Budaya

Merawat Tradisi Belis Gading di Tengah Langkanya Kepemilikan Gading Gajah

Kamis, 1 April 2021, 20:33 WIB
Dibaca 2.038
Merawat Tradisi Belis Gading  di Tengah Langkanya Kepemilikan  Gading Gajah
Merawat Tradisi Belis Gading di Tengah Langkanya Kepemilikan Gading Gajah

Oleh: Frans B. Tokan

           Indonesia merupakan Negara yang paling unik di dunia karena memiliki semesta kekayaan budaya  yang berada di 17.491 pulau yang telah divalidasi dan diverifikasi oleh Kemenkomarves (Okefinance, 2020). Sedangkan suku bangsanya berjumlah 714 dengan 1001  bahasa daerah berbeda, (Kompas.com, 13/3/2019).

           Keragaman budaya ini sudah selayaknya dikelola  secara cerdas dengan memberi pemahaman lebih awal kepada semua anak bangsa agar mampu merawat dan mencintai budayanya serta menjadikannya sebagai alat untuk membangun persatuan bangsa  menghadapi  berbagai tantangan  maupun perubahan dewasa ini yang makin global dan variatif. 

          Salah satu budaya dan  tradisi warisan leluhur di Indonesia,  adalah tradisi  perkawinan adat  Lamaholot  di pulau Flores bagian Timur, Adonara, Solor dan Lembata, Provinsi NTT.  Dalam  tradisi perkawinan  adat  Lamaholot  dikenal istilah  “welin-ela”   atau dalam tradisi masyarakat lain disebut mas kawin,  mahar atau belis dalam bentuk gading gajah dan sejumlah hewan tertentu, sebagai simbol  status dan penghargaan    yang nilainya   mencapai ratusan juta rupiah.         

          Dari sejumlah sumber lisan dan catatan sejarah diketahui bahwa gading atau “bala” dalam bahasa setempat sebenarnya berasal dari  binatang purba yang disebut gajah yang  pernah hidup pada masa silam di pulau Flores. Tetapi sumber lain juga menerangkan bahwa gading gajah merupakan barang istimewa  bernilai ekonomi tinggi yang dibawa para pedagang di masa lalu sebagai alat penukar atau barter dengan rempah-rempah yang ada di Kepulauan Solor.

          Secara sosio-kutural, belis merupakan bentuk pemberian  barang atau uang yang merupakan wujud  pengakuan dan penghormatan   kepada perempuan sebagai seorang ibu yang telah  melahirkan dan  membesarkan anak dengan penuh kasih sayang. Belis juga merupakan  dasar  etis pengakuan  atas harga diri kaum perempuan yang dipersunting  mempelai laki-laki.

          Meskipun demikian belis gading gajah dan hewan, bukan sekedar pemberian barang semata, melainkan lebih dari itu. Sebab personifikasi gading gajah dan hewan tertentu dalam ritual adat perkawinan  mencerminkan relasi mendalam orang Lamaholot dengan sang pemilik alam semesta,  para leluhur dan lingkungan sosial.    

          Bagi masyarakat Lamaholot  sebelum melangsungkan perkawinan adat setidaknya ada sejumlah tahapan yang mesti dilewati.  Satu di antaranya adalah proses pemberian belis yang   biasa  diberikan berdasarkan permintaan dari pihak keluarga perempuan sesuai status sosial yang melekat pada dirinya. Sedangkan bobot atau ukuran gading  gajah yang disepakati sangat bergantung  pada proses negosiasi adat  yang tentunya berlangsung  alot dari kedua belah pihak.

          Kesulitan yang seringkali dihadapi  keluarga laki-laki adalah memenuhi permintaan belis gading dengan beberapa ukuran tertentu, ditengah makin  langkanya  persediaan gading gajah di lingkungan masyarakat Lamaholot.  Sebab tak mudah  mendapatkan gading  gajah dalam waktu  singkat, bahkan tidak semua orang mau menjual atau melepaskan gadingnya dengan mudah tanpa melalui proses ritual adat. 

         Namun karena gading gajah telah menjadi warisan budaya leluhur dan syarat utama  melangsungkan pernikahan adat,  maka pihak laki-laki mau tak mau tetap berusaha sekuat tenaga  memenuhi kewajibanya dengan cara membeli dan atau meminjam. Tetapi tak menutup kemungkinan  proses negosiasi belispun seringkali menemui  jalan buntu dan berujung pada gagalnya  proses perkawinan adat.

