves (Okefinance, 2020). Sedangkan suku bangsanya berjumlah 714 dengan 1001 bahasa daerah berbeda, (Kompas.com, 13/3/2019).
Keragaman budaya ini sudah selayaknya dikelola secara cerdas dengan memberi pemahaman lebih awal kepada semua anak bangsa agar mampu merawat dan mencintai budayanya serta menjadikannya sebagai alat untuk membangun persatuan bangsa menghadapi berbagai tantangan maupun perubahan dewasa ini yang makin global dan variatif.
Salah satu budaya dan tradisi warisan leluhur di Indonesia, adalah tradisi perkawinan adat Lamaholot di pulau Flores bagian Timur, Adonara, Solor dan Lembata, Provinsi NTT. Dalam tradisi perkawinan adat Lamaholot dikenal istilah “welin-ela” atau dalam tradisi masyarakat lain disebut mas kawin, mahar atau belis dalam bentuk gading gajah dan sejumlah hewan tertentu, sebagai simbol status dan penghargaan yang nilainya mencapai ratusan juta rupiah.
Dari sejumlah sumber lisan dan catatan sejarah diketahui bahwa gading atau “bala” dalam bahasa setempat sebenarnya berasal dari binatang purba yang disebut gajah yang pernah hidup pada masa silam di pulau Flores. Tetapi sumber lain juga menerangkan bahwa gading gajah merupakan barang istimewa bernilai ekonomi tinggi yang dibawa para pedagang di masa lalu sebagai alat penukar atau barter dengan rempah-rempah yang ada di Kepulauan Solor.
Secara sosio-kutural, belis merupakan bentuk pemberian barang atau uang yang merupakan wujud pengakuan dan penghormatan kepada perempuan sebagai seorang ibu yang telah melahirkan dan membesarkan anak dengan penuh kasih sayang. Belis juga merupakan dasar etis pengakuan atas harga diri kaum perempuan yang dipersunting mempelai laki-laki.
Meskipun demikian belis gading gajah dan hewan, bukan sekedar pemberian barang semata, melainkan lebih dari itu. Sebab personifikasi gading gajah dan hewan tertentu dalam ritual adat perkawinan mencerminkan relasi mendalam orang Lamaholot dengan sang pemilik alam semesta, para leluhur dan lingkungan sosial.
Bagi masyarakat Lamaholot sebelum melangsungkan perkawinan adat setidaknya ada sejumlah tahapan yang mesti dilewati. Satu di antaranya adalah proses pemberian belis yang biasa diberikan berdasarkan permintaan dari pihak keluarga perempuan sesuai status sosial yang melekat pada dirinya. Sedangkan bobot atau ukuran gading gajah yang disepakati sangat bergantung pada proses negosiasi adat yang tentunya berlangsung alot dari kedua belah pihak.
Kesulitan yang seringkali dihadapi keluarga laki-laki adalah memenuhi permintaan belis gading dengan beberapa ukuran tertentu, ditengah makin langkanya persediaan gading gajah di lingkungan masyarakat Lamaholot. Sebab tak mudah mendapatkan gading gajah dalam waktu singkat, bahkan tidak semua orang mau menjual atau melepaskan gadingnya dengan mudah tanpa melalui proses ritual adat.
Namun karena gading gajah telah menjadi warisan budaya leluhur dan syarat utama melangsungkan pernikahan adat, maka pihak laki-laki mau tak mau tetap berusaha sekuat tenaga memenuhi kewajibanya dengan cara membeli dan atau meminjam. Tetapi tak menutup kemungkinan proses negosiasi belispun seringkali menemui jalan buntu dan berujung pada gagalnya proses perkawinan adat.
Akibat langkanya gading gajah dan beratnya sistem pembelisan membuat sekelompok anak muda Lamaholot mulai berpikir untuk mencari pasangan hidup dengan orang luar yang bukan penganut budaya Lamaholot yang lebih sederhana tradisi belisnya. Selain itu ada kecenderungan baru, dimana anak-anak gadis Lamaholot mulai mengalami kesulitan menemukan pasangan hidup, baik dengan sesama orang Lamaholot sendiri maupun dengan orang luar karena terkendala oleh tradisi belis gading yang sangat memberatkan.
Pertanyaan kemudian adalah sampai kapan gading gajah terus dirawat sebagai tradisi belis bagi masyarakat Lamaholot? Sementara pada saat yang sama gading gajah secara signifikan terus merosot jumlahnya dari waktu ke waktu. Walapun belum ada studi mendalam untuk mengungkap berapa banyak jumlah gading gajah yang beredar di masyarakat, tetapi secara faktual kelangkaan gading gajah mulai terasa disejumlah komunitas Lamaholot ketika menghadapi perkawinan adat. Selain karena alasan ekonomi dan lainnya, ternyata gading gajah telah lama diperdagangkan keluar daerah secara bebas sehingga makin sulit menemukan kepemilikan gading di masyarakat.
Tentu sebagai penganut budaya Lamaholot kita tak ingin budaya belis gading yang sudah diwariskan secara turun temurun menjadi hilang begitu saja, tetapi kitapun harus realistik melihat fenomena kelangkaan gading gajah sebagai sebuah tantangan dan bagian dari masalah bersama yang harus segera dicarikan jalan keluarnya. Karena itu gagasan mengadaptasi proses pembelisan adat sesuai tantangan dewasa ini dengan tanpa menghilangkan keaslian nilai budaya menjadi hal yang mesti dipertimbangkan sebagai upaya merawat tradisi.
Sebenarnya ada beberapa mekanisme yang dapat ditempuh ketika hendak melangsungkan suatu perkawinan adat, diantaranya adalah perkawinan Wua Gelu Malu, yakni perkawinan secara resiprokal antara pria dari keluarga suku opu bine dengan wanita dari keluarga suku opu lake atau sebaliknya, maka proses pembelisannya tidak dilakukan karena dinilai telah selesai.
Demikian juga halnya dengan sistem perkawinan lika telo (tiga tungku) atau perkawinan segi tiga. Dimana seorang anak perempuan dari keluarga A kawin dengan laki-laki dari keluarga B. Kemudian keluarga B yang memiliki anak perempuan kawin dengan laki-laki dari keluarga C. Selanjutnya keluarga C yang memiliki anak perempuan kawin dengan anak laki-laki dari keluarga A. Sistem perkawinan segitiga di antara ketiga keluarga ini dianggap impas bagi mereka dalam sistem pembelisan adat Lamaholot.
Kalaupun masih ada selisih jumlah dan bobot gading gajah maupun hewan karena perbedaan status yang masih harus diterima masing-masing pihak, tetap saja dianggap selesai dalam perhitungan pembelisannya.
Perkawinan adat seperti ini dapat diupayakan untuk mengatasi kelangkaan gading gajah sebab tak ada lagi proses pembelisan di antara mereka. Tetapi kesulitannya bahwa dewasa ini perkawinan antara seorang pria dan wanita tak bisa lagi dipaksakan atau dijodohkan seperti di masa lalu.
Ada fenomena menarik dewasa ini yang menunjukkan bahwa karena kelangkaan gading gajah, beberapa komunitas Lamaholot yang berada di luar daerah mulai melakukan adaptasi ketika hendak melangsungkan proses pernikahan. Pihak keluarga perempuan tampaknya mulai melunak dan tak lagi menuntut secara kaku jumlah dan bobot gading gajah yang harus dipenuhi sesuai status sosial.
Meskipun demikian tawaran untuk melakukan konversi belis gading gajah dengan barang lain masih tetap dihindari sebagai bagian dari merawat tradisi. Apabila tak ada solusi yang memadai dari para pemangku kepentingan, maka lambat laun tradisi belis gading gajah akan hilang dari kehidupan masyarakat Lamaholot.
Oleh sebab itu pemerintah daerah diharapkan dapat mengambil langkah solutif dengan mengeluarkan regulasi yang melarang perdagangan dan peredaran gading gajah secara bebas keluar daerah sepanjang tidak berkaitan dengan pembelisan perkawinan adat Lamaholot.
Seiring dengan itu dalam rangka pelestarian budaya, pemerintah daerah dapat membantu pasokan gading gajah melalui pemerintah pusat dengan cara membangun kerjasama antar daerah dan Negara lain seperti Negara-negara Afrika yang masih banyak memiliki populasi Gajah.