          Akibat  langkanya gading gajah dan beratnya sistem pembelisan membuat sekelompok anak muda Lamaholot mulai berpikir untuk mencari pasangan hidup dengan orang  luar  yang bukan penganut budaya Lamaholot  yang lebih  sederhana  tradisi belisnya. Selain itu ada kecenderungan baru, dimana anak-anak gadis Lamaholot mulai mengalami kesulitan  menemukan pasangan hidup, baik dengan sesama orang Lamaholot  sendiri maupun dengan orang luar karena terkendala oleh tradisi belis gading yang sangat memberatkan. 

          Pertanyaan kemudian adalah sampai  kapan  gading gajah terus dirawat sebagai tradisi  belis bagi masyarakat Lamaholot? Sementara pada saat yang sama  gading gajah secara signifikan terus merosot jumlahnya dari waktu ke waktu.  Walapun belum ada studi mendalam untuk mengungkap berapa banyak jumlah gading  gajah yang beredar di masyarakat, tetapi secara faktual  kelangkaan gading  gajah mulai terasa disejumlah komunitas Lamaholot ketika menghadapi perkawinan adat.  Selain karena alasan ekonomi dan lainnya, ternyata gading gajah  telah lama  diperdagangkan keluar daerah secara bebas sehingga makin sulit menemukan kepemilikan gading  di masyarakat.

          Tentu sebagai penganut budaya Lamaholot kita tak ingin budaya belis gading  yang sudah diwariskan secara turun temurun menjadi hilang begitu saja, tetapi kitapun harus realistik melihat fenomena kelangkaan gading  gajah sebagai sebuah tantangan dan bagian dari masalah bersama yang harus segera dicarikan  jalan keluarnya.  Karena itu gagasan mengadaptasi proses pembelisan adat sesuai tantangan dewasa ini dengan tanpa menghilangkan  keaslian nilai  budaya menjadi hal yang mesti dipertimbangkan sebagai upaya merawat tradisi.

          Sebenarnya ada beberapa mekanisme yang dapat ditempuh ketika hendak  melangsungkan suatu perkawinan adat,  diantaranya adalah perkawinan Wua Gelu Malu, yakni perkawinan secara resiprokal antara pria dari keluarga suku opu bine dengan wanita dari keluarga suku opu lake  atau sebaliknya, maka proses pembelisannya tidak dilakukan karena dinilai telah selesai.

         Demikian juga halnya dengan  sistem perkawinan lika telo (tiga tungku) atau perkawinan segi tiga. Dimana seorang anak perempuan dari keluarga A kawin dengan laki-laki dari keluarga B. Kemudian keluarga B yang memiliki anak perempuan kawin dengan laki-laki dari keluarga C. Selanjutnya  keluarga C yang memiliki anak perempuan kawin dengan anak laki-laki dari keluarga A.  Sistem perkawinan segitiga di antara ketiga keluarga ini dianggap impas bagi mereka dalam sistem pembelisan adat Lamaholot.

         Kalaupun masih ada selisih  jumlah dan bobot gading gajah maupun  hewan karena perbedaan status yang masih harus diterima masing-masing  pihak,  tetap saja dianggap selesai dalam perhitungan pembelisannya.  

         Perkawinan adat seperti ini dapat diupayakan untuk mengatasi kelangkaan gading gajah sebab  tak ada lagi proses pembelisan  di antara mereka. Tetapi kesulitannya bahwa dewasa ini perkawinan antara seorang pria dan wanita tak bisa lagi dipaksakan atau dijodohkan seperti di masa lalu.

           Ada fenomena menarik dewasa ini yang menunjukkan bahwa karena kelangkaan gading gajah, beberapa  komunitas Lamaholot yang berada di luar daerah mulai melakukan adaptasi  ketika hendak melangsungkan proses pernikahan. Pihak keluarga perempuan tampaknya mulai melunak dan tak lagi menuntut secara kaku jumlah dan bobot gading gajah yang harus dipenuhi sesuai status sosial.

          Meskipun demikian tawaran untuk melakukan  konversi belis gading gajah dengan barang lain masih tetap dihindari sebagai bagian dari merawat tradisi.  Apabila tak ada solusi yang memadai dari para pemangku kepentingan,  maka lambat laun  tradisi belis gading gajah akan hilang dari kehidupan masyarakat Lamaholot.

         Oleh sebab  itu pemerintah daerah diharapkan dapat mengambil langkah solutif  dengan mengeluarkan regulasi yang melarang  perdagangan dan peredaran gading gajah secara bebas keluar daerah sepanjang tidak berkaitan dengan pembelisan perkawinan adat Lamaholot.

         Seiring dengan itu dalam rangka pelestarian budaya, pemerintah daerah dapat membantu pasokan gading gajah  melalui pemerintah pusat dengan cara  membangun kerjasama antar daerah dan  Negara   lain  seperti Negara-negara Afrika  yang masih banyak memiliki  populasi Gajah